title: BB series 3: Cita-Cita Budi
rate: G
warning: fail attempt at humor, uhuknistainguhuk, (kind of a character study ;w;/)
character(s): OC! Indonesia-milik-bersama Budi, karakter random-tanpa-nama sebagai teman, tetangga, guru(s) Budi
.
Sepanjang yang ia ingat, ia tak pernah ingin berakhir menjadi kurator, asistennya, ataupun menggenggam sarjana Paleontologi. Bahkan mimpi masa kecilnya tidak terkubur jauh di dalam tanah bermeter-meter jauhnya hingga butuh penggalian selama berbulan-bulan, tetapi tinggi, melebihi hamparan biru cemerlang langit dan awan-awan putih yang berarak mengikuti angin ke mana saja seperti pengikut setia, bertengger di dalam ruang hampa luar angkasa. Dan maksudnya itu secara harfiah.
Sepanjang yang ia ingat, ia selalu ingin jadi astronot. Ya, orang yang naik roket, pergi ke luar angkasa, dan berjalan di bulan dalam kostum tebal berhelm itu.
“Jadi kalau Budi sudah besar, mau jadi apa?” tanya guru TK-nya.
“Astlonot!” ia yang lidahnya masih pelat, menjawab mantap.
“Oh, ya. Mengapa?” Sang guru tersenyum.
“Mibeeeell!” Terbang, maksudnya.
Oke, bukan hanya pelat. Ia lebih suka menjawab pertanyaan dengan satu kata saja saat ia masih usia taman kanak-kanak, dengan logat jawa yang terlalu kental hingga membuat teman sekelasnya yang tak berasal dari desa kejawen-yang hampir semua anak di kelas-tak mau berteman dengannya karena tak mengerti apa yang dikatakannya. Oh, Budi.
Saat ia beranjak ke usia sekolah dasar, ia masih ingat menjawab pertanyaan gurunya dengan jawaban yang sama; astronot. Tapi dengan alasan yang jauh lebih keren-setidaknya menurutnya. Lagipula siapa yang membandingkan jawaban anak TK dengan anak SD?
“Ayo, Budi! Cita-citamu apa?” Guru kelasnya di SD adalah seorang bapak-bapak dengan kumis tebal berwarna hitam legam, mengingatkannya pada pegawai bengkel yang suka memberinya uang jajan.
“Astlonot, Pak!” Ia menjawab, pelat masih terbawa dari masa TK. Sedikit terlalu bersemangat dan sedikit membusungkan dada. Biarlah kalau mirip simpanse.
“Alasannya, Bud?”
Dan ia, si kecil yang tengah terobsesi dengan pesawat setelah diajak ke bandara Soekarno-Hatta menjemput jamaah haji menjawab, “Astlonot punya pesawat loket, pak! Lebih kelen dari pesawatnya pilot!”
Jawaban itu memang sengaja ditujukan sebagai ejekan ke rival terkuatnya dalam permainan gobak sodor, sekaligus musuh bebuyutannya-yang notabene bercita-cita jadi pilot dan tidak suka dikatakan kalau pesawat berpenumpang lebih payah daripada pesawat roket.
“Apa katamu, Bud! Pesawatku lebih keren!”
“OH, YA?!”
Maka kelas hari itu berakhir dengan dihukumnya dua anak laki-laki yang benjol karena berkelahi. Masalah pesawat imajiner.
Saat ia masuk SMP, ia masih tetap ingin jadi astronot.
“Kau ingin jadi apa, Bud, nanti?” tanya temannya suatu hari.
“Astronot!” ia berseru.
Sang teman mengangkat alis. “Oh, ya?”
“Yep!” Ia mengisyaratkan dengan penuh semangat. Dan karena ia baru mulai belajar yang bernama Astronomi. “Aku ingin seperti Neil Armstrong, tapi lebih keren lagi. Aku ingin pergi ke Callisto! Bulannya Jupiter itu, lho!”
“Mengapa Callisto? Mengapa bukan yang lain?”
“Karena Callisto itu keren!” jawabnya tak kurang mantab.
“Kok bisa?” tanya sang teman lagi.
“Kalau kataku keren, berarti ya keren!”
Kualitas yang dideskripsikan Budi sebagai “keren” harus diambil parameternya lagi. Karena jelas sekali, sangat ambigu. Lebih seperti kalau ia mengatakan seenak weteng dhewe.
Saat ia SMA, memang keinginannya menjadi astronot masih ada. Tetapi tidak semantap sebelumnya.
“Budi.” Guru Fisikanya hafal betul dengan dirinya. Dan dengan nilainya. “Apa maksudnya ini? Kamu kok bisa dapat 5 padahal yang lain tak ada yang kurang dari 9?”
“Iya, maaf, bu.”
Semua karena ia menyadari Fisika krusial untuk menjadi seorang astronot. Dan ia sangat buruk di satu mata pelajaran itu.
Lalu segalanya terputar balik di suatu senja, saat ia membantu tetangganya menggali halaman belakang rumah untuk membangun kolam ikan lele-dengan iming-iming boncengan sepeda motor untuk menonton wayang di perayaan sedekah bumi kabupaten. Tujuh meter lubang yang telah ia gali, paculnya menghantam benda putih kusam hingga retak. Sepasang mata hitam mengerjap.
Ia meletakkan pacul dan mulai membersihkan sekitar benda itu dengan tangan. Matanya membesar menemukan sebuah tengkorak. Tetangganya yang baru datang kembali dari dalam rumah membawa semen dan timba mengernyit memperhatikan Budi memegang tengkorak yang retak bagian ubun-ubunnya.
“Bud, kau nemu apa?” tanyanya.
“Ini, tengkorak. Apa dulu daerah sekitar sini makam?” ia balik bertanya.
Tetangganya manggut-manggut memperhatikan tengkorak itu, lalu mulai bercerita. “Dulu pada saat masa Londo, daerah ini adalah perkebunan. Lalu saat masa Kebangkitan, penduduk yang jadi dipaksa jadi budak Londo memberontak. Banyak yang terbunuh karena saat itu senjata Londo jauh lebih maju. Tengkorak ini mungkin milik salah satu pribumi.”
Entah mengapa ia begitu tergerak dengan cerita itu. Rahangnya jatuh dan mimik di wajahnya seperti tengah terkagum. Mengungkap lagi bukti dari kejadian masa lalu-
Saat itulah ia tak lagi ingin menjadi astronot dan terbang melebihi angkasa, tetapi ia ingin membongkar bumi, menemukan sesuatu, dan mengungkap lagi sejarah mereka.