....hanya sesuatu...
Kalau kau melihatnya di peta, hanya akan terlihat titik kecil berwarna hitam, dengan hanya huruf pertama yang kapital. Kalau kau menyebutkan namanya pada orang yang tak berasal dari provinsi, atau pulau yang sama, mereka tak akan tahu sama sekali. Hanya si kecil yang tak jauh berbeda dengan si kecil-si kecil yang lain.
Lautnya tak sebiru safir, pantainya tak bisa disebut indah dan tak sebanding dengan hamparan pasir putih di bagian timur Indonesia. Hamparan pohonnya tak bisa disebut hutan, tak sehijau zamrud. Bukitnya dari kapur yang membuat air terasa agak aneh bagi mereka orang luar. Mungkin hanya stalakmit dan stalaktit gua-guanya mampu mengundang decak kagum manusia-tapi lorong-lorong itupun terpendam di dalam bumi.
Dalam setiap gores yang membentuk wajahnya, tak ada yang bisa dikatakan istimewa. Tak ada yang elok tentangnya.
Karena garis-garis keindahan itu tak tersimpan di wajahnya, tetapi jauh di dalam rangkaian sejarah yang terekam bersama jejak langkah kakinya. Berabad-abad silam, bahkan jauh sebelum Nusantara menyandang nama NKRI, jauh sebelum Netherlandsch Indie kukuh berdiri di atas ribuan pulau ini.
Sejarah mengingat saat ia besar bersama imperium penakluk, bersama sumpah Palapa yang menggetarkan bumi Nusantara. Karena ialah gerbang masuk Wilwatikta-dan begitu seterusnya sejak ia berdiri hingga Majapahit jatuh di tangan kesultanan Demak. Raden Wijaya membangunnya bersama kerajaan besar itu dan Ranggalawe membuatnya semakin besar. Walaupun ada noda hitam berwujud fitnah, pemberontakan, dan perang saudara ikut mengukir jasadnya, namun itu semua bagian darinya. Bagian dari keriput yang menghiasi wajahnya.
Dari satu titik waktu ke titik selanjutnya, ia berjalan bersama detak jam. Ia menyaksikan saat sunan Bonang menjalankan dakwah dan menyebarkan kata-kata-Nya hingga dimakamkan di salah satu sudut pusat kota. Ia menyaksikan Londo mengklaim pulau dan menyaksikan bagaimana orang-orangnya melawan dengan akal cerdik-karena harus ia akui membiarkan mereka mabuk tuak lalu menyerang, shh, badass!
Ia juga turut larut dalam gempita kemerdekaan negara. Republik Indonesia-nama yang sedikit panjang, tapi tak kurang dalam maknanya. Tak kurang besar dan jelas-jelas tak kurang dalam harapan; lihat saja apa yang dikatakan para pemudanya yang sepertinya tak pernah berhenti optimis.
Dan segala yang ia lakukan hanya tersenyum, memandang segala terlewat dengan kelembutan terpancar jelas dari dalam sepasang matanya.
Lalu setelah itu, segalanya berjalan. Waktu melangkah, orang-orang datang dan pergi, tahun-tahun melewatinya. Sekalipun kaya di dalam nama sejarah, namun bagi generasi baru ini, ia hanya sebuah kota kecil biasa. Tak lebih dari kecil-kecil yang lain.
Mungkin memang benar adanya. Dan namanya kini tak bergema sekeras dulu. Hanya sebuah nama tanpa kerajaan besar di belakangnya. Ia bukan gerbang lagi. Ia hanya... i a.
Ah, sang terkasih yang diingat sejarah namun dilupakan masa-itulah dirinya. Dijejak waktu dan digilas bayangnya, namun tak pernah mengembalikan apa yang pernah ia miliki saat Wilwatikta masih berada di belakang punggungnya.
Dan biarlah angin utara membawa kesedihan pergi, jauh ke tengah Laut Jawa hingga menghilang terbawa arus ke tengah Pasifik jauh dan tak pernah kembali lagi ke pantainya. Untuk itu, biar benak ini yang selalu mengingat nama dan jayanya yang dulu, mengingat sumber air yang menyembur dan batu yang terjatuh.
.
. . .
.
yep, ini tentang Tuban (kalau metu banyu dan watu tiban masih kurang memberi petunjuk). dan frankly, memang beginilah yang saya rasakan tentang beloved town ini.