in the end (drabble)
458 words. /
prompt2017. S17. | 20-centric | fast drabble.
"Bodoh."
Frasa itu satu kata, lima huruf. Namun bisa menggambarkan dirinya, yang dengan bodohnya hanya terdiam, memandang lekat, hampir tajam, sebelum akhirnya kembali mengendalikan dirinya. Semua orang akan mengiranya melamun yang tampaknya wajar untuk orang seumurnya--dan tolong jangan mengingatkannya soal umur. Mengingat umurnya, ia tampak makin stres saja.
Rahangnya mengeras. Menatap dua orang pemuda yang tampak bercanda ria. Dengan keterbatasan bahasa, keduanya tampak akrab-akrab saja. Seakan sudah mengenal lama. Seakan mereka adalah sahabat sedari kecil. Padahal kalau tidak untuk turnamen ini, keduanya tidak akan mengenal satu sama lain. Melontarkan nama mereka dengan ceria, sambil tersenyum dengan janji-janji dan kejadian-kejadian seperti menonton bersama atau apapun.
Si kapten yang 'sebenarnya'--dimana sebenarnya ia hanya pengganti ketika si kapten ini diganti dengan seseorang yang lain yang berada di tim mereka--datang dengan seorang rekannya di sebelahnya hanya untuk mengucapkan kalau "kau ingin ikut makan? Kalau iya cepatlah". Rekan di sebelahnya tersenyum santun melihat keberadaan senior, si bintang. Mungkin dengan kebaikan dan keramahan orang yang menyandang nomor sembilan belas itu, ia sanggup menjadi 'ibu' dari tim mereka. Tapi, memangnya mereka apa? Keluarga mana yang jatuh cinta dengan anggota keluarganya yang lain?
Jatuh cinta itu klise, tampaknya.
Lantas ia mengacak rambutnya pelan. Memutuskan untuk hengkang, tidak tinggal untuk melihat. Tapi baru saja tiga langkah dari sana, sebuah tangan menahannya di udara (kehangatan yang familiar), membuat tasnya berayun pelan. Ketika ia menoleh, ia menyadari kalau yang berani menahannya pada saat ini adalah orang yang dari tadi ia perhatikan. Si pemuda dua puluh dua tahun yang kini tersenyum kepadanya, mata hijaunya menatapnya hangat.
"Hai, Senior! Mau makan dengan kami?" tawar pemuda kelahiran Amsterdam itu hangat. Pria yang tadinya ingin hengkang itu pun berhenti sebentar, sementara otaknya mengolah informasi yang baru saja masuk ke otaknya. Menimang-nimang pandangan dari skuad lawan itu lalu ke pria yang menahan tangannya. Hening, sebentar. Pandangan penuh antisipasi itu tidak bisa di lawan. Tapi namanya ini ia menghancurkan sesuatu yang harusnya privat, bukan? Tapi, kalau sampai mereka berdua--
Hening. Sudah mulai lama.
"Senior?"
"Tidak usah. Aku sudah ditawari Kapten duluan," ujarnya dengan tampang tanpa ekspresi. Lambat laun cengkraman si pria dua puluh dua tahun di tangannya pun menjadi lenggang. Ia pun mundur tiga langkah, lalu tersenyum ke arahnya. Katanya, 'kalau begitu, selamat makan!', lalu ia pergi ke samping pria dari skuad lawan, kembali bercanda dengannya. Membuat pria dengan nomor dua puluh itu terdiam sebentar memandang kedua bocah itu-- yang positif keduanya cengeng-- lalu mulai melanjutkan jalannya.
Berlawanan jalan dengan orang yang disayanginya itu-- yang mengaguminya setengah mati-- Ia bisa berjalan sendiri atau berjalan bersama-sama timnya sekarang. Bagian berdua? Tidak sekarang, jangan sekarang. Karena ia tahu satu hal. Ia berhenti sebentar, melirik si nomor punggung tujuh belas dengan senyuman tipis di wajahnya.
I'm going to have you in the end, you know.