Title : Pertemuan di Dalam Mimpi
Author :
bluesatellite4Genre : Romance, Alternate Universe
Character(s) : Takaki Yuya, Arioka Daiki
“Yabu, aku mau bobok siang dulu ya di kamar. Kamarnya aku kunci,” lapor Takaki Yuya pada boss leader-nya di sebuah grup bernama Hey Say Jump ini. Melapor tentang kegiatannya yang satu ini penting mengingat dia yang berada dalam satu kamar yang sama dengan Yabu Kota dan bisa menjadi hal yang gawat kalau Yuya menguncinya sembarangan. Yabu yang sedang membaca koran mengacungkan jempol tangannya dan Yuya berharap Yabu ingat tentang fakta ini. Dia tidak mau terbangun karena pintu yang digedor-gedor secara tidak manusiawi oleh Yabu karena lupa dia sudah mengijinkan Yuya mengunci pintunya.
Yuya pun segera melenggang ke kamarnya dan bersiap tidur. Katanya tidur siang bisa bikin kurus (sumber tidak terpercaya).
========================
Tiba-tiba, Yuya terbangun karena merasakan angin sepoi-sepoi yang membelai rambutnya dengan lembut. Apa Yuya lupa menutup jendela kamar?
Cowok ganteng itu pun terbangun, dan dengan mata setengah tertutup memperhatikan sekelilingnya. Dia sedang berada di tengah hamparan rumput hijau yang indah dengan bunga-bunga cantik di sekelilingnya. Di belakangnya ada pohon besar yang melindunginya dari sinar matahari langsung.
“Loh, rasanya tadi aku lagi tidur di kamar, kenapa jadi ke sini?” Yuya bertanya-tanya dalam hati. Apa para member Jump memutuskan bahwa dia sudah tidak berguna lagi dan membuangnya? Yuya jadi depresi. Tapi tempat ini asing sekali. Yuya sama sekali tidak ingat ada tempat seperti ini di Jepang.
“Coba aku perhatikan lagi,” Yuya memutuskan untuk bangkit dan berjalan. Tapi karena tidak hati-hati, kakinya tersandung batu dan dengan suksesnya meluncur ke bawah bukit. Untungnya terhenti sebelum dia menabrakkan kepalanya ke batu-batu besar di sekitar sungai. Bisa gawat kalau kepala terbentur.
“Awww~~” Yuya melihat lengannya yang ternyata berdarah karena terseret tadi.
“Apa kau baik-baik saja?”
Yuya langsung menoleh ketika mendengar suara yang dikiranya familiar itu. Dan benar saja, dia mendapati wajah seseorang yang sangat dia kenal menatapnya dengan khawatir.
“Daiki?!” teriak Yuya, lalu membuat orang itu kaget.
“Dari mana kau tahu namaku?” tanyanya. Yuya menaikkan alisnya bingung.
“Loh kita kan udah sahabatan sejak kecil, ya aku tahu lah namamu!” jawab Yuya. Dia memperhatikan Daiki yang dihadapannya ini. Seperti biasa, dia terlihat sangat imut dengan pipi bulatnya. Ditambah lagi dia mengenakan yukata putih-putih yang membuatnya tampak seperti malaikat.
Aku kan pacarmu, Dai, entah kenapa, Yuya hanya bisa mengatakan itu dalam hati.
Daiki yang ada dihadapannya seperti berpikir, tapi kemudian dia tersenyum.
“Namaku memang Daiki, tapi maaf, aku pikir aku tidak mengenalmu,” katanya.
“Hah? Kok kamu bilang begitu sih? Aku jadi sedih,” Yuya nangis buaya. Daiki tertawa kecil.
“Maaf, aku benar-benar tidak bisa mengingatnya. Maukah kamu memberitahuku namamu?” tanyanya.
Apa Dai-chan sedang amnesia? Kok bisa? Makanya tuh si Yamada kebiasaan banget mukulin Dai-chan. Akan kutuntut dia. By the way, member yang lain kemana ya? Pikir Yuya.
“Aku Yuya. Jahat banget sih kamu sampe lupa namaku, Dai,” kata Yuya. Daiki tersenyum menyesal dan itu terlihat sangat imut di mata Yuya. Dia ingin memeluk Daiki. “Aw!” tapi dia baru ingat bahwa tangannya sedang terluka.
“Kau terluka ya? Ayo dibilas dulu,” kata Daiki perhatian. Yuya mengangguk. Daiki mengambil sedikit air sungai dengan kedua tangannya dan menyiramkannya ke tangan Yuya. Segar sekali, pikir Yuya. Seolah-olah lukanya bisa langsung sembuh hanya dengan air itu.
“Ayo ikut ke desa. Aku akan rawat tanganmu di sana,” ajak Daiki. Yuya mengangguk.
Eh, desa?
=======================
Yuya mengikuti jalan Daiki yang menyusuri setapak memasuki kawasan perumahan yang disebut desa oleh Daiki. Yuya memperhatikan sekitarnya. Rumah-rumah di sana sangat sederhana. Semua orang memakai kimono dan hakama. Yuya berpikir apa memang masih ada desa semacam ini di Jepang. Lalu kenapa Daiki bisa berada di sini?
Yuya dibawa Daiki menuju kuil.
“Masuklah,” Daiki membuka tirai sebuah ruangan. “Nanti pendeta yang akan merawatmu,” katanya.
“Kamu mau kemana?” tanya Yuya.
“Aku akan ke kuil,” jawab Daiki sambil menunjuk bangunan di depan. Yuya mengangguk-angguk.
======================
Setelah selesai membalut tangannya, Yuya langsung mencari Daiki. Ternyata dia ada di bangunan sesembahan kuil. Daiki dengan kimono putih-putih dan tudung yang menutupi separuh wajahnya sepertinya sedang memberi pemberkatan kepada orang-orang yang berbaris dihadapannya.
Sejak kapan Dai-chan menjadi pendeta? Dai-chan resign dari Jump dan jadi pendeta? Kok rasanya dramatis banget, pikir Yuya. Dia pun menonton Daiki dari sisi bangunan.
Yuya berpikir, yang dilihatnya itu adalah Arioka Daiki yang dia kenal, tetapi ada sesuatu yang beda darinya. Daiki yang itu terlihat anggun, seolah-olah dia bersinar, something divine. Gerakan jari yang halus (hampir mirip Inoo), bibir yang terlihat merah dan tersenyum, sisa-sisa kulit putihnya yang tidak tertutup kimono, membuat Yuya menganga memperhatikan kekasihnya itu.
Oke fix, pernikahanku sama Dai-chan nanti pake upacara tradisional Jepang dan Dai-chan yang pakai kimono ceweknya, pikir Yuya.
Hari menjelang sore, dan Yuya terkantuk-kantuk menunggui Daiki yang belum juga selesai.
“Hai,” tiba-tiba ada tepukan di bahunya. Daiki sudah ada dihadapan Yuya yang beriler.
“Oh, sudah selesai?” tanya Yuya dan Daiki mengangguk. “Tadi itu kamu ngapain?”
“Mendengarkan doa orang-orang, lalu menjawabnya sebisa mungkin,” kata Daiki.
“Sejak kapan kau melakukan ini?” tanya Yuya.
“Hmm… sejak aku berusia 5 tahun?” Daiki berpikir. Hah, bukannya kamu masih tk waktu itu? Terus masuk Johnny… kapan jadi pendetanya? Yuya gagal paham. Sepertinya, Daiki yang ada dihadapannya ini bukan Daiki yang dia kenal. Tapi wajahnya mirip sekali.
“Kamu benar-benar nggak tahu siapa aku?” tanya Yuya. Daiki menggeleng. “Kalau begitu aku sedang mimpi dong.”
“Eh?”
“Aku kenal orang yang mirip banget sama kamu. Bahkan kami sangat dekat. Wajahmu, tinggi badanmu, namamu, senyummu… semuanya mirip dengan Daiki yang aku kenal. Daiki di dunia (nyata)ku,” kata Yuya. Daiki mendengarkannya. “Tapi, ada yang berbeda antara kamu dan Daiki itu,” lanjutnya.
“Apa?” tanya Daiki.
“Kamu sangat anggun. Menenangkan dan pendiam. Kalau boleh aku bilang, kamu sangat mirip seorang dewi,” kata Yuya sambil tersenyum. Mungkin Yuya tidak tahu kalau saat ini senyumnya terlihat gombal sekali. “Sedangkan Daiki yang aku tahu itu berisik, cerewet dan tidak bisa diam. Dia selalu menjalani hidupnya seenak hatinya,” katanya. Tiba-tiba, senyum Daiki menjadi samar dan dia tertunduk.
“Ah… senang ya…” gumamnya.
“Apa?” tanya Yuya. Daiki cepat-cepat menggeleng dan kembali tersenyum lebar.
“Lalu kalau ini mimpi, bagaimana caramu bangun?” tanya Daiki.
“Itu dia. Aku nggak tahu. Saat ini aku merasa sadar sekali. Sakit di tanganku ini bahkan terasa nyata sekali bagiku,” kata Yuya.
“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain selain menetap dulu untuk sementara waktu di dunia mimpi ini ya?” Daiki tersenyum jenaka. Ah, senyumnya terlihat sangat mirip dengan Daiki yang dikenal Yuya. “Kamu menginap saja dulu di sini. Kami tidak keberatan,” katanya. Yuya mengangguk.
Lalu dua orang miko menghampiri mereka berdua.
“Saatnya istirahat, Arioka-san,” kata mereka, lalu Daiki mengangguk.
“Selamat malam, Yuya-san,” Daiki membungkuk. Yuya sedikit terpana dengan cara Daiki memanggilnya tadi.
=========================
Yuya tidak bisa tertidur semalam. Insomnia mendadak. Rasanya sedikit tidak nyaman tanpa suara-suara dari teman-teman grupnya. Apalagi dia berada di kuil, suasananya sangat hening dan Yuya pikir dia akan melihat bola-bola api di kamarnya. Jadi pagi-pagi sekali, Yuya sudah bangun.
Dia diajak makan oleh beberapa pekerja di kuil itu, lalu Yuya menanyakan keberadaan Daiki pada mereka. Rupanya tidak ada yang melihat Daiki sejak pagi ini.
“Lagipula, Arioka-san memang jarang berkeliling di sekitar kuil ini. Kami hanya melihatnya kalau dia sedang mendengarkan doa dari masyarakat,” kata salah satu pekerja. Yuya mangut-mangut. Setelah makan, Yuya berkeliling mencari Daiki. Akhirnya, di halaman paling belakang kuil, Yuya menemukan sosok itu. Dia masih berpakaian kimono putih.
“Dai-chan,” sapa Yuya. Daiki yang sedang duduk di sisi kolam kecil menoleh kaget.
“’-chan’?” tanya Daiki. Yuya tersadar.
“Ah, maaf, itu caraku memanggil Daiki di duniaku,” kata Yuya. Kalau di depan umum sih, manggil marganya, lanjut Yuya. Daiki mengangguk mengerti.
“Kau sudah makan?” tanya Yuya. Daiki menggeleng. “Kenapa? Kamu sakit?” Daiki menggeleng lagi.
“Aku nggak pernah sakit seumur hidupku…” gumamnya pelan. Yuya tidak bisa mendengar dengan jelas.
“Kalau begitu, aku punya ini,” Yuya memberikan segumpal daun yang berisi dua buah onigiri. “Tadi aku diberi untuk nyemil, tapi kamu makan saja,” katanya.
“Tidak perlu, itu kan buatmu,” tolak Daiki.
“Tidak apa-apa. Kau harus sarapan. Itu penting untuk mengawali hari yang berat,” kata Yuya, dengan nada iklan. Daiki tersenyum. Akhirnya dia mengambil satu onigiri.
“Tidak ada hari yang berat kalau kamu menjalaninya dengan bersyukur,” kata Daiki. Yuya mengangguk mengerti.
"Disini bagus ya," kata Yuya, memecah keheningan. Dia memperhatikan sekeliling taman itu. Ada dua pohon sakura yang sudah kehilangan bunganya di pojok taman. Berbagai bunga-bunga menghiasi sela-sela batu yang tersebar di taman. Kolam kecil yang dihinggapi Daiki dan dia memiliki air yang sangat jernih dan ada air mancur mungil di sana. Sesekali seekor kupu-kupu berterbangan di sekitar mereka.
"Ya... Ini tempat favoritku," kata Daiki pelan. "Aku bisa menghabiskan waktu seharian di sini," laniutnya.
"Seharian? Wah," Yuya jadi kesemutan sendiri membayangkannya. Membayangkan sesosok Arioka Daiki duduk diam di satu tempat, tidak berlarian ke sana kemari.
"Tapi pasti ada bosannya. Kau suka pergi kemana selain di sini?" tanya Yuya. Daiki menatapnya sebentar sebelum menjawab.
"Kadang aku bermain di sekitar sungai kemarin," jawab Daiki.
"Kita ke sana yuk?" ajak Yuya yang memang tidak bisa lepas dari sumber mata air. Tapi Daiki menggeleng.
"Seharusnya aku tidak boleh keluar dari kuil ini," kata Daiki.
"Loh, kenapa?" tanya Yuya heran. Daiki menjawabnya dengan senyuman. "Kamu juga tidak pergi ke desa?" tanyanya lagi.
"Seharusnya aku tidak boleh bertemu orang luar. Kemarin saja aku dimarahi saat membawamu ke sini," kata Daiki.
"Eh?! Kenapa kau nggak bilang?" tanya Yuya.
"Tidak apa-apa. Kau kan sedang terluka, aku tidak punya pilihan selain membantumu," jawab Daiki. Dia memandang lurus ke dalam kolam. "Perbuatan menolong itu tidak akan mengurangi kesucianku..."
Lagi-lagi Daiki bergumam. Sepertinya dia suka berbicara pada dirinya sendiri. Yuya memandanginya. Biar dilihat bagaimanapun juga, dia memang mirip Daiki yang dikenalnya.
"Aku boleh main denganmu?" tanya Yuya. Daiki menoleh padanya. Lalu dia tersenyum lagi.
"Boleh."
==============================
Sepertinya Yuya lupa bahwa dia tidak berada di dunia tempat dia seharusnya berada. Tapi menghabiskan waktu dengan Daiki sangat menyenangkan. Di dunia nyatanya, dia tidak akan bisa bermain seharian dengan Daiki, berdua saja, tanpa diganggu oleh jadwal pekerjaan. Terutama Daiki yang memiliki jadwal lebih banyak daripada Yuya.
Yuya selalu langsung mencari Daiki di pagi hari, menemani dan bermain dengannya hingga siang, sebelum Daiki memberi pemberkatan di kuil di sore hari. Kemudian malam hari mereka duduk di taman kuil sambil bercerita banyak hal. Kebanyakan Yuya yang bercerita karena Daiki cenderung hanya mendengar.
"Aku suka bernyanyi," kata Yuya.
"Boleh aku dengar?" pinta Daiki. Tentu saja Yuya langsung mengangguk. Kemudian dia malah menyanyikan Dear.
Dear...
Is the you today, and the you tomorrow, laughing? Or crying?
Did my voice reach to you there?
For the me today, and the me tomorrow, there's no one else in my heart but you
Yuya memang dikenal sebagai pemilik suara yang indah di kalangan fans-nya, dan Daiki menatapnya dengan menerawang jauh.
"Dai-chan?" panggil Yuya. Daiki mengerjap.
"Aku suka yang barusan," kata Daiki, tersenyum menyenangkan. Yuya membalas senyuman itu. " Apa kamu sering menyanyikannya untuk Daiki di duniamu?" tanyanya.
"Hmmm..." Yuya berpikir. "Kali ini aku menyanyikannya untukmu," katanya, membuat senyum Daiki pudar. Berganti dengan pipinya yang bersemu merah. Yuya tertawa, lalu merangkul Daiki.
"Jangan kesepian, Dai-chan. Mungkin besok kau akan menangis atau tertawa, dan ada aku disini yang jadi temanmu. Dan kalau aku pergi nanti, tetap ingat aku sebagai temanmu, kemudian cari teman yang lain untuk membagi perasaanmu," kata Yuya. Daiki diam sambil tertunduk.
"Aku...tidak bisa punya teman..." gumam Daiki.
"Eh? Kenapa?" Yuya mengerjap bingung. Daiki hanya tersenyum tipis. Lagi-lagi Daiki seperti itu. Dia selalu hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban. Yuya sedikit cemberut.
"Kau dengan Dai-chan yang aku kenal sangat berbeda. Kalau dia, pasti akan selalu mengatakan semua yang ada di pikirannya, sedangkan kamu-"
"Karena kami orang yang berbeda," potong Daiki. Yuya langsung terdiam dan menatap Daiki, yang masih tersenyum. "Kamu yang bilang kan? Aku bukan Daiki yang kamu kenal," katanya.
Ketika Daiki menunduk dan memeluk lengan kimono putihnya, Yuya jadi merasa bersalah.
"Maaf, Dai-chan-"
"Tapi aku harap aku bisa hidup seperti Daiki..." suara Daiki pelan. Tidak menghiraukan apakah Yuya mendengarnya atau tidak, Daiki langsung pergi dari hadapan Yuya.
==============================
Tiba-tiba, ketika Yuya terbangun (Yuya sudah tidak ingat berapa hari yang telah dihabiskannya di kuil ini), suasana kuil menjadi sibuk sekali. Banyak pendeta serta pekerjanya sibuk berlalu lalang ke berbagi penjuru kuil.
"Apa ada sesuatu?" tanya Yuya pada salah seorang pekerja.
"Ulang tahun ke-16 tuan Daiki tinggal seminggu lagi. Akan ada perayaan," katanya. Hah ternyata tidak seperti Dai-chan di duniaku, Dai-chan yang ini memang masih remaja. Untung aku ngga sempat berbuat hal-hal kriminal, pikir Yuya dan langsung menghalau pikiran-pikiran kriminal itu.
Yuya langsung sumringah. Dia paling suka pesta ulang tahun. Dia ingin membantu merayakan juga untuk Daiki. Dia pun langsung melambaikan tangan pada pekerja itu dan langsung mencari Daiki. Dia tidak sempat melihat wajah pekerja itu yang berubah murung.
=============================
Yuya sudah mencari Daiki ke halaman belakang kuil tapi ternyata dia tidak ada di sana. Malah, setelah Yuya berkeliling-keliling, Daiki tetap tidak ditemukan. Ketika Yuya memutuskan untuk menunggu sore hari dimana Daiki akan muncul untuk mendengar doa, dia tetap tidak ada. Yuya hanya melihat sekumpulan orang-orang berdoa lebih lama di tempat biasa, sambil menyebut-nyebut nama Daiki. Para pekerja tidak mau memberi tahu Yuya dimana keberadaan Daiki.
Yuya sedikit cemberut, lalu akhirnya dia nekat menjelajah setiap sudut kuil. Pintu-pintu ruangan yang sedikit sepi dibukanya, kecuali wilayah pekerja perempuan dan kamar mandi. Yuya sadar dia tidak tahu dimana kamar istirahat Daiki berada.
Sebuah bangunan kecil yang terpisah dari bangunan utama kuil di bagian belakang kuil menarik perhatian Yuya. Lalu dengan nekat dia berjingkat ke sana dan membuka pintunya.
"Dai-chan!" akhirnya Yuya menemukan Daiki. Dia sedang duduk dengan memangku dagunya di atas meja kecil di tengah ruangan. Begitu Daiki melihat Yuya, matanya langsung mencelat.
"Kamu sedang apa di sini?" Daiki langsung menghampiri Yuya. Baru kali ini Yuya melihat wajah Daiki yang tidak tenang. Biasanya dia kalem.
"Habis aku tidak melihatmu sejak pagi tadi. Kau sedang apa?" tanya Yuya. Daiki tidak menjawab.
"Kau tidak boleh ke sini..." kata Daiki pelan.
"Kenapa? Karena sudah malam?" tiba-tiba Yuya mengingat usia Daiki. Tapi Daiki menggeleng.
"Kalau begitu besok pagi aku akan ke sini. Kita mengobrol seperti biasa," kata Yuya. Daiki menggeleng lagi.
"Sudah tidak boleh," kata Daiki.
"Kenapa?" Yuya mengeryitkan alisnya, mulai bingung dan kesal.
"Aku tidak boleh berhubungan dengan orang lain lagi. Tidak boleh berhubungan dengan dunia lagi," katanya.
"Hah? Apa maksudnya itu?" suara Yuya sedikit mengeras.
"Sudah, pergilah. Nanti kau bisa dapat masalah," kata Daiki.
"Tidak bisa. Kalau kau tidak ada, aku harus ngapain di sini?" tolak Yuya.
"Katamu ini hanya mimpi kan? Harusnya kau tinggal terbangun saja kapan pun kamu mau. Aku hanya orang di dalam mimpimu kan?" kata Daiki.
"Tidak bisa!" entah apa yang menyebabkan Yuya berteriak. Daiki langsung terkejut. "Kamu sangat nyata di depanku, bagaimana bisa aku mengatakanmu hanya mimpi?"
Yuya meraih tangan Daiki. "Entah sejak kapan, aku sudah lupa apakah semua ini nyata atau hanya mimpi. Aku hanya menikmati saat-saat bersama denganmu, Dai-chan," kata Yuya lembut.
"Aku bukan Dai-chan... Katamu, aku berbeda dengan Daiki yang kamu kenal..." suara Daiki pelan.
"Tapi aku selalu teringat Dai-chan saat bersamamu. Kamu dan Dai-chan memang berbeda. Tapi, entah sejak kapan, aku merasa kalian adalah orang yang sama, meskipun Dai-chan adalah Dai-chan, dan kamu adalah kamu... Kamu dengan kepribadianmu sendiri, Dai-chan..." entah apa yang membuat Yuya memberikan pandangan yang lembut pada Daiki. Genggaman tangannya yang sangat hangat membuat Yuya betah memeganginya. Sementara itu, Daiki hanya diam dan menatapnya. Bibirnya terbuka sedikit, seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya, Daiki menggeleng dan menarik tangannya dari genggaman Yuya.
Dia tidak mengatakan apa-apa saat medorong bahu Yuya menjauh dan menutup pintu kamarnya agak keras. Tapi Yuya bertekad dia akan tetap pergi ke sini lagi esok hari.
=================================
Yuya tidak berpikir untuk membicarakan keadaan Daiki dengan pekerja yang lain. Beberapa hari berkunjung ke kamarnya, Daiki tidak pernah membukakan pintu untuk Yuya. Akhirnya, Yuya dengan keras kepala tetap berbicara di sana tanpa menghiraukan bahwa Daiki tidak membalas kata-katanya. Lalu dengan seenaknya, Yuya memutuskan untuk menganggap Daiki hanya gugup untuk menghadapi perayaan ulang tahunnya.
Yuya jadi ingat dia tidak tahu siapa sebenarnya Daiki di kuil ini sehingga mendapatkan pesta ulang tahun yang heboh sekali. Sekali lagi dengan seenaknya, Yuya berpikir Daiki adalah orang yang sangat penting di kuil ini dan dia tidak boleh salah memberi hadiah.
“Kira-kira, Dai-chan akan suka hadiah seperti apa ya?” tanya Yuya pada salah satu pekerja. Pekerja itu menatapnya. “Eh, tapi aku kan nggak punya uang-“
“Tidak perlu ada hadiah, Takaki-san,” kata pekerja itu.
“Loh, kenapa?”
Pekerja itu menghela napas, seperti enggan untuk menjawab pertanyaan Yuya.
“Ini bukan sebuah pesta seperti yang Anda pikirkan. Kepala kuil sudah menyarankan agar Anda sebaiknya tidak terlibat dan pergi dari kuil ini,” kata pekerja itu.
“Loh aku diusir?” tanya Yuya kaget.
“Kami tidak bermaksud begitu. Tapi saya pernah dengar Anda berkata bahwa di sini bukan dunia Anda. Kami tidak tahu apa yang Anda maksud dengan itu, tapi itu membuat kami berpikir untuk tidak melibatkan Anda lebih jauh dengan dunia kami, terutama yang berkaitan dengan Arioka-san…” lalu pekerja itu langsung pergi meninggalkan Yuya. Yuya cemberut,merasa diusir. Padahal selama ini semua penghuni kuil ini sangat ramah padanya. Lalu apa maksudnya hal-hal yang berkaitan dengan Daiki? Sebenarnya pesta ulang tahun macam apa yang akan dirayakan Daiki?
Yuya langsung pergi ke kamar Daiki. Dia mengetuknya beberapa kali dan seperti kemarin-kemarin, Daiki tidak menyahut.
"Dai-chan, sebentar lagi ulang tahunmu kan?" tanya Yuya. Tidak ada jawaban dari Daiki. Yuya menghela napas. "Sebenarnya akan ada perayaan seperti apa?"
Untuk beberapa saat hening seperti biasa. Tapi akhirnya Yuya terkejut saat pintu kamar Daiki terbuka sedikit.
"Mereka sudah katakan supaya tidak terlibat lagi dengan kuil ini?" tanya Daiki. Yuya mengangguk. "Turuti saja. Bangunlah dan lupakan dunia ini. Lupakan aku," katanya. Yuya benar-benar bingung.
"Kamu bicara apa sih, Dai-chan? Sikapmu berubah sangat drastis sejak persiapan ulang tahunmu dilakukan. Sebenarnya akan ada pesta seperti apa?” tanya Yuya. Saat itu dia melihat sedikit wajah Daiki yang mengintip dari sela pintu yang terbuka. Wajah itu murung.
“Tidak ada pesta,” jawab Daiki.
“Lalu?”
“Kami melakukan upacara,” katanya. Alis Yuya saling bertaut.
“Iya, upacara, apalah. Pokoknya semua akan bersenang-senang kan?” kata Yuya. Untuk pertama kalinya, Daiki tersenyum walaupun hanya sedikit.
“Mm. Mungkin banyak orang akan senang,” gumam Daiki.
“Lalu kamu?” pertanyaan Yuya menghapus senyum Daiki hampir segera. Daiki menggeleng.
“Aku tidak tahu. Aku tidak ingin merasakan apa-apa,” kata Daiki. “Sejak bertemu denganmu…”
Wajah Daiki yang semakin murung membuat Yuya bingung. Dia merasa harus berhenti bertanya, tapi rasa penasaran semakin berkumpul di dirinya.
“Apa maksudmu? Kau tidak senang? Tiga hari lagi kau akan merayakan hari kelahiranmu, merayakan kedewasaanmu!” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Yuya. Dia sendiri tidak sadar kenapa dia harus bersemangat seperti itu. Daiki membuka pintu kamarnya sedikit lebih lebar lagi, menatap Yuya dengan kedua bola mata hitamnya.
“Yuya-san, tiga hari lagi bukan perayaan hari kelahiranku…” Daiki menarik napas perlahan. “Mereka menyiapkan upacara kematianku.”
Kata-kata Daiki itu membuat seluruh tubuh Yuya serasa membeku.
=============================
Yuya langsung mengabaikan pekikan Daiki ketika dia meringsek masuk ke kamar yang gelap itu dan mencengkram bahunya.
“Apa maksudnya dengan itu? Kamu sakit?” napas Yuya sedikit tersengal. Bahkan tangannya sampai bergetar. Daiki hanya menatapnya dengan tatapan murung itu lalu menggeleng. “Lalu kenapa? Apa maksudmu dengan upacara itu?!” Yuya sedikit berteriak.
“Tolong pelankan suaramu, nanti ada yang mendengar,” Daiki berbisik pelan. Yuya menggeram kesal.
“Dai-chan!”
Kemudian Daiki menepuk-nepuk bahu Yuya, seperti ingin menenangkannya, lalu menyilahkannya duduk di hadapan meja kecil di tengah ruangan itu. Yuya menurutinya, karena tidak sabar untuk mendengar penjelasan dari Daiki.
Daiki menarik napas panjang sebelum dia membuka mulutnya.
"Pertama-tama, kau perlu memahami bahwa ini adalah tradisi yang sudah kami jalani selama ratusan tahun, tradisi yang membuat desa ini selalu hidup dalam kedamaian... Itu adalah tradisi yang diajarkan kepada kami semua..." kata Daiki. Yuya mengangguk tidak sabar. Melihat sikap Yuya itu, Daiki menghela napas.
"Yuya-san, dulu aku lahir di luar kuil ini dari sepasang penduduk desa biasa. Aku menghabiskan waktu dengan orang tuaku hingga berusia 4 tahun... Hingga sesuai dengan tradisi, beberapa anak berusia 4 sampai 5 tahun dikumpulkan dan diseleksi, siapa satu orang diantara mereka yang akan menjadi pelayan kuil ini. Pelayan dewa. Anak yang dianggap dititipkan kekuatan dewa untuk menjaga penduduk desa ini dari bencana..." cerita Daiki.
"Masih ada yang begituan ya?" gumam Yuya tanpa sadar. Melihat tatapan tidak suka Daiki, Yuya langsung menampar bibirnya.
"Tapi suatu hari nanti anak itu harus dikembalikan kepada dewa, karena dia adalah milik dewa," lanjut Daiki.
"Bagaimana cara mengembalikannya? Anak itu bersemedi dan kekuatannya dilenyapkan?" tanya Yuya. Daiki tersenyum.
"Bukan kekuatannya yang dikembalikan, Yuya-san. Tapi jiwa anak itu. Anak itu yang harus dikembalikan," jawab Daiki.
"Bagaimana?"
"Tentu saja dengan memisahkan jiwa anak itu dari raganya, kau mengerti maksudku kan?" Daiki tersenyum.
Yuya terhenyak. Melihat senyum Daiki, dia tahu maksud laki-laki itu. Tapi Yuya tidak terima. Dia menunduk dan menggeram. Kalau seperti ini, maka maksud Daiki bahwa tiga hari lagi adalah upacara kematiannya adalah...
"Yuya-san, tahun ini... Aku lah anak dewa itu."
=============================
"Itu konyol!" Yuya langsung berteriak. Yuya yakin saat ini wajahnya terlihat seram sekali dan mungkin dia akan menakuti Daiki, tapi ternyata Daiki hanya tersenyum kalem menanggapi amarahnya. Yuya menggeram. "Jadi maksudmu, tiga hari lagi kau akan..." Yuya tidak bisa melanjutkan. Dia tidak mau melanjutkan.
Daiki hanya mengangguk kecil. Tanpa pikir panjang lagi, Yuya menarik tangan Daiki.
"Ayo pergi dari sini," kata Yuya. Tapi Daiki menggeleng.
"Kau bicara apa? Kau menyuruhku meninggalkan desa dan orang-orang yang sudah menjagaku?" balas Daiki.
"Menjagamu? Menurutku, mereka hanya memanfaatkanmu! Kamu dan anak-anak sebelummu, kalian itu korban pemanfaatan demi sebuah kepercayaan kuno!" sengit Yuya.
"Iya, ini memang kepercayaan kuno. Kepercayaan yang sudah kami pelihara sejak dahulu untuk menjaga kedamaian desa ini. Aku sudah mengatakannya padamu sejak awal, Yuya-san. Ini adalah tradisi kami sejak turun-temurun, meskipun kamu tidak menyetujuinya, Yuya-san," kata Daiki, tegas.
"Bagaimana denganmu?" tanya Yuya yang membuat Daiki tersentak. "Apa kamu setuju dengan cara ini? Apa kamu tidak memikirkan dirimu sendiri?"
Yuya ingin Daiki menemukan keraguannya dan setuju untuk pergi bersama Yuya, untuk tetap hidup.
Daiki menghela napas.
"Aku sudah berada di kuil ini sejak berusia lima tahun. Aku sudah paham betul peranku sejak berusia sepuluh tahun. Aku sudah dijaga dengan baik selama 12 tahun di tempat ini, dan aku menyaksikan keadaan desa yang selalu damai. Tidak pernah ada perselisihan, tidak ada permusuhan, tidak ada kekurangan, tidak ada bencana... Mungkin itu semua memang karena ada dewa yang menjaga kami.... Makanya, aku sudah menerima takdir ini sejak lama. Aku siap melepas hidup yang singkat ini untuk hidup bersama dewa," Daiki berkata panjang lebar. Lagi-lagi Yuya hanya bisa menggertakkan giginya dengan kesal. Dia tidak bisa meruntuhkan ketegasan Daiki.
"Kenapa kamu memikirkan desa ini... Memangnya mereka sendiri memikirkanmu?" gumam Yuya.
"Tentu saja," Daiki tersenyum. "Para pekerja di sini selalu baik padaku... Para penduduk selalu mendoakan hal-hal baik untukku... Aku juga masih menerima kabar tentang orang tuaku," katanya.
Kemudian Yuya melihat sesuatu yang lain di mata Daiki.
"Kenapa?"
"Hmm... Kadang aku memang kesepian... Karena aku dianggap istimewa, semua orang sungkan padaku, ditambah lagi aku memang tidak diijinkan keluar kuil dan berbicara dengan sembarang orang... Tidak ada yang bisa dianggap teman," kata Daiki. Yuya terdiam saat Daiki menatapnya lurus.
"Di suatu hari dalam hidupku, aku merasa sangat kesepian. Jadi aku berdoa pada dewa untuk mempertemukanku dengan seseorang yang bisa menemaniku. Setiap malam sebelum tidur, aku selalu meminta itu..." lalu Daiki tersenyum. "Sekarang kau disini, Yuya-san. Apa kau pikir dewa yang mengirimkanmu ke sini karena dewa mendengar doaku?"
"...Aku tidak percaya hal-hal seperti itu..." jawab Yuya pelan. Daiki tertawa kecil.
"Kehadiranmu disini membuat aku yang sempat meragukan keberadaan dewa, menjadi percaya bahwa dewa itu benar-benar ada..." gumam Daiki. "Tapi, sepertinya doaku itu adalah sebuah kesalahan..."
"Eh?"
"Jujur saja, saat-saat mengobrol denganmu sangat menyenangkan... Dan aku berharap untuk bisa seperti itu selamanya..." Daiki menunduk. "Aku… ingin bersamamu lebih lama lagi..."
Mendengar suara Daiki yang tercekat seperti itu membuat jantung Yuya seperti diremas. Dia tahu suara itu. Suara Daiki saat dia menahan tangisnya.
"Dai-chan..."
"Tapi aku tidak boleh egois kan? Aku tahu takdirku seperti apa... Dan lagipula, kau tidak berasal dari dunia ini. Suatu hari kau akan kembali ke duniamu sendiri kan?" Daiki kembali memasang senyumnya. "Aku tidak boleh mengorbankan nasib desaku hanya untuk keinginanku... Aku juga tidak boleh berharap untuk menahanmu disini, sementara kau memiliki orang-orang lain yang menunggumu..."
Yuya tidak bisa berkata apa-apa. Hingga dia berusia 20 tahun, dia masih suka berbuat semau hatinya dan pernah membuat orang-orang kesusahan. Karena egonya, dia pernah membuat Yabu khawatir setengah mati. Kemudian saat ini, dihadapannya, seorang anak berusia 16 tahun berkata kalau dia tidak ingin egois, tidak ingin menyusahkan orang lain. Yuya pikir hidup tidak adil dan satu-satunya hal yang ingin dia lakukan adalah mengutuk dewa yang menyebabkan Daiki seperti ini. Tapi kalau dia melakukan itu, dia hanya akan melukai hati Daiki.
Jadi Yuya diam saja, menggigit bibirnya. Daiki tersenyum melihat itu.
"Yuya-san, terima kasih atas waktu yang sudah kita habiskan bersama," Daiki beranjak ke sisi meja, kemudian dia membungkuk dihadapan Yuya. "Karena sudah bertemu denganmu, aku tidak akan menyesal walaupun aku akan mati besok..."
"Dai-chan..." Yuya tidak peduli lagi. Dia langsung memeluk Daiki. Memeluknya dengan sangat erat. "Aku tahu kamu ingin menangis. Jangan terus tersenyum. Aku ingin melihat wajahmu yang lain. Kalau sekarang masih sempat, menangislah. Aku tidak mau kamu memendam kesedihan sendirian!"
Daiki tertegun mendengarnya. Iya, saat ini matanya terasa panas. Tidak seperti hari-harinya yang dulu, Daiki merasa kali ini dia tidak bisa menahan emosi yang bergejolak di dirinya. Mungkin karena saat ini ada orang untuk berbagi?
"Ukh..." perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, tetesan airmata jatuh dari mata Daiki. Yuya mengeratkan pelukannya sambil mendengarkan tangisan pelan Daiki.
"Yuya-san... Dengarkan ini..." Daiki melepaskan pelukan Yuya dan ganti menatapnya. "Kalau aku bisa lahir kembali... Aku ingin hidup seperti Daiki yang kamu kenal..."
"Eh?" Daiki tersenyum melihat wajah bingung Yuya.
"Aku akan hidup dengan bebas, sesuai keinginanku, selama yang aku bisa. Aku bisa tersenyum, tertawa, menangis, dan marah dengan bebas. Kemudian, aku akan mencari seseorang sepertimu, seseorang yang selalu menemaniku, hingga akhir hidupku... Bisa kan?" tanya Daiki.
Yuya kembali memeluk Daiki. "Kau pasti akan terlahir kembali seperti itu. Minta saja pada dewa, kau kan anak dewa," kata Yuya. Kemudian meskipun airmatanya masih menetes, Daiki tertawa. Menangis dan tertawa sekaligus di pelukan Yuya.
================================
Tiga hari berlalu dengan singkat. Hari perayaan dewa akhirnya dilaksanakan. Mungkin Daiki tidak mengharapkan kehadiran Yuya di tengah kerumunan masyarakat yang melihatnya diantar ke tempat perayaan. Ketika Daiki melihatnya, Yuya melambaikan tangannya sambil tersenyum. Daiki harus lihat, kalau Yuya masih memperhatikannya hingga akhir. Ketika Daiki membalas senyumnya, Yuya merasa ada semacam mission complete untuknya. Setelah itu, rombongan Daiki terus berjalan hingga tidak terlihat lagi. Satu per satu orang mulai bubar, tetapi Yuya masih bertahan di tempatnya, menatap sisa jejak Daiki. Sulit dipercaya kalau setelah ini, anak itu tidak akan menginjak tanah ini lagi. Yuya tidak mengerti kenapa tradisi semacam ini dilakukan dan kenapa Daiki menyetujuinya. Tapi memikirkannya terlalu jauh tidak pantas bagi Yuya karena dia bukan penduduk penganut tradisi itu. Ia tidak mungkin mengerti.
Yuya menghela napas. Ini mimpi yang sangat aneh... Tapi terasa nyata...
Ketika Yuya berbalik untuk pergi (meskipun dia tidak tahu mau pergi kemana), kakinya tidak sengaja tersandung batu dan akhirnya jatuh.
"UWAA!!" dan ketika kepalanya menghantam tanah, pandangannya langsung menghitam.
=================================
"UWAAA!!!" Yuya langsung terbangun saat kepalanya terantuk lantai dingin. Yuya melihat sekelilingnya. Dia baru saja jatuh dari kasur kamar dorm-nya. Eh, berarti dia sudah kembali ke dorm?!
Yuya langsung keluar. Langsung disambut oleh sosok beberapa orang temannya yang sedang bersantai di ruang tamu.
"Loh, tumben sebentar banget tidurnya, Yuy?" tanya Yabu yang masih membaca koran.
"Hah?" Yuya masih belum konek.
"Iya, baru juga satu jam yang lalu kamu ijin bobok," kata Yabu. Satu jam?! Padahal Yuya sudah menghabiskan waktu hingga berminggu-minggu di desa Daiki.
"Aduuuhh, Dai-chan! Bukan begitu caranya motong ikan!!" Yuya mendengar jeritan Yamada yang menyebutkan nama kekasihnya. Yuya langsung melesat ke dapur.
Iya, di sana dia melihat Daiki. Daiki yang menjadi panik karena dimarahi Yamada. Daiki yang memain-mainkan botol bumbu ditangannya. Daiki yang membelokkan omelan Yamada menjadi candaan dan tertawa saat Yamada menjadi semakin marah. Daiki yang terlihat hidup, jauh lebih hidup daripada yang pernah dilihat Yuya.
Kakinya bergerak sendiri. Yuya langsung memeluk Daiki dari belakang.
"Kyaaa!!! Ada yang mesra-mesraan!" Yuya mendengar jeritan usil dari Chinen, tapi dia tidak peduli. Tidak pada jeritan Chinen, tidak pada pelototan Yamada, tidak pada siulan Inoo, tidak pada Daiki yang langsung terkesiap.
"Yuya! Kamu kenapa?" tanya Daiki. Kayaknya aku pernah mendengar kata-kata kayak begini, pikir Daiki.
"Aku sayang banget sama Dai-chan," kata Yuya. Seisi dapur menjadi semakin heboh.
"Ha-hah? Kenapa tiba-tiba??" wajah Daiki memerah.
"Aku sayang banget sama kamu. Kamu nggak akan pergi meninggalkan aku kan, Dai-chan?" tanya Yuya.
"Pergi apa maksudnya?"
"Hmmm... Mati misalnya?"
Plakkk...
Telapak tangan Daiki langsung mampir di pipi Yuya. "Kamu doain aku mati??!!"
Yuya langsung cengo ketika suasana yang tadinya romantis langsung berubah karena Daiki malah marah-marah. "Bu-bukan itu maksudnya Dai-"
"Udah ah, datang-datang malah nyebelin banget! Sana kamu, aku mau belajar masak tau! Emangnya kamu aja yang bisa!!" Daiki langsung menendang Yuya menjauh. Yuya segera mengungsi sebelum diamuk lebih parah lagi.
"Kenapa kau kok tiba-tiba gitu?" tanya Yabu kepo.
"Nggak ada apa-apa," jawab Yuya asal. Yabu pun akhirnya mengangkat bahu bingung dan kembali fokus pada korannya.
Yuya menatap Daiki yang sedang memasak di dapur.
Apa Dai-chan (di kuil itu) mendapatkan apa yang dia inginkan?
Sepertinya aku mulai berpikir gila kalau apa yang aku lihat dimimpiku itu adalah kehidupan masa lalu Dai-chan.
Tapi kalau seperti itu... Aku tahu kalau keinginan Dai-chan (di kuil itu) jadi kenyataan.
Yuya tersenyum membayangkan wajah Daiki yang selalu tersenyum itu.