[Fanfic] Ore wa homo janai! Reita/Ruki. R. Chapter 3a

Dec 22, 2011 22:19

Title: Ore wa homo janai!
Chapters: 3a/3
Authors: CHISA
Fandom: J-Rock Visual Kei, the GazettE, Alice Nine, Golden Bomber
Genre: AU, romance, fluff, humor as always
Warnings: Yaoi, fem!Kai, write in Indonesian, OOC, aneh
Rating: PG-15 over all (chapter ini R)
Pairing: ReitaxRuki (AkiraxTakanori)
Summary: Suzuki Akira bukanlah dan tidak akan pernah menjadi seorang gay. Begitulah motto hidupnya selama ini. Tapi setelah bertemu dengan teman kakaknya yang seorang cowok yang mukanya sangat manis, Akira mulai merasakan debaran aneh di dadanya. #eeaaaa~
Disclaimer: I DON’T OWN THE GAZETTE. BUT I OWN THE STORYLINE. DO NOT STEAL OR I’LL BASH YOU.

Comments: Di ini penpik, anggap saja Reita itu mirip Daigo hidupnya XDD Ah, satu lagi, aku make nama asli Kai disini, Yutaka, dan eke ganti jadi Yutako. Kalo pembaca yg budiman mau ngebayangin Christine Yutako juga ga papa XDDD #tampared. Judulnya terinspirasi ama tweetnya nenekxaoi beberapa minggu silam yang mengutip kata-kata Nakatsu di Hanakimi~

***」」」」」」」」 o(~∇~*o)(o*~∇~)o 」」」」」」」」***
Akira menghela nafas pelan, menatap ke arah sofa di salah satu pojokan kamarnya. Sofa cokelat muda yang kini ditempati oleh seorang anak laki-laki. Seorang anak laki-laki yang baru tadi siang ia temui. Seorang anak laki-laki yang ia kira perempuan sebelumnya. Seorang anak laki-laki yang  ternyata staff barunya Yutako, kakaknya. Seorang anak laki-laki yang sekitar dua jam yang lalu menangis di pelukannya. Siapa lagi kalau bukan Takanori. Yah, meskipun kenyataannya Takanori itu lebih tua darinya. Tapi tinggi dan wajah Takanori yang masih seperti bocah membuat Akira tidak ingin memanggilnya seorang pria, melainkan seorang anak laki-laki.

Takanori kini terlelap di atas sofa cokelat itu. Padahal sofa cokelat itu tidak cukup panjang untuk dirinya, sehingga membuat dirinya menekuk kedua kakinya. Akira yang melihat itu sebenarnya merasa tidak enak. Sementara dirinya berbaring dengan nyaman di kasurnya, Takanori harus tidur di sofa yang bukan diperuntukkan untuk tidur itu. Bukan salah dia juga sih. Tadi dia sudah menawari Takanori untuk tidur di kasurnya sementara dia akan tidur di sofa karena semua futon yang tersedia di rumahnya sudah dipakai oleh staff-staff Yutako (yang Akira yakini Yutako pasti sengaja mengambilnya semua). Tapi Takanori tetap memaksanya untuk tidur di kasurnya karena ini adalah kamarnya. Sekitar dua jam yang lalu, Akira yang baru saja berbaring di atas kasurnya untuk menonton sebuah acara di televisi tiba-tiba sedikit tersentak ketika pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Saat ia membuka pintu, Takanori, sambil membawa tas ransel yang berisi pakaian-pakaiannya, berdiri di depan pintu kamarnya dengan gelisah. Dengan malu-malu ia memberitahukan Akira bahwa ia disuruh Yutako untuk tidur di kamarnya karena ia laki-laki dan tidak mungkin ia tidur bebarengan dengan ketiga staff Yutako lainnya yang merupakan tiga orang perempuan. Akira mendengus ketika mendengar alasan Takanori itu. Salah satu rencana Yutako pasti. Mau tak mau Akira harus mempersilahkan Takanori tidur di kamarnya. Ia juga tidak mau kena marah ibunya lagi.

Akira mengecilkan suara televisinya kemudian bangkit berdiri, mendekati sofa yang ditempati oleh Takanori. Tepat seperti dugaannya, Takanori merasa tak nyaman tidur di sofa itu. Terlihat dari kedua alisnya yang sedikit mengerut dan mimik mukanya yang menunjukkan ketidaknyamanan. Akira berdoa semoga Takanori bukanlah orang yang mudah dibangunkan oleh sentuhan karena detik setelahnya, Akira mengangkat tubuh Takanori dengan hati-hati kemudian membopongnya menuju kasurnya yang lumayan besar. Dengan lembut ia membaringkan Takanori di sisi sebelah kanan kasurnya, dekat dengan tembok kemudian menutupi tubuhnya dengan selimut. Akira sedikit tersentak ketika Takanori bergerak dan merintih pelah. Ia menghela nafas lega saat mengetahui Takanori masih terlelap di dalam tidurnya.

Akira memandangi wajah Takanori sejenak. Bukan, dia bukannya mau menyerangnya tiba-tiba atau apa. Ia hanya sekedar memandangi wajah Takanori saja. Ia tak menyangka di balik wajahnya yang manis, Takanori menyembunyikan kesedihan yang dalam. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Akira ingin menghapuskan kesedihan Takanori. Tapi bagaimana? Menjadikannya sebagai pacar? Itu sama saja masuk perangkap milik Yutako. Akira mendengus pelan.

Sebenarnya Akira memang menyukai Takanori. Saat pertama kali bertemu dengan Takanori, ia langsung jatuh cinta dengan wajah manis Takanori yang sangat sesuai dengan type kesukaannya. Tapi setelah mengetahui bahwa Takanori adalah seorang anak laki-laki, pikirannya menjadi kacau. Di satu sisi ia menyukai Takanori, tetapi di sisi lain ia tidak ingin menjadi seorang gay seperti yang Yutako harapkan. Bukannya dia membenci kaum gay atau apa. Hanya saja, Akira tidak mau diledek abis-abisan oleh kakaknya itu. Ia lebih memilih harga dirinya daripada perasaannya.

Wajah Takanori memang sangat manis. Membuat semua orang yang melihatnya menjadi gemas kepadanya saat melihatnya tersenyum ataupun saat wajahnya memerah karena malu. Tetapi saat seperti ini wajahnya juga terlihat manis. Sejak dipindahkan Akira ke tempat tidurnya, mimik muka Takanori terlihat nyaman dan damai. Membuat Akira tersenyum dan tangan kirinya kini membelai rambut Takanori dengan lembut. Sadar apa yang sedang dilakukannya, Akira menarik tangannya dan menampar dirinya. Hampir saja dia kehilangan kendali. Tak mau terlarut dalam pikirannya yang kacau, Akira mengambil remote televisi dan mematikan benda elektronik tersebut. Kemudian dengan batas sebuah guling di tengah-tengah, Akira tidur di samping Takanori. Tentunya dengan membelakangi Takanori karena ia tak mau hilang kendali sekali lagi hanya karena ia memandangi wajah Takanori. Dengan perasaan tak tenang, Akira mencoba tidur. Berharap semoga besok pagi kakaknya tidak memergokinya tidur seranjang dengan Takanori. Dan sangat berharap semoga Takanori adalah tipe orang yang tidak banyak bergerak dalam tidurnya.

***」」」」」」」」 o(~∇~*o)(o*~∇~)o 」」」」」」」」***
Keesok harinya Akira bangun sekitar pukul sebelas. Ia menggeliat dan membalikkan badannya, menemukan sisi kasurnya yang sudah kosong. Bantal dan selimut di sampingnya sudah terlipat rapi. Bahkan spreinya pun seperti tidak ada yang menidurinya semalam. Takanori sudah bangun duluan rupanya. Akira berharap semoga Takanori tidak berpikir macam-macam karena ia sudah memindahkannya di kasurnya dan tidur seranjang bersamanya. Tanpa melipat selimutnya ataupun merapikan tempat tidurnya, Akira bangkit dan berjalan keluar menuju kamar mandi di bawah untuk melakukan aktivitas paginya. Hari ini ia ada kuliah jam 1 siang. Selesai cuci muka dan gosok gigi, ia kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian dan mengambil barang-barang yang dibutuhkannya untuk kuliah. Saat ia kembali ke lantai bawah terdengar suara kakaknya bercakap-cakap dengan suara yang familiar di kupingnya.

“Ah, itu dia orangnya. Aki-chan~ Shinji-kun sudah menjemputmu nih,” ucap Yutako. Pemuda bertubuh jangkung yang bernama Amano Shinji itu melambaikan tangannya pada Akira. Amano Shinji adalah teman baik Akira sejak SMP. Dari SMP sampai kuliah saat ini, mereka berdua selalu bersama. Dulu saat SMP, Yutako pernah menjodohkannya dengan Shinji saja. Tapi keduanya menolak mentah-mentah karena Akira tak mungkin memacari sahabatnya sendiri, apalagi Shinji itu terlihat jantan dan tidak ada feminim-feminimnya. Sedangkan Shinji menolak Akira karena Akira bukan tipenya.

“Yo!”

Bukannya membalas sapaan dari Shinji, Akira malah memandangi Yutako. “Bukannya kau sedang sibuk mengejar deadline, kenapa malah ngobrol dengan Shinji?”

“Aku hanya menanyakan kabarnya dengan Takashi kok,” jawab Yutako sambil memanyunkan bibirnya. Sadar ucapan Yutako barusan keceplosan, Shinji menyenggol lengan Yutako pelan dan membisikkan sesuatu. Yutako terlihat menenangkan Shinji kemudian menatap Akira kembali. Tingkah keduanya membuat Akira mengerutkan dahinya curiga.

“Takashi?” tanya Akira bingung.

“Anou… Sakamoto Takashi, satu kampus dengan kalian tapi dia angkatan satu tahun di bawah kalian. Kau mengenalnya kan?” jelas Yutako.

“Takashi yang kurus dan jangkung itu?” tanya Akira memastikan. Yutako mengangguk ragu-ragu. “Dan hubungannya dengan Shinji? Sebentar, Shinji, kau tidak terpengaruh virus homo Yutako kan?” Akira kini memandangi teman baiknya itu dengan tatapan mencurigai. Yang ditatap hanya menggigit bibir bawahnya sambil menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya. Yutako yang berada di samping Shinji sekali lagi membisikkan sesuatu di kuping Shinji, membuat Akira semakin curiga. Pasti Shinji sudah menjadi seorang gay. “Ya Tuhan…” ucap Akira sambil menutupi kedua matanya dengan telapak tangannya.

“Ma-maaf, Akira! Aku menyembunyikannya darimu. Ya, Takashi itu pacarku. Sebenarnya aku sudah berpacaran dengan Takashi selama hampir tiga tahun. Tapi jangan salahkan Yutako, dia hanya memberiku nasehat saja. Dia tidak mempengaruhiku apa-apa, aku sendiri yang menyukai Takashi. Aku yang malah selalu datang pada Yutako ketika aku ada masalah. Jadi, sekali lagi jangan salahkan dia dan maafkan aku, Akira,” jelas Shinji sambil membungkukkan badannya ke arah Akira. Berharap Akira mau memaafkannya karena selama ini ia menyembunyikan jati dirinya yang seorang gay. Hal itu dikarenakan Shinji tak mau kehilangan sahabatnya hanya karena ia seorang gay.

“Hha… sudahlah, yang penting kamu bahagia dengannya kan? Aku tak mau hanya karena aku hubunganmu dengannya menjadi rusak atau hanya karena Takashi adalah pacarmu lalu hubungan persahabatan kita jadi renggang,” ucap Akira dengan penuh pengertian. Mendengar ucapan Akira, Shinji langsung menegakkan badannya dan menatap Akira dengan tatapan tak percaya.

“Jadi, kau memaafkanku Akira?”

“Ya, ya, aku memaafkanmu,” Akira mengangguk dengan malas. Mungkin sudah nasibnya hidup dikelilingi dengan lingkungan homo macam seperti ini. Lama-lama ia mulai merasa bersyukur juga meskipun kehidupannya dipenuhi hal-hal yang tidak disukainya. Setidaknya di kehidupannya ia tidak pernah merasa kekurangan ataupun merasa sengsara.

“Terima kasih Akira, kau memang sahabat terbaikku. Lain kali akan kubawa Takashi kesini,” Shinji, yang sangat senang mengetahui Akira tidak marah padanya langsung memeluknya erat dan mencium pipinya. Membuat Akira kaget dan mendorong tubuh Shinji yang lebih besar darinya. Berusaha melepaskan diri dari pelukan Shinji yang erat.

“Shinji! Apa-apaan sih kamu! Lepasin! Pake nyium segala lagi, jijik tahu!” teriak Akira sambil mengusap-usap pipinya yang bekas dicium oleh Shinji.

“Hahaha…”

“Sudah kubilang kan, Shinji-kun, dia tak akan marah kalau kau beri tahu,” Yutako yang melihat keakraban kedua laki-laki di depannya itu tersenyum manis. Ikut senang dengan hubungan keduanya yang baik-baik saja, malahan semakin akrab kalau dipikir-pikir.

“Ya, terima kasih nee-chan atas bantuannya selama ini. Kau harusnya bersyukur memiliki kakak sebaik Yutako, Akira,” ucap Shinji sambil mengacak-acak rambut Akira. Akira yang semakin sebal hanya memanyunkan bibirnya dan berhenti mendorong Shinji karena usahanya itu sia-sia aja.

“A-anou, maaf mengganggu kalian,” ucap seseorang di belakang mereka bertiga. Ketiganya hampir bersamaan menoleh ke arah sumber suara yang ternyata adalah suara milik Takanori. “Nee-chan, kau dipanggil oleh Miwa-san. Katanya ada bagian yang tidak jelas gambarnya,” ucap Takanori dengan pandangan ke bawah. Seperti menolak memandangi ke arah Akira dan Shinji.

“Oke. Kalian berdua, baik-baik ya.” Selesai mengucapkan itu Yutako meninggalkan Akira dan Shinji, kembali menyibukkan dirinya di dalam ruang kerjanya. Takanori mengikuti Yutako kembali ke ruang kerjanya. Tapi sebelum tembok menghalangi pandangannya ke arah Akira dan Shinji, tanpa disadari keduanya Takanori melirik keduanya dengan pandangan cemburu.

“Hey, Akira, siapa cowok mungil barusan? Staffnya Yutako? Manis ya?” ucap Shinji setelah Yutako dan Takanori hilang dari pandangan mereka. Dan posisi Shinji masih tetap memeluk Akira dari belakang.

“Kau sudah punya Takashi, Shinji. Jangan dekati dia,” larang Akira. Ia tidak tahu kenapa, tapi ia tiba-tiba merasa sebal kalo ada cowok lain yang berusaha mendekati Takanori.

Shinji menyeringai kecil. Tahu bahwa Akira pasti menyukai cowok mungil tadi, ia berniat menggoda sahabat baiknya yang ia tahu sangat bersikeras tidak mau menjadi homo itu. “Oh, kau suka padanya ya?”

“Hah? Siapa yang suka padanya? Aku? Nggak mungkin! Aku nggak homo seperti dirimu!” sangkal Akira sambil melepaskan pelukan Shinji dengan kasar, meskipun terlihat jelas ada semburat merah di wajahnya. Membuat Shinji tak tahan lagi untuk tertawa.

“Hahaha, kau lucu sekali Akira!”

“Nggak ada yang lucu, ayo berangkat ke kampus, nanti kita telat!”

“Baik tuan Akira yang sedang jatuh cinta, hahaha.”

“Cih… Akan kubilang ke Takashi kalau kau barusan bilang cowok lain manis,” ancam Akira sambil membenarkan mantelnya kemudian membuka pintu dan berjalan keluar dari rumahnya, meninggalkan Shinji yang tiba-tiba pucat.

“Tunggu Akira! Jangan bilang padanya!”

***」」」」」」」」 o(~∇~*o)(o*~∇~)o 」」」」」」」」***
“Tadaima!” Waktu menunjukkan pukul 4 sore ketika Akira memasuki rumahnya. Memang terlalu awal untuk pulang ke rumah. Tapi hari ini ia hanya ada kuliah 3 jam dan bengkel milik pamannya tempat ia bekerja sedang diperbaiki, jadi ia tidak ada kerja part-time selama seminggu ini. Akira mengerutkan keningnya saat melepas sepatunya di genkan. Ada sepasang sepatu lain berwarna coklat yang bertengger di sana. Sepatu berjenis boots itu berukuran besar, menunjukkan bahwa pemiliknya pasti seorang laki-laki.

Tanpa melepaskan mantelnya, Akira berjalan menuju dapur. Tepat seperti dugaannya, pria jangkung berambut pirang kecoklatan sedang berada di sana, mengaduk-aduk sesuatu di cangkir sambil bersenandung kecil.

“Uruha-san? Sedang apa kau disini?”

Menyadari ada seseorang yang memanggilnya, pemuda bernama Uruha itu menoleh ke arah Akira berdiri. “Ah, Aki-chan! Aku sedang membuat coklat panas, mau?”

“Jangan panggil aku ‘Aki-chan’!” ucap Akira kesal sambil mengambil cangkir di counter top dan meletakkannya di sebelah cangkir milik Uruha. Uruha tersenyum dengan sikap Akira barusan, ia sudah terbiasa menghadapi Akira yang gampang kesal. Sambil membuat coklat panas lagi di cangkir milik Akira, dia mengajak Akira mengobrol sejenak.

“Kau ini calon adik iparku, Aki-chan~ Kau juga boleh memanggilku Uru-chan kok~.”

“Sampai kau tua pun aku tak mau.”

“Kalau Nii-chan?”

“Haaah…” Akira menghela nafas. Kadang calon kakak iparnya ini sifatnya lebih kekanak-kanakan ketimbang dirinya. “Tunggu sampai kau menikahi Yutako, aku akan memanggilmu Nii-chan.”

Uruha tersenyum lebar. “Pinky promise?” ucap Uruha sambil menunjukan jari kelingkingnya kea rah Akira. Akira hanya memandanginya heran.

“Ya ampun Uruha-san, berapa sih umurmu? Siniin coklat panasku, aku mau ke atas!” Akira mengambil cangkirnya yang sudah terpenuhi oleh coklat panas kemudian naik menuju ke kamarnya, meninggalkan Uruha yang merengut karena pinky promise-nya tidak digubris sama sekali oleh Akira.

Akira menyeruput coklat panasnya sambil meletakkan tasnya di atas meja. Kemudian ia duduk bersandar di headboard kasurnya dan menghidupkan televisi, seperti biasa menonton acara kesukaannya. Belum ada sepuluh menit dia menonton televisi, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk oleh seseorang. Curiga itu Takanori, ia meletakkan cangkirnya di atas meja kemudian bangkit. Ia membuka pintu kamarnya sedikit, melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya dari celah kecil antara pintu dan dinding. Hatinya lega saat mengetahui yang mengetuk pintunya adalah Uruha. Ia membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan Uruha masuk.

“Ada perlu apa, Uruha-san?” Tanya Akira setelah kembali berbaring di kasurnya. Uruha hanya tersenyum. Kemudian, tanpa Akira duga, Uruha memperlihatkan setumpuk manga-manga dan doujinshi-doujinshi dari belakang tubuhnya dan meletakkan manga-manga itu di atas perut Akira. Akira yang kaget spontan terbangun dan menyingkirkan manga-manga dan doujinshi-doujinshi itu dari atas perutnya.

“Apa-apan ini, Uruha-san?”

“Kakakmu menyuruhku untuk meminjamimu ini. Kudengar dari kakakmu, kau suka staff dia yang baru kan? Ini semua, dibaca dan dipahami baik-baik ya~!” ujar Uruha sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Akira kemudian beranjak dari kamar Akira sebelum Akira marah-marah. “Jya ne~!” setelah perkataan itu, Uruha menutup pintu kamar Akira dan kembali ke ruangan dimana Yutako bekerja, tentunya untuk memberi tahu Yutako kalau usahanya membawa manga-manga yaoi ke pangkuannya Akira telah berhasil.

Akira hanya tercengang memandangi tumpukan manga-manga dan doujinshi-doujinshi yang kini berserakan di atas kasurnya. Beberapa benda mengerikan itu memiliki sampul yang cukup untuk membuatnya bergidik ngeri. Dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuknya, ia menyingkirkan manga-manga dan doujinshi-doujinshi itu ke lantai. Ketika hendak melempar doujinsh, doujinshi itu tiba-tiba terselip dan jatuh tepat di depan Akira dalam keadaan terbuka, menampilkan gambar dua orang laki-laki sedang melakukan adegan bersetubuh. Sebagian besar gambar didominasi oleh muka sang Uke (ya, Akira tahu apa itu Seme dan Uke, thanks to his sister~!). Semakin lama diliat, gambar sang Uke tersebut mirip dengan Takanori. Karena penasaran, Akira akhirnya membaca doujinshi itu. Akira semakin terbelalak kaget saat membaca doujinshi itu. Bagaimana tidak, kedua tokoh di doujinshi itu sangat mirip dengan dirinya dan Takanori. Sari postur tubuh dan model rambut pun mirip. Meskipun sifatnya berbeda dengan dirinya, tapi ia merasa seperti membaca adegan dia dan Takanori di dalam doujinshi itu. Selesei membaca doujinshi itu, ia melempar doujinshi itu ke sembarang tempat. Wajahnya panas dan dadanya berdetak kencang sekali. Ia yakin pasti saat ini wajahnya memerah. Baru satu cerita yang ia baca ia sudah seperti ini. Ini dikarenakan saat ia membaca doujinshi itu ia terus membayangkan Takanori dengan kulit putihnya yang mulus, telanjang dan terengah-engah di bawahnya, memandanginya dengan penuh birahi dan mendesah tiap kali Akira menggerakan selangkangannya, menusuk titik terdalam milik Takanori yang membuat mereka berdua merasakan euphoria tertinggi.

“AAAAAAARGH!!!!!!” Akira menjambak rambutnya dengan kedua tangannya, berusaha untuk menghilangkan bayangan tadi. Tapi sialnya, celananya malah semakin tambah sempit. Tak disangkanya membayangkan Takanori bisa membuat juniornya berdiri tegak. Sambil memaki-maki, ia bangkit dari kasurnya dan keluar dari kamarnya. Dengan langkah cepat ia membawa dirinya menuju ke toilet di lantai 2 dan melepaskan hasratnya disana.

***」」」」」」」」 tsuzuku 」」」」」」」」***

fanfic, reitaxruki

Previous post Next post
Up