[ficlet] BB series 4

Mar 07, 2013 19:25


title: meets Sanjoyo
rate: PG
warning: ooc at the finest, and so much faaaiiiill orz
character(s): Indonesia-milikbersama!OC Budi, Undies!OCs (Rangga, Joni, mention of other three), random friends and much-more-random satpam.
. . .
Dentang sepuluh kali terdengar saat ia melangkahkan kakinya melewati pintu masuk untuk pertama kali. Di wajahnya senyuman kecil terkembang. Bagaimana tidak? Akhirnya ia bisa menggunakan ilmu dan ijazah yang ia peroleh susah payah. Paleontologi, yang biasanya dikatakan “Buat apa, Bud? Kau mau nikah sama mumi? Hahahaha!”oleh teman-temannya se-penongkrongan (?) di warung giras Bu RT sebelah lapangan bola, sekarang akan ia buktikan berhasil membawanya mendapat pekerjaan indoor. Berbeda dengan rewang di sawah dan kebun pisang Pak Lurah, pekerjaan outdoor tak elit yang ditekuninya bersama teman-temannya dan malah membawa sebutan “pengangguran” untuk mereka.
Ck. Dentang jam hitam kuno itu membuatnya sakit kepala. Sisa jaman penjajahan sepertinya. Dan satpam yang membiarkannya masuk hanya memberi instruksi yang tidak jelas; "Tunggu saja di kursi dekat jam, Tuan Sanjoyo akan menemuimu nanti".
Nanti. Kata paling ia benci sekarang. Tapi tetap, ia penasaran dengan Sanjoyo ini. Ia sudah mendengar namanya bahkan sebelum mendapatkan gelarnya. Kurator ternama, mereka berkata, tapi orangnya agak... katakanlah, eksentrik. Berbeda. Dan perasaannya berkata mereka memakai bahasa yang diperhalus.
Setengah jam ia sudah menunggu. Detak jam itu sedikit menganggu. Hampir seperti korek kodok setelah hujan, tapi dengan tambahan efek elektris. Yah, kodok ngorek yang sedang telepon. Ia menghela napas. Ia berpikir apa Komo di rumah akan mau makan kodok itu-yang benar-benar tak membantu tingkat stress dan gugupnya.
Museum itu begitu sepi. Hanya ada satu dua orang yang datang, sekalipun hari kerja dan jelas-jelas tulisan BUKA terpampang di jendela depannya. Bukan kawasan yang cocok untuk sebuah museum memang, daerah tempat berdirinya bangunan ini-dengan banyaknya bangunan perkantoran dan mall, tapi cukup ramah untuk sesuatu yang berbeda dan banyak transportasi yang bisa dipilih. Lagipula bangunan museum ini-bergaya Belanda, bekas peninggalan Londo-jelas kalah ukuran dan pamor dengan tetangganya.
Ia menghabiskan waktunya dengan mengidentifikasi benda-benda yang terpampang di etalase yang bisa ia lihat sembari menunggu siapapun yang bernama Sanjoyo itu selesai dengan urusan apapun yang sedang dikerjakannya dan menyadari bahwa ada anak muda yang melamar menjadi kurator di tempat ini. Di lemari kaca yang paling dekat dengannya ada beberapa tulang, seperti milik pribumi. Tetapi bentuknya lebih mengarah ke suku-suku di daerah timur Indonesia. Lalu beberapa senjata tradisional, bahkan yang masih berasal dari batu. Di sisi yang lain ia melihat beberapa gulungan lontar yang sudah dimakan usia. Jenis yang mereka pakai untuk menulis sesuatu yang penting di masa kerajaan kuno Nusantara.
Dentang pertama dari jam sebelas, dan ia hampir melonjak karena pintu berwarna gelap dari kayu jati tebal tak jauh dari tempatnya duduk terbuka. Seorang pemuda berwajah elok keluar dengan wajah cemberut, dikejar oleh lelaki muda lain yang mengenakan berkacamata.
“Tapi baby, aku tak bisa,” sang lelaki muda berkacamata memelas. “Rangga, kau tahu sendiri bagaimana pekerjaanku. Lagipula 'kan ada Guntur, Gar, dan Eka.”
“Jadi Joni sudah tak sayang denganku?” Pemuda itu masih cemberut.
Alisnya terangkat. Bukan pertama kali ia bertemu dengan pasangan gay, tetapi pertama kalinya ia melihat pertengkaran yang seperti ini.
“Tentu aku sayang padamu, honey bunny sweety.” Si kacamata mencoba untuk menciumnya, tapi malah berakhir hampir terjatuh saat didorong sang pemuda.
“Kau lebih suka mencium Gar.”
Ekspresi di wajah kacamata kontan mengundang tawa meluncur dari mulutnya. Seperti ingin membantah, tapi juga tak bisa berbohong. Si kacamata tampaknya mendengar itu dan memberinya pandangan tajam. Ia hanya mengangkat tangan, berusaha tampak tak bersalah, walau jelas-jelas gagal. Bukan salahnya kalau ia tak bisa berhenti tertawa.
“Aku mau pulang,” sang pemuda menyatakan.
Helaan napas. “Aku akan mengantarmu.”
“Tidak usah. Aku naik taksi saja.”
Dan dengan itu sang pemuda melangkah cepat keluar gedung museum dan meninggalkan si kacamata dengan wajah tak karuan. Ia ingin merasa kasihan, tapi perutnya malah lebih tergelitik lagi dan ia berusaha keras menahan tawa. Playboy terang-terangan sedang mendapat cobaan.
“Kalau kau berani menceritakan itu tadi ke orang lain, kau mati!” Serius, sejak kapan kacamata berdiri di dekatnya? Dan serius lagi, orang macam apa yang senyumnya lebih seram dari tawa Mak Lampir?
Ia menganggukkan kepala cepat.
“Lagipula siapa kau dan mau apa ke sini?” tanya si kacamata padanya.
“Ah, nama saya Budi-”
“Ooh, jadi kau yang bernama Budi?” Senyum itu kembali lagi. Lebih lebar, pula. Dan kali ini ia tak bisa merasakan sesuatu selain getar aneh yang mengundang peluh dingin dan perutnya yang berkelit. Si kacamata mengulurkan tangannya untuk berjabat. “Sanjoyo L. Setiabudi.”
Oh, Tuhan, ampuni segala dosa dan khilafnya. Ia rasa ia tak akan selamat di pekerjaan barunya ini. Lebih buruk lagi, ia hampir bisa membayangkan teman-temannya berkata “Apa kataku!”
(end)

undies!verse, jebret!verse, budi, ocs, indonesia, fanfiction

Previous post Next post
Up