Judul: Extra
Penulis: ainoshiteru
Pairing: Ikuta Toma x Yamashita Tomohisa (TomaPi)
Genre: Drama, Romance
Rating: NC-17
Sinopsis: Rindu, cemburu, dan Yamashita Tomohisa bukanlah sebuah kombinasi yang tepat untuk dipertemukan dengan Ikuta Toma.
♥♥♥
Aku menghapus namaku yang sudah terlanjur kutulis dengan huruf cetak. Dasar ceroboh. Seharusnya aku membaca ulang formulir ini sebelum mengisinya. Padahal petunjuk untuk menuliskannya dalam huruf furigana sudah tercantum dengan cukup jelas. Tapi aku masih saja membuat kesalahan yang tidak perlu.
Siapa sangka akan serumit ini. Kukira menjadi seorang figuran adalah profesi termudah dalam industri film dan serial drama. Maksudku, kau hanya tinggal datang, mengikuti arahan untuk melintas di sana dan di sini, lalu kau akan pulang dengan membawa uang dan sekotak bento. Tidak perlu membaca naskah, tidak perlu mendalami karakter. Kau bahkan tak perlu mengingat apapun. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Meski hanya bekerja selama beberapa menit saja, atau bahkan beberapa detik, tapi para figuran dituntut untuk terus hadir hingga seluruh proses syuting usai. Kesimpulannya, menjadi pelaku film atau serial drama, entah itu pemeran utama, pemeran pembantu maupun figuran sekalipun, sama-sama menguras tenaga.
Jujur, baru kali ini aku menjadi seorang figuran. Saat melihat pengumuman perekrutan yang terpampang di situs web resmi filmnya aku hanya membacanya sambil lalu saja. Entah apa yang merasuki diriku. Tahu-tahu aku sudah mengirim e-mail dan mendaftarkan diri. Kukira aku takkan terpilih. Saat mendapat e-mail balasan, aku juga mendapat pemberitahuan bahwa jika pelamarnya cukup banyak maka pihak panitia akan memilih sembarang orang melalui sistem pengundian. Jadi aku tidak berharap terlalu banyak. Tapi tampaknya Tujuh Dewa Keberuntungan masih berpihak kepadaku. Dari sekian banyak orang yang mendaftar, aku termasuk kedalam 200 yang beruntung.
Begitulah ceritanya sampai aku, beserta ratusan orang lainnya, terjebak di sebuah daerah di Kushiro untuk mengantri di depan konter yang disediakan pihak panitia demi melengkapi proses daftar ulang.
“Aizawa Naoki!”
Seseorang mencolek lenganku dari arah belakang. “Giliranmu,” katanya sambil menunjuk ke arah konter yang dipasangi pembatas dari besi.
“Eh?!” sahutku sedikit kebingungan.
Gadis itu melongokkan kepalanya lalu menunjuk papan dada yang kupegang. “Kau Aizawa Naoki, kan?”
“A-Ah…” Aku membalikkan badan sambil menggaruk kepalaku dengan canggung. “Hai hai hai! Aizawa Naoki desu~ Hahaha…”
Gadis itu menaikkan alisnya mengamati tingkahku, membuatku langsung berhenti tertawa.
Tentu takkan terlalu memusingkan jika namaku benar-benar Aizawa Naoki. Sayangnya aku bukan Aizawa Naoki, aku bahkan sangsi ada orang yang bernama Aizawa Naoki di dunia ini. Aku memang menuliskan nama itu dalam formulir pendaftaran, tapi aku bukan Aizawa Naoki. Semua identitas diriku, kecuali jenis kelamin barangkali, itu palsu.
Tentu saja aku bukan buronan yang menjadi headline di surat kabar lokal hari ini. Aku hanya seorang pria baik-baik yang sedang berusaha memastikan bahwa kekasihku tidak berbuat macam-macam di lokasi syuting. Agak sedikit memalukan kalau ia memergokiku melakukan hal ini demi dirinya. Karena itulah aku merasa perlu menyamarkan identitasku.
“Bisa kau lepas mantel, topi rajut, kacamata dan maskermu, Aizawa-kun?” Seorang pria bertopi baseball menyapaku dari balik meja pendaftaran, membuyarkan seluruh lamunanku.
Tidak, aku tidak boleh melepas atribut ini. Aku tahu, aku memang terlihat sangat mencurigakan. Tapi jati diriku akan langsung terungkap begitu aku melepas keempat benda itu dari tubuhku. Dan itu sama saja dengan tindakan bunuh diri.
Aku terdiam sejenak sambil terus memutar otak untuk mencari alasan. Alasan apapun boleh, asalkan mereka tidak memintaku untuk melepaskan aksesoris yang kukenakan.
“Anoo…sebenarnya aku sedang kurang sehat hari ini,” lanjutku sambil berpura-pura batuk.
“Mohon maaf sebelumnya, tapi untuk hari ini kami akan melakukan pengambilan gambar di sekolah. Jadi kau harus melepas pakaianmu, lalu menggantinya dengan seragam ini,” tegas pria itu sambil menyodorkan satu stel seragam sekolah kepadaku.
“Tapi aku… sedikit alergi dengan sinar matahari. Ya, alergi sinar matahari. Dan aku mengidap rabun dekat, jauh, dan silindris jadi aku tak bisa melepas kacamataku.”
Pria itu menatapku sebal. Alih-alih merespon ucapanku, ia malah menatap ke arah lain sambil menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti 'Kalau sakit tidak usah datang ke sini.'.
Di tengah suasana yang serba tidak nyaman itu, seorang wanita berambut cokelat tiba-tiba menepuk pundak si pria bertopi.“Jangan ketus begitu, Ken-chan,” katanya.
“Peraturan tetaplah peraturan, Yuka-san.”
“Pantas saja tidak ada wanita yang menyukaimu,” gumamnya sambil mengerucutkan bibir tipisnya.
“Apa kau bilang?”
Wanita bernama Yuka itu tidak menghiraukan tatapan sinis Ken. Bukannya merasa ketakutan, ia malah mengibas-ngibaskan tangannya dengan santai. “Ah, betsuni nandemo,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya kearahku. “Kau boleh memakai pakaianmu, Aizawa-kun.”
“Arigatou gozaimasu~,” ucapku sambil membungkukkan badan sejenak untuk menunjukkan rasa terima kasih. Saat menegakkan tubuhku, aku merasakan sebuah benda bergetar di pinggangku. Sepertinya ada e-mail yang masuk. Semoga bukan sesuatu yang penting, aku berharap dalam hati. Dengan terburu-buru aku mengambil ponselku lalu segera membaca isinya.
From: NishikiNEWS
To: YamaPi
Subject: Kochi~
Pi, kau kemana saja seharian ini?
Aku dan teman-teman yang lain menunggumu di tempat biasa.
Cepatlah datang!
Aku membalas email Ryo sekedarnya. Kubilang kalau aku sedang agak kurang sehat jadi aku tak bisa ikut berkumpul dengan mereka.
Ya ampun, aku sudah terlalu banyak berbohong hari ini. Semoga Tuhan mau mengampuni dosa-dosaku.
“Ne, Ken-chan. Sepertinya aku pernah melihat lelaki ini. Tapi dimana, ya?”
Jantungku seolah berhenti berdetak saat menangkap potongan pembicaraan Yuka dan Ken. Dengan gugup, aku menutup flip ponselku lalu memasukkannya lagi ke dalam saku mantel yang sedang kukenakan. Semoga saja tidak ada yang menyadari kalau aku sudah menggabungkan dua nama tokoh yang pernah kuperankan dalam dorama, Aizawa dari Code Blue dan Naoki dari Buzzer Beat.
Ken mendecakkan lidahnya dengan gemas. “Kau ini selalu begitu. Setiap kali ada pria muda, kau pasti selalu berlagak seolah kau mengenal mereka.”
“Kali ini aku tidak mengada-ada, Ken-chan," sergah Yuka.
Pria itu memutar bola matanya sambil menghela nafas. "Jangan hiraukan dia, Aizawa-san," katanya sambil mengibas-ngibaskan tangannya, mengisyaratkan agar aku segera menyingkir dari hadapan mereka.
Aku tersenyum lega kemudian berlalu, meninggalkan Yuka dan Ken yang masih saling melempar argumen di belakangku.
♥♥♥
Kami seperti... betul-betul sedang bertukar cincin. Seperti dalam upacara pernikahan.
“Seperti sedang dalam upacara pernikahan…”
“Eh?”
“Kalau saja ada sumpah pernikahan.” Yanou bergumam tak jelas sambil memandangi cincin yang sudah terpasang sempurna di jari telunjuk Nanami. “Bersediakah kau menerima wanita ini sebagai istrimu… dan bersumpah untuk mencintainya hingga maut memisahkan kalian?”
“Aku bersedia!” pekik Nanami tiba-tiba.
Yanou melepaskan tangan Nanami sambil menyeringai dengan wajah aneh. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa, tapi usahanya berakhir sia-sia. “Pfft… Apa yang kau katakan?”
“Eh? Apa?"
“Kita kan tidak benar-benar sedang menikah." Tawa Yanou terdengar semakin keras saat melihat wajah Nanami yang semakin memerah.
“Jangan tertawa! Lagipula… tidak cukup kan, kalau hanya kau yang mengucapkan sumpah.”
“Ha?”
“Aku juga harus mengucapkannya.”
“Ha~h?!” Yanou menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia betul-betul tidak bisa membaca kemana arah pembicaraan Nanami.
Tiba-tiba saja Nanami mengulurkan kedua tangannya kedepan. Ia mengepalkannya sebentar sebelum kembali membukanya di depan Yanou. Sebuah tindakan yang tak urung membuat lelaki itu terlihat semakin bingung.
“…jemarimu. Genggamlah jemariku.”
Tangan kanan Yanou yang sedari tadi terlipat di belakang kepalanya langsung ia turunkan begitu Nanami menyelesaikan ucapannya. “Apa.… yang kau katakan? Haha… Kau gila. Kau benar-benar gila,” ocehnya sambil berusaha menghindari tatapan Nanami.
“Hei, Takahashi! Aku hanya akan mengatakannya satu kali, jadi dengarkan ini baik-baik.”
Kalau saja Yanou dan Nanami mau sedikit mengedarkan pandangan, sebenarnya ada banyak orang di sekeliling mereka. Festival sekolah memang selalu berhasil menarik perhatian, membuat orang-orang berdatangan dan berkumpul hingga malam menjelang. Suara bising yang ditimbulkan orang-orang ini juga sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka berdua merasa terganggu. Namun saat ini, mereka berdua terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri. Nanami pun tak bisa terlalu fokus mendengarkan celoteh suara disekitarnya, karena saat ini hatinya sedang bergemuruh tak menentu, menantikan apa yang akan dikatakan oleh lelaki itu kepadanya.
“Aku menyukaimu.”
“Eh? Uso…”
Nanami menutup mulutnya tak percaya. Ia tak pernah menyangka kalau saat ini akan tiba. Saat dimana ia mendengar bahwa Yanou menyukainya. Ia kira rasa sukanya pada lelaki itu takkan pernah terbalas. Siapa yang menyangka kalau Yanou benar-benar memiliki perasaan yang sama dengannya. Rasa bahagia terasa membuncah di dalam dadanya, hingga tanpa terasa airmata pun jatuh membasahi pipinya.
Tanpa ragu, Yanou menggenggam tangan mungil Nanami lalu menarik gadis itu agar mendekat kearahnya. Dan terjadilah. Lelaki itu mendaratkan sebuah ciuman polos di bibir Nanami.
Saat Yanou mengelus pipi Nanami, mereka bisa mendengar dentuman kembang api yang diluncurkan tak jauh dari tempat mereka berada. Dentuman itu terus terdengar hingga beberapa saat lamanya, seolah ikut merayakan bersatunya cinta mereka berdua.
♥♥♥
“Cut!"
Percaya atau tidak, aku baru bisa bernafas normal saat Sutradara-san meneriakkan kata itu melalui pengeras suara. Aku serius. Menyaksikan kekasihmu berciuman dengan wanita lain, atau pria lain, bukanlah suatu hal yang bisa ditangani dengan mudah. Khusus untuk kasusku, tingkat kesulitannya bertambah beberapa kali lipat karena mereka berdua melakukannya untuk urusan pekerjaan. Profesionalisme dan berbagai alasan lain membuatku hampir tak bisa berkata apa-apa kecuali mengiyakan saja, meski sebenarnya hatiku tidak rela. Untung saja proses syuting ini dilakukan di lapangan terbuka, dimana aku tak bisa menemukan benda-benda berbahaya yang bisa membahayakan keselamatan jiwa seseorang. Aku sungguh tak bisa menjamin untuk tidak melakukan hal-hal aneh terhadap Yoshitaka Yuriko jika para Staf-san membiarkanku berkeliaran di sekitar dapur sekolah.
Syukurlah, ternyata kekasihku adalah pria yang cukup setia. Saat seluruh proses syuting usai, ia tidak menghabiskan waktu untuk bergenit-genit ria dengan Yuriko-san. Ia hanya membungkukkan tubuhnya sejenak, mengucapkan 'Otsukaresama desu!', sebelum akhirnya berlalu. Hal lain yang kusyukuri adalah Toma tidak perlu mengulang-ulang adegan ciuman itu. Maksudku, dia adalah seorang pencium yang hebat, aku tidak meragukan hal itu. Dan kalaupun ia harus mengulang adegan itu, kurasa itu bukan sebuah masalah besar untuknya. Hanya saja aku tak yakin kalau aku sanggup menyaksikan kekasihku berciuman lagi dengan wanita lain, bahkan untuk urusan pekerjaan sekalipun.
"Sumimasen," kataku sambil menundukkan kepala. Aku terlalu asyik dengan pikiranku sampai-sampai tidak sadar kalau aku baru saja menabrak seseorang.
“Yamashita?!”
Oh, tidak. Aku kenal betul dengan pemilik suara itu. Lima tahun hidup bersama dalam satu atap membuatku kenal betul dengannya, termasuk aroma parfum favoritnya yang saat ini sudah bisa tercium di hidungku.
Aku mulai mengutuk situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan. Dari sekian banyak orang yang tidak ingin kutemui, kenapa harus kekasihku sendiri yang memergokiku dalam keadaan seperti ini. Kalau saja aku bisa sedikit mengontrol rasa ingin tahuku dan langsung pulang begitu proses syuting selesai, mungkin semuanya takkan seperti ini.
Aku membetulkan letak kacamata hitamku lalu membalikkan badan dan mulai berjalan sekencang-kencangnya untuk mencari tempat sembunyi. Tempat manapun boleh asal aku bisa menghindar dari Toma.
Aku terus mempercepat langkahku, berusaha tidak mempedulikan Toma yang terus-menerus memanggilku atau jumlah orang yang kutabrak sedari tadi. Aksiku untuk menentang arus di tengah kerumunan orang memang terdengar nekat. Beruntung, disaat aku mulai merasa lelah, aku menemukan sebuah pintu ruangan yang tidak terkunci. Tanpa pikir panjang aku pun memasuki ruangan itu sambil berharap bisa bersembunyi di sana sampai semua orang meninggalkan lokasi syuting.
“Kau… Kenapa kau tidak menelponku?”
Aku bisa mendengar suara pintu yang bergeser dan juga nafas Toma yang naik turun. Kasihan, dia pasti lelah mengikutiku sampai ke sini. “A-Aku… Aku hanya berkunjung saja. Tidak berniat untuk menghabiskan waktu terlalu lama,” kataku sambil bergerak semakin ke sudut.
“Malam-malam begini?”
“Oh, baiklah Ikuta Toma. Aku datang kesini untuk menjadi figuran sekaligus memantau kelakuanmu. Aku juga takut kalau adegan ciumanmu tidak memuaskan sutradara dan akhirnya kalian berlatih berciuman lalu, lalu…"
Ya Tuhan, aku tidak sanggup untuk melanjutkan perkataanku sendiri. Pikiran paranoid itu membuatku nyaris gila.
Diluar dugaan, tidak ada reaksi berarti yang Toma perlihatkan saat ia memandangiku. Aku sama sekali tidak bisa menangkap apa yang sedang ia pikirkan. Untung saja hal itu tak berlangsung lama. Lima menit berselang, dan tahu-tahu aku sudah terbenam dalam pelukan hangat pria itu. Suaraku mulai melemah. Rasa rindu yang teramat sangat membuatku nyaris tak bisa berbuat apa-apa kecuali balas memeluknya.
“Kalau kau mau, aku bisa mengirim surat pengunduran diri kepada Kitagawa-san sekarang juga.”
Aku hampir tidak bisa mempercayai pendengaranku sendiri. Sebesar itukah rasa cintanya terhadapku, hingga ia rela melepas mimpinya untuk menjadi aktor handal demi aku? Mendadak, aku merasa tidak enak. Amat sangat tidak enak pada kekasihku ini. Aku tahu persis kalau akting adalah salahsatu bagian yang penting dalam hidup pria ini, dan akan terdengar sangat egois kalau aku betul-betul meminta Toma untuk keluar dari Jimusho hanya karena rasa cemburuku yang berlebihan. Seharusnya sejak awal aku tahu kalau ide untuk menyamar menjadi figuran bukanlah sebuah ide yang bagus. Kalau saja aku mengikuti saran manajerku untuk menikmati waktu liburku dan mempersiapkan diri untuk konser selanjutnya, mungkin aku tidak akan menyakiti hati kekasihku ini.
“Gomen,” bisikku lirih.
Alih-alih merespon permintaan maafku, Toma malah mempererat pelukannya sambil berkata, “Aku juga rindu padamu.”
Perkataan singkat Toma mau tak mau membuatku pipiku merona. Sambil tersenyum aku membenamkan kepalaku didadanya. Menit-menit berikutnya kulalui sambil menghirup wangi tubuh kekasihku. Sayang, kesenanganku harus berakhir saat tiba-tiba saja Toma melepas pelukan eratnya di tubuhku.
“Ne, Yamashita,”
“Hmm?”
“Retsletingmu… Apa kau sengaja membiarkannya terbuka?" tanya Toma sambil menunjuk ke arah bawah perutku.
Spontan aku langsung menundukkan kepalaku untuk memeriksa situasi dan kondisi di bawah sana. Dan benar saja, lagi-lagi aku lupa menaikkan retseltingku. Ah, aku benci dengan sifat burukku yang satu ini.
"Tentu saja tidak. Aku hanya lupa menutupnya. Ahahaha..."
Baru saja aku akan meraih kaitan retsletingku dan hendak menariknya ke atas, tangan Toma sudah mendahuluiku. Dengan pandangan nakal ia menangkupkan tangan kanannya di atas gundukan yang berada di antara kedua pahaku lalu meremasnya sebentar.
"Aku punya ide yang lebih baik daripada sekedar menutupnya," bisik Toma sambil menyeringai kearahku.
Aku tak tahu pasti apa yang Toma lakukan terhadapku. Semuanya terjadi begitu cepat. Tahu-tahu semua atribut yang kukenakan seharian, sampai nyaris terpanggang karena kepanasan, sudah terlempar entah kemana. Celana jeans dan boxer yang kukenakan pun sudah melorot hingga sebatas betis. Oh tidak...
“Toma, apa yang kau lakukan?"
Toma menaikkan kedua tanganku lalu menguncinya jauh diatas kepalaku. Jaraknya terlalu jauh, mustahil aku bisa menurunkan tanganku yang kini sudah dicengkeram erat olehnya.
"Mereka akan memergoki kita. Ikuta Tomaa… Ahh..." Aku tak mampu menolak manakala lidah Toma mulai menggoda dan mengajakku untuk bergelut. Tanpa sadar aku mendesah. Ini gawat, aku merindukan Toma dan Toma juga merindukanku. Aku sungguh tidak berani membuat prediksi akan berujung dimana kelakuan nakal yang sedang kami lakukan ini.
Di tengah keasyikan yang tengah kami lakukan, aku kembali mendengar suara pintu digeser. Sebuah suara melengking terdengar tak lama setelahnya. "Ikuta-kun, kaukah itu?"
"Hai~" jawabnya sambil memainkan ujung benda yang terletak diantara kedua pahaku dengan lidahnya yang basah. Senyum nakal terus tersungging dari bibirnya.
Berbeda denganku yang mulai panik, Toma malah terus menjilati bagian sensitif dari tubuhku dengan santai. Ia tampak tak terusik sedikit pun dengan keributan di luar ataupun suara langkah kaki pria itu yang semakin lama terdengar semakin mendekat. Meski kami sudah berada di sudut kelas dan terhalang sebuah lemari, tapi tetap saja aku khawatir kalau orang itu akan memergoki kami berdua dalam keadaan seperti ini.
"Ano~ Manajer Yuriko-san membuat nikujaga, kau ditunggu untuk makan bersama,"
"Kedengarannya enak. Tapi aku sudah membawa bekal dari rumah, Misaki-san," ujar Toma sambil mengedipkan mata dengan genit ke arahku. Sambil berkata begitu ia pun memasukkan seluruh bagian sensitifku yang kini telah membesar lebih dari ukuran normalnya. Membuatku ingin menjerit sekencang-kencangnya.
"Sokka. Kalau begitu, selamat makan Ikuta-kun,”
"Hai, Itadakimasu~"
♥♥♥
A/N: Sebenernya FF ini udah cukup lama aku publish, tepatnya pas berita soal figuran Bokura ga Ita beredar. Tapi memang belom sempet aku publish buat semua orang, jadi ya baru dipublish sekarang, deh. This is another cheesy oneshot LOL. Daan.. tanpa disengaja, ternyata waktu publish-nya pas banget sama beredarnya uwasa soal Yuriko-chan sama Ayang Toma (^__^)a Jadinya ya.. gitu, deh *geje* :p
Oh iya, btw.. buat part yang diatas itu, memang aku terjemahin dari salahsatu chapter di manganya. Credit langsung ke
Anymanga. Constructive criticisms are welcome :)