[songfic] after you

Mar 16, 2013 19:06


Songfic lagi, blame it on that fanmix orz. Terinspirasi dari spoiler season 9 yang saya baca di tumblr entah di mana, melibatkan Sam dan Dean dan.... yeah, so, be warned. rate-T karena tema, slash, wincest, tapi no real action going. Yeah, y'know me.
.
.
after you
. . .
.
love of mine, someday you will die
but I'll be close behind
I'll follow you into the dark
.
. . .
Ia bisa melihat Dean. Ia bisa melihat sepasang mata sang kakak mengkilat, berkaca-kaca dan penuh oleh emosi tertahan. Sepasang iris itu seperti kolam klorofil yang larut dalam alkohol di bawah timpaan sinar matahari penuh-hijau, begitu cemerlang. Elok. Kontras dengan keterpurukan yang menggantungi atmosfer mereka, mencekik begitu erat hingga tak ada ruang untuk napas lega. Kalau saja ia bisa membuka mulutnya, kalau saja ia bisa menggerakkan tubuhnya, mungkin ia sudah akan memeluk Dean begitu erat, menciumnya hingga mereka lupa dunia-dan bahkan ia tak akan protes saat Dean memanggilnya banci.
Yah, kalau saja ia bisa. Hanya ia tidak bisa. Terjebak dalam alam tidak sadarnya, ia hanya bisa melihat dunia luar, menyaksikan Dean duduk di kursi metal yang membuat suara keras bak teriakan banshee dan merasakan hatinya semakin patah, semakin retak setiap kali emosi datang ke wajah sang kakak-yang ia tahu, terjadi setiap hari.
Koma sialan, membuatnya merasa begitu tak berdaya. Ia pernah keluar masuk neraka, surga, bahkan Dean dari Purgatory; tapi di dalam dirinya sendiri dan tak bisa keluar? Ia tak tahu caranya.
Ia mulai tak bisa tahan mendengar “Sam , kau harus bangun, bung”, “Sam, kau tak bisa meninggalkanku sendiri seperti ini, tidak. Jangan pernah”,  “Bangun, Sam, buka matamu. Kumohon” yang keluar dari mulut Dean setiap beberapa saat sekali. Ia tak suka mendengar nada tak berdaya itu keluar dari mulut Dean.
Tapi ia tak bisa. Betapapun kerasnya ia berusaha, tetap tangannya tak bisa meraih. Tubuhnya tak bisa bergerak. Frustatif, memang.
Dan dengan Castiel yang sekarang sudah pergi, tak ada lagi harapan.
Hari itu ia bisa melihat mendung menggantung tebal dari balik kelopak matanya. Rintik-rintik hujan pertama sudah turun, menghantam tanah dan menggores alur panjang seperti ukiran timbul di luar kaca jendelanya. Ruangannya yang biasanya bersuhu rendah, kini semakin dingin saja. Jam besuk sebentar lagi dibuka-bahkan ketika ia tak sadar, tubuhnya masih mengingat kapan Dean akan datang tiap hari. Seakan memiliki reaksi Pavlov, tubuhnya menyesuaikan jam biologisnya dengan... Dean.
Ah, bukankah memang selalu seperti itu sedari dulu; sejak mereka masih anak ingusan yang saling menggantungi satu sama lain setiap kali ditinggal pergi sang ayah?
Langkah-langkah kaki yang ia tunggu akhirnya datang, tak sampai lima menit setelah jam besuk mulai dibuka. Tap, tap, tap yang berbeda dengan taptaptap ketika mereka masih hidup dengan menyusuri jalanan, bolak balik Amerika dalam Impala hitam kesayangan sang kakak. Terdengar lebih letih, lelah, seakan segala yang diinginkannya hanyalah duduk diam, berhenti mendengar dunia, berhenti melakukan segalanya, hanya tidur sampai detak jam tak lagi bisa mengejar perginya kesadarannya.
Selalu, ia bisa merasakan hatinya bertambah retak.
“Whew, anginnya hebat sekali di luar, Sammy. Aku hampir tertiup.” Suara tawa kecil terluncur, menggema pelan di ruangan sunyi itu-dan kalau ia bisa, ia akan ikut tertawa bersamanya, atau mungkin hanya tersenyum kecil.
Apapun, tolonglah, a p a p u n.
Hanya ada suara taptap pelan dan gemerisik untuk beberapa saat ketika Dean melipat payung dan meletakkannya di pojok ruangan, lalu memeriksa berbagai alat yang terhubung dengan tubuh limbung Sammy. Diiringi suara pekikan kursi banshee itu dan akhirnya ia bisa melihat wajah Dean-yang entah mengapa sedikit lebih tenang dari hari-hari biasanya, walaupun keletihan jelas-jelas menambah ukiran di wajahnya.
“Jadi aku menanyai orang.” Ah, suara Dean tak pernah berhenti menghadirkan rasa itu, sensasi yang selalu ada ketika ia bersama sang kakak, seakan segalanya akan baik-baik saja, meskipun ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kau tahu, seperti yang terjadi pada Bobby beberapa waktu lalu, saat ia terjebak dalam mimpi. Dan kupikir aku akan mencoba hal yang sama.”
Ia tak bisa merespon-ia tak bisa. Ia ingin mengatakan kalau koma jelas-jelas tidak sama dengan tidur. Ia ingin mengatakan kalau ia tidak sedang bermimpi, tidak sedang terjebak dalam mimpi apapun, bisa melihat dan mendengarnya dengan jelas hanya tak tahu bagaimana ia bisa meraih Dean dan serius, Dean, berhentilah melakukan hal-hal bodoh yang akan membunuhmu, aku tak ingin kau mati!
Dean mengeluarkan sebungkus plastik yang berisi bubuk berwarna kekuningan. Ia hanya bisa menyaksikan saat Dean memasukkan bubuk itu ke dalam segelas air putih dalam dosis yang banyak. Ia mulai merasa takut. Bubuk Silene capensis* tak seharusnya diminum sekaligus dalam jumlah sebanyak itu.
Lalu tubuh Dean terjatuh di atas selimutnya. Wajah kosong, tertidur, tampak jauh lebih tenang daripada beberapa hari ini setiap kali sang kakak datang menjenguknya. Dan entah mengapa melihat wajah damai itu, ia merasakan kesadarannya sendiri tertarik, jauh dan dalam. Ia-
-t e n g g e l a m-
. . .
.
if heaven and hell decide that they're both satisfied
illuminate the NOs on their vacancy sign
if there's no one beside you when your soul embark
then I'll follow you into the dark
.
. . .
Seseorang mengguncangkan bahunya. Ia mengerjapkan matanya dan menyadari berada di kusi depan Impala, langsung bertemu jendela kaca dengan panorama gelap jalanan di malam hari. Rasanya segalanya begitu berat, seakan ia baru bangun dari tidur yang sangat panjang. Ia mengucek-ucek matanya dan menemukan Dean memberinya padangan geli bercampur lega.
“Di mana kita sekarang?” tanyanya. Bahkan suaranya terdengar serak. Tenggorokannya begitu kering, seakan ia tidak minum berhari-hari lamanya.
Dean hanya mengedikkan bahunya. “Entahlah. Di suatu tempat di Massachusetts.”
Ia hanya menghela napas. Samar-samar ia teringat sesuatu-mimpi mungkin? Tapi terasa begitu nyata dan jelas; di mana ia tengah koma, ruangan di rumah sakit, Dean-
“Dean?”
“Hm?” Sang kakak hanya melanjutkan menyetir Impala, membelah malam dengan lampu depannya. Deru mobil itu menggema pelan, hampir ditenggelamkan oleh AC/DC yang menjerit dari pemutar kaset tua mereka.
“Aku-” Ia memotong dirinya sendiri. Kemampuan psikisnya sudah berhenti sejak beberapa tahun silam. Tidak mungkin mimpinya berarti sesuatu. Tidak mungkin akan terjadi.
“Apa, Sammy?” tanya Dean. Dahi sang kakak tampak mengernyit khawatir.
Ia menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak apa-apa. Hanya mimpi biasa, kurasa.”
Matanya teralih ke panorama di luar jendela, tak menyadari saat mimik di wajah Dean berubah jadi kaku.
. . .
.
-kalau tak lagi bisa aku m e n y e l a m a t k a n m u,
biarkanlah aku pergi m e n y u s u l m u,
di manapun itu kau tengah berada-
.
. . .
Sebuah ruangan di pojok terjauh rumah sakit. Satu tempat yang agak tabu bagi para dokter, perawat, dan pekerjanya yang lain, ditempati dua orang pasien. Keduanya lelaki, berada di dekade ketiga usia mereka, tak pernah sadar lagi sejak lima tahun yang lalu. Tak ada yang mengunjungi mereka. Tak ada catatan tentang mereka, kecuali beberapa tindakan kriminal kecil. Dan tak ada yang tahu siapa sebenarnya mereka atau kalau ada keluarga yang mencari mereka.
Winchester, Sam dan Winchester, Dean. Tertulis di bawah label nomor ruangan 2Y05.
. . .
.
the time for sleep is now
it's nothing to cry about 'cause we'll hold each other soon
in the blackest of room
.
[lirik dari Death Cab For Cutie - I will Follow You into the Dark]
.
(end)
.
*) Silene capensis; African Dream Root. Dipercaya dapat menyebabkan mimpi yang jelas, nyata, vivid, bahkan masuk ke dalam mimpi orang lain. Seperti di episode Dream a Little Dream of Me.

slash, sam winchester, songfic, dean winchester, supernatural, fanfiction

Previous post Next post
Up