stupid 002;
STUPID
[Chapter 2]
©Mabel/2010
Ada seorang gadis entah dari masa kapan-dan dia sangatlah bodoh. Setiap malam ia menunggu seorang pemuda untuk menjemputnya ke Neverland. Namun Chibi Kuroyama tidak sebodoh itu. Berbeda dengan gadis-gadis yang bertebaran disini, ia tidak menunggu selamanya. Sebentar, lalu tinggal-ia tidak mau berepot-repot.
Ageha memandangi gadis yang merupakan sahabatnya dari entah kapan ini dari sudut matanya, sambil melahap strawberry shortcake andalan café yang kursinya sedang ia duduki sekarang. Ia pelanggan tetap di café ini, tidak heran tadi seorang waitress yang sudah hafal mukanya karena sudah pernah ia ajak ngobrol, menyapanya tadi.
“Jadi, errr, Bi, kau suka Akilla-Akira ini?” Ageha mengangkat suara sambil mengunyah kue yang merupakan favoritnya itu. Lagaknya santai, padahal ia penasaran setengah mati. Tapi ia berusaha untuk bersikap cuek dan berkonsentrasi dengan kue dan majalah Vogue Girl yang menampakkan idolanya berpose untuk suatu photoshoot.
Kalau gadis-gadis-yang manapun-pasti jika di singgung soal ini, terutama ketika sedang melahap devil’s food cake, pasti akan tersedak dan meminta air putih untuk minum dengan panik dan muka merah padam. Tapi Bi tidak seperti itu. Ia meraih jus jeruknya dan menyedotnya perlahan, lalu menatap datar ke arah Ageha.
“Hmm... apa ini penting untuk di bicarakan, Ageha-chan? Kukira kau mau berbicara soal...” Ga-Eul? Tampaknya nama itu sudah tidak akan pernah ia katakan lagi sejak insiden yang menyebabkan putusnya ia dengan pemuda yang merupakan kakak dari sahabatnya yang kini berada semeja dengannya. “...Akio-san.”
Ageha menggembungkan pipinya. Ia yang biasanya dewasa, hanya bersikap childish di depan sobatnya yang ini saja. “Tapi, berbicara soal dia itu sama sekali tidak seru,” ia merengut. Akio memang tidak banyak bicara dan tidak ada topik yang pantas di bicarakan soal cowok kulkas tersebut.
“Kau ini begitu jujur, ya, Ageha-chan. Aku yakin jika Akio-san mendengar perkataanmu tadi, ia sanggup untuk membobol dompetmu lagi seperti tahun lalu,” Bi melanjutkan santai. Mengenang peristiwa setahun lalu yang masih mengundang cengiran di wajahnya, bahkan ketika ia tidak ingin membicarakan soal cowok kulkas itu.
Ageha terkekeh, walau ia merasa sebal-bayangkan, tiga belas ribu yen raib dari dompetnya selama dua minggu yang menyusahkan (itu sisa uang jajannya, dan ia sudah berhemat setengah mati mengumpulkannya) setelah ia mengejek Akio sebagai ‘imut-imut kok galak’. Dan uang itu sampai lewat pos di minggu ketiga.
Akio berlagak tidak tahu. Ageha makin sebal mengingat perkataannya waktu itu. “Lho, itu bukannya uangku ya? Ya sudah, kau pakai saja ‘uang’ku yang baru di kirim itu,” super bohong! Ageha bisa mendengar jelas tekanan pada kata ‘uangku’ yang membuat Akio makin mencurigakan. Tapi Ageha sudah tahu pasti suspeknya.
“Lalu, kenapa kau begitu tertarik dengan dia?” Bi bertanya enteng, masih menyedot jus jeruknya, devil food’s cake di piring di depannya sudah raib, pindah ke perutnya. Bi ini masih tergolong perut karet, sejujurnya. “Dia orang yang sama membosankannya-walau Akio-san lebih membosankan.”
“Kalau begitu, Bi, kau kok bisa suka sama niichan sih?” Ageha bertanya lurus dan datar.
“...apa itu pertanyaan yang penting?”
***
Saaya berkacak pinggang, ekspresinya sedikit sewot. Entah ia sudah menenggak berapa sloki martini yang sudah di tenggak sampai Akio menyeretnya keluar. Tadi saat Akio datang dan mereka mengobrol sebentar (atau tepatnya bertengkar sebentar) dan Saaya sudah kembali menenggak tiga gelas martini.
Akio merogoh kantung jaket hitamnya, mengeluarkan kotak kecil, membukanya dan menarik keluar sepuntung rokok, menarik korek dan menyalakan rokoknya. Saaya mendelik ke arahnya, merasa terganggu atas asap yang berlebihan, sekaligus bagaimana orang ini dengan santainya melarangnya minum martini ketika ia merokok.
“Akio-san!”
Akio hampir tersedak rokoknya sendiri-kalau mungkin karena rokoknya baru saja berpindah alih ke tangannya. Lelaki dengan iris bola mata hitam kelam yang jernih itu melirik ke arah gadis itu, tersenyum timpang seakan menertawakan gadis yang berusaha menggapai puntung rokoknya yang menyala.
“Matikan, Akio-san,” Saaya menunjuk ke arah rokoknya yang masih menyala. Akio malah mendekatkan puntung dengan segala penyakit itu ke arah mulutnya, kembali menghirupnya. Saaya langsung melompat untuk mengambil rokok itu, tapi malah gagal dan menubruk Akio sampai keduanya terhuyung ke belakang.
Untungnya, keseimbangan pemuda dengan iris hitam kelam jernih itu bisa di bilang-sangat-bagus. Pemuda itu terkekeh ketika menghadapi gadis yang kini kepalanya berada di dadanya, dan masih mencoba menggapai rokoknya itu, susah payah. Rautnya terlihat sangat konsentrasi dan sangat sebal.
“Akio-san-“
Tapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk memprotes ketika Akio menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu. Saaya bisa merasakan rasa rokok itu di mulutnya, dan ia mengernyit dan menjauh. Akio memandangnya dengan pandangan datar, seakan-akan ciuman yang tadi di curinya itu tidak pernah eksis.
“Akio-san...”
“Ya, aku matikan. Sebentar, Ohime-sama,” nada Akio terdengar bercanda, tapi pada akhirnya lelaki itu membuang puntung rokoknya ke tanah dengan keadaan masih menyala, lalu menginjak-nginjaknya sampai api dari batang kanker itu mati sama sekali. Ia lalu tersenyum kepada Saaya. “Rasanya apa, Sasaki?”
Saaya terdiam. Entah siapa yang mabuk di antara mereka-tapi benar-benar, Akio tampak seperti orang mabuk. “Nggak enak, Akio-san.” Segumpal ekspresi jijik muncul di mukanya, menunjukkan rasa tidak suka itu jelas ada, dan ia sama sekali tidak menyukainya-rasanya ia ingin menenggak sesuatu yang manis.
Akio terkekeh kembali. “Baguslah. Jangan pernah melakukannya, Sasaki.”
“I won’t.”
“Mau kubelikan jus jeruk? Tampaknya kau tidak suka sekali dengan rasa itu.” Akio tersenyum dan menepuk kepala gadis itu.