YabuNoo. Tanpa genre yang jelas, hanya sedikit angst.
***
Apa yang telah sama-sama kita mengerti dari ikatan ini? Sebuah akhir yang sama. Kita telah menempuh jalan yang sama dengan para pendahulu kita, dan nantinya, kita akan berakhir sama seperti mereka. Tidak ada yang ironis apalagi tragis dalam takdir itu. Ah, itu sama sekali bukan takdir. Itu hanyalah sebuah skenario yang telah kita baca sampai habis.
Tidak ada penyesalan bagi sebagian, tapi sebagian menangisinya sampai mati. Jika bertanya aku ada di sisi yang mana, aku akan memilih untuk berdiri di sisi yang pertama. Bersamamu, jatuh cinta padamu, dan menemanimu sampai waktunya kamu akan pergi menjauh. Tapi tentang menangis, mungkin aku akan melakukannya.
Menangisi keputusanku untuk bersamamu, bukan karena cintaku padamu.
Aku sudah membaca skenario itu, kamu juga, mereka juga. Maka kita telah tahu bagaimana akhirnya. Ketika aku memilih hatimu, maka di saat yang sama, aku harus mempersiapkan diri untuk berjalan menjauh darimu.
Cinta kita, seindah apa pun itu, bagi dunia hanyalah omong kosong. Cinta yang tidak bisa diterima, adalah bintang yang tidak akan pernah jatuh dengan selamat ke bumi.
Mimpi itu terlalu jauh.
Ketika kita berjalan bersama. Ketika kita berbaring bersama. ketika kita bicara. Nantinya, itu semua hanya akan berlabel ‘kenangan’.
Jika aku tidak meninggalkanmu, maka kamu yang akan meninggalkanku. itu adalah logika terdekat atas hubungan kita.
“Kei, gomen!”
Dan seperti yang sudah kuyakini, kata itu akhirnya terucap darimu juga.
Aku hanya tidak berfikir itu akan secepat ini. Aku tidak percaya kita akan berakhir secepat ini. Cintayang berjalan sembunyi-sembunyi di bawah langit gelap, hanya sebatas ini.
Seperti yang kamu lihat, aku hanya menatapmu dengan mataku yang menyimpan semua bebanku sendirian. Dengan wajah seperti biasa. Dengan senyum yang hanya untukmu. Menghela nafasku, menenangkan diri d depanmu. Toh, nantinya akan sama saja. Jika tidak hari ini, mungkin lain kali.
“Maka pergilah. Anggap saja, yang sebelumnya hanya mimpi di malam hari. Kita telah mulai terbangun, dan akan melupakannya segera!” Ucapku.
Es dalam gelasku berenang di tengah lemon juice. Warnanya semakin memudar, dan mungkin sebentar lagi akan meluap.
“Kei, aku benar-benar ... gomen!”
Kebingungan mencari kata?
Jangan takut. Aku bahkan tak akan menangis di depanmu.
“Jangan berfikir. Lakukan saja. Kita tau akhirnya akan begini, jadi apa lagi yang harus dipermasalahkan!” maka kukatakan itu.
“Tapi, aku ... Kei adalah yang paling berarti. Pada akhirnya, meskipun hanya sampai di sini, akan tetap menjadi kenangan yang indah!”
“Begitu? Kenangan, seindah apa pun itu, nyatanya hanyalah sesuatu yang tidak lagi kita miliki!” Dan kuutarakan isi hatiku.
“Kei ...aku!”
Kamu bingung lagi.
“Berjalanlah ke depan Kouchan. Ada beberapa hal yang memang tidak bisa kita tempuh bersama. Tapi, bagaimana pun itu, kita mengakhiri ini dengan baik. Aku tidak akan marah atau kecewa padamu. Nantinya, aku juga akan berjalan ke depan, ke tempatku sendiri!” Aku tersenyum lagi.
Jika saja kamu mengerti artinya. Jika kamu masih bisa membaca setiap makna dari senyumku.
“Well, ayo kita akhiri ini di tempat yang kupilih!” Kutopang daguku dengan kedua telapak tangan, tersenyum lagi. Hanya untukmu.
***
Kenapa kamu tersenyum padaku? Kenapa kamu tidak memakiku, marah padaku, menghajarku sampa mati sekalian? Kenapa kamu membuatku ingin menangisimu Kei?
Dari sini, aku bisa melihat punggungmu. Kamu yang berjalan di depanku. Kamu yang sebelumnya berjalan di sampingku. Kamu yang selama ini selalu ada di sisiku. Siang ini, kamu berjalan di depanku, mengizinkanku melihat sayap di punggungmu.
Benar. Kamu adalah malaikatku. Malaikat yang datang ketika aku merasa sendirian, ditinggalkan, terbebani rasa bersalah karena sebuah pilihan. Kamulah yang datang dan tersenyum untukku,memberiku kekuatan untuk bertahan.
Aku selalu berterimakasih. Aku selalu bersyukur kamu dikirimkan untuk membawaku terbang meski sesaat. Aku, bagaimanapun akan tetap mencintaimu seperti ini.
Dua penghiatan sekaligus yang kulakukan: Menghianatimu karena menikahi orang lain, menghianati orang yang akan kunikahi karena mencintaimu.
Rasa sakit itu, lebih mengerikan dari yang kubayangkan.
“Nah, kita sampai!” Ucapmu.
Kuangkat wajahku, menatap sekeliling. Tempat yang kamu pilih untuk mengakhiri kencan terakhir kita. Tempat perpisahan kita.
Kucoba tersenyum saat kamu menoleh.
Bukankah sangat menyedihkan. Kita tersenyum ketika berpisah, melepas semuanya di sebuah gereja kecil berusia tua di pinggiran kota.
Seharusnya, ini menjadi tempat yang manis untuk mengucap janji pernikahan.
“Jangan diam saja, ayo masuk!” Kamu menyentuh tanganku. Begitu halus. Begitu lembut. Begitu hangat.
Dan akhirnya kau bisa melihatmu memejamkan mata di sampingku, berdoa dengan begitu tenang. Menangkupkan kedua tanganmu.
Betapa kamu begitu indah, Kei.
“Berikan aku bertemuan yang indah, perpisahan yang tenang, dan pertemuan kembali yang Engkau rencanakan. Jika itu adalah untukku, aku akan sangat bersyukur. Jika tidak, aku berterimakasih atas semua yang terbaik!”
Kudengar bisikanmu perlahan. Seperti angin yang berhembus sepoi-poi. Pelan, menyejukkan.
***
Kamu melambaikan tangan padaku. Masih tetap dengan senyummu. Kali ini pun, hanya berpisah di stasiun.
Kita telah berakhir tanpa menunjukkan airmata satu sama lain. Tapi, begitu kamu tidak lagi terlihat, airmataku jatuh seperti banjir.
Dalam pernikahanku nanti, apakah aku akan bisa menahan airmataku?
Kita bahkan tidak bisa membacanya meskipun skenario itu telah terbuka. Karena, ada hal-hal tertentu yang akan tetap berjalan sebagai rahasia, terungkap hanya pada waktunya.
Selanjutnya, kita bertemu seperti biasa. Masih saling menyapa, tapi perasaanku mengatakan bahwa aku telah kehilanganmu dan tidak bisa meraihmu lagi. Malaikatku, tidak akan lagi datang padaku, kamu akan terbang, nantinya, hinggap di hati yang lain.
Tidak ada lagi perbincangan malam, aku di jendelaku dan kamu di jendelamu. Tidak ada lagi pertanyaan:”Bagaimana langit yang kamu lihat?”.
Yang ada hanyalah sapaan biasa. Pertemuan biasa. Senyuman biasa.
Terakhir dari kisah kita, di hari pernikahanku, kamu menjabat tanganku tanpa mengucapkan satu pun kata, selain ‘selamat jalan’.
Hari terakhir kita bertemu.
Hari dimana aku melihat senyum termanis yang pernah kamu berikan untukku.
Malaikatku, telah terbang kembali ke langit.
“Kei, jangan hinggap dimana pun. Terbanglah kembali ke langit!” Bisikku kaku.
***
Kei.
Hari ini kamu menikah. Aku hanya bisa mengucapkan selamat jalan. Perasaan yang menikam itu, tidak mungkin kuungkapkan. Airmata itu, tidak boleh kutumpahkan. Yang seharusnya adalah kita yang tetap tersenyum.
Sama seperti mimpi di malam hari, kenangan tentangmu, sedikit demi sedikit akan berkurang, lalu menghilang ketika pagi datang.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan gereja, tersenyum menghadap langit yang tetap biru seperti biasanya.
Setelah ini, kita akan berpisah untuk waktu yang lama ...
Karena kupu-kupu yang telah kamu tangkap, ketika kamu melepaskannya, dia akan segera terbang dan hinggap di tempat yang lain.
Bersama lagu yang telah kamu ciptakan. Bersama nada yang telah aku mainkan. Angin datang menerobos rimbun dedaunan, mengusik kupu-kupu yang berada di dalam kepompongnya untuk segera keluar dan terbang menjelajahi langit. Jauh di tempat yang lain, bunga-bunga telah bermekaran, menunggu kupu-kupu hinggap padanya, berbagi rasa manis yang menenangkan.
***
FIN.
Berpuluh tahun setelah itu.
Yabu Kouta. Dengan wajah cemberut merapatkan kedua tangannya. Pakaian serba tebal ternyata tidak mampu membuatnya cukup hangat untuk bertahan hingga sampai di rumah. Bagaimana mungkin dia harus pulang sendiri di malam yang sedingin ini? Setidaknya, ibunya harus menjemputnya dari stasiun.
Masih terus berjalan. Jalanan mulai ditimbuni salju. Udara semakin dingin. Dan rumahnya masih setengah jalan lagi. Sebentar lagi usianya tiga belas, dan dengan bangga, sang ibu membuatnya menjadi anak super sibuk.
Yabu tidak mampu menghangatkan drinya sendiri. Sekitarnya terlalu dingin. Hingga sebuah kehangatan menyebar memeluk tubuhnya, bermula dari jantungnya yang berdetak cepat.
Beberapa meter di depannya, seseorang dengan kulit putih, rambut hitam kelam, tangan yang cantik dan bibir memerah duduk berjongkok, memungut seekor anak anjing dari dalam kardus di pinggir jalan.
Yabu tersenyum melihatnya. Seperti menemukan malaikat di saat sendirian, di saat kesepian, di saat kedinginan. Seperti ada kupu-kupu yang hinggap dalam hatinya.
Sang kupu-kupu, terbang menjelajahi langit setelah keluar dari kepompongnya. Jauh setelah hari kepergiannya, ia terbang mendekat dan hinggap kembali di tempat yang sama.