Genre: Romance, Angst.
Summary:
Di Hari pernikahan Genki, perasaan Jinguji, dan Genki yang mencoba menolak perasaannya sendiri. Seberkas cahaya berkilauan, berasal dari kristal bening yang menetes dari dua pasang mata. Tapi benang merah pengikat takdir telah diputus, untuk diserahkan pada takdir yang lain.
Genki meneteskan beberapa tetes air bening dari matanya yang terpejam, sebelum menghapus bekasnya dari pipi. Seharusnya tidak ada airmata bodoh itu hari ini, tapi Genki tidak bisa menahan perasaannya yang tiba-tiba menjadi begitu sakit.
Begitu sepasang matanya terbuka, Genki tersenyum tipis, berharap bisa menertawakan dirinya sendiri.
Memangnya siapa yang peduli seperti apa perasaannya? Jika pun Genki harus mengatakan seperti apa, maka jawabannya hanyalah senyuman yang samar maknanya. Perasaan adalah sesuatu yang tidak pernah bisa Genki fahami secara utuh. Jadi, biarkan saja itu benar-benar menghilang, jakalau tidak, anggap saja tidak pernanh ada, atau tidak tau apa-apa. Bagi Genki, selama ini itu selalu lebih baik.
Genki terhenyak saat seseorang tiba-tiba membuka pintu. Tapi setelah melihat yang masuk ke dalam kamarnya adalah adiknya, Reia, Genki kembali pada posisinya semula. Berdiri mematung menghadap cermin.
“Emmmm ... Ma, Mama memintaku untuk memanggilmu!” Reia sedikit ragu memperdengarkan suaranya. Sepasang tangannya bertautan, saling meremas, menandakan kecemasannya.
Genki berbalik dan tersenyum samar.
“Baiklah!” Genki menjawab dengan suara yang diusahakan setenang mungkin.
Langkahnya sedikit bergetar saat berjalan mendahului Reia. Bahkan Reia merasa genki akan jatuh tersungkur saat menuruni tangga. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Mama tidak pernah menyetujui Genki berhubungan dengan siapa pun selain orang yang dipilihkannya, garis yang sama yang akan dilewatinya juga nanti. Dan Genki yang juga telah memutuskan untuk menuruti kemauan mama.
Yang akan terjadi adalah apa yang tidak pernah bisa direncanakan, sebaik apa pun orang itu merencanakannya. Itu yang dikatakan Genki pada Reia. Mengajarkan bahwa tidak seua yang kita inginkan akan kita dapatkan. Tidak semua yang kita cintai akan kita miliki di saat yang sama.
Mama tersenyum bangga begitu melihat Genki turun dari lantai atas, diikuti Reia yang hanya menunduk.
“Karena semua sudah siap, ayo kita berangkat ke gereja sekarang!” Mama berbisik bahagia setelah memeluk Genki lama.
***
Hari-hari yang menyedihkan telah dilaluinya jauh sebelum hari pernikahan ini. Dan menikah tanpa ada cinta, tanpa ada perasaan terikat selain tanggung jawab, tanpa ada ikatan batin, bagi Genki bukanlah sesuatu yang harus ditangisi tujuh hari tujuh malam.
Apa yang terjadi dalam hidupnya sebelum itu jauh lebih sulit, jauh lebih menguras airmata. Karena itulah, baginya cinta bukanlah alasan yang cukup utuk sebuah pernikahan. Mamanya menikahi laki-laki yang dicintainya dengan sepenuh hatinya, melahirkannya dan Reia. Tapi yang terjadi setelah itu hanyalah sebuah penghianatan.
Genki masih bisa mengingatnya. Meskipun berjuta kali Genki berusaha untuk melupakannya, tapi tetap saja, kenangan itu menjadi mimpi buruk yang menyakitkan. Bagaimana penghiatan papa yang Genki tidak pernah mau menyebut namanya lagi, bagaimana penderitaan mama, bagaimana mama menangis sambil memeluknya yang baru berusia enam tahun. Juga bagaiman di malam musim dingin, Mama terpaksa membawanya keluar dari rumah dengan airmata bercucuran. Bagaimana Reia yang masih terlalu kecil untuk merasakan cuaca itu menangis kedinginan, bagaimana rasa sakit saat terusir.
Genki bersumpah tidak akan membiarkan mama menangis untuk alasan yang sama lagi. Bahkan jika itu termasuk dengan menikahi orang yang tidak dicintainya, dengan mengabaikan perasaannya.
Baginya, kesetiaan lebih berharga dari cinta. Pernikahan bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tanggung jawab dan kesetiaan. Genki menanamkan itu dalam hatinya semenjak kecil, dan tanpa sadar menularkannya pada Reia juga.
Lalu cinta? Baginya itu adalah ketika mama memilih kedinginan untuk memberikan kehangatan padanya dan Reia, ketika mama memeluknya yang menangis, bagaimana mama berjalan dengan menggandeng tangannya. Baginya, cinta itu juga ketika Reia menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ketika Reia tersenyum bahagia karena keberadaannya. Ketika adiknya itu menangis untuk menggantikannya. Ketika Reia menatapnya dengan penuh kesedihan tadi pagi, di saat tau Genki mencintai seseorang, tetapi harus menikah dengan orang lain.
Cinta bukanlah ketika hatinya berdebar. Bukan ketika wajahnya memanas dan pipinya merona. Cinta bukanlah sekedar Jinguji yang membuat hatinya berbunga-bunga. Tidak cukup hanya dengan itu.
Genki menghela nafas perlahan. Mama yang duduk di sampingnya menyadari itu, tapi hanya diam. Pilihan Genki untuk menurutinya adalah yang terbaik yang bisa dijangkau perasaannya sebagai seorang ibu.
Mobil yang membawa mereka perlahan memasuki pelatan gereja. Kemeriahan sudah terlihat sejak memesuki area suci itu. Genki yang melihat itu sekilas, hanya bisa menenangkan dirinya sendiri. Meyakinkan perasaannya.
Gereja ini adalah gereja yang sama. Tempatnya bertemu Jinguji lima tahun lalu. Saling berpapasan di pelataran yang sepi beberapa kali. Berkenalan dari seorang teman. Semakin dekat. Dan Jinguji menyatakan cintanya di gereja ini.
Dan di gereja yang sama, genki akan menikah dengan orang lain.
Air mata bodoh itu mengalir tanpa terbendung lagi setelah mobil berhenti. Tanpa bisa menahan perasaannya, Genki memeluk mama dan adiknya, menangis di pelukan mereka.
Sesaknya semaki terasa.
Jodoh itu, mengapa begitu rumit?
***
Yang seberat itu, perasaan sakit yang menggebu. Jinguji mengerti alasan kenapa Genki ingin menanggungnya seorang diri. Akan tetapi, cinta selalu berharap untuk tersampaikan, untuk terbalas. Tetapi garis takdir bukan untuk dipermainkan oleh mereka sendiri. Skenario yang begitu rumit, bagaimana manusia bisa memahaminya.
Dari kejauhan, Jinguji bisa melihat Genki menyeka air matanya saat keluar dari mobil.
Rasanya ingin sekali berlari dan memeluk Reia, atau membawanya kabur seperti di film-film. Tapi, Jinguji tau bahwa Genki memang harus tetap pada pilihannya. Tidak ada yang salah dengan keputusan itu. Dengan pernikahan ini, Genki tidak harus melukai perasaan mamanya, memberikan kebahagiaan pada dua keluarga.
Dengan pilihan itu, hanya dia dan Genki yang terluka.
Ironis memang, tapi, tidak semua tragedi harus ditangisi bukan?
Jinguji menenangkan dirinya sendiri dengan menghela nafas beberapa kali. Tapi tetap saja, aliran air mata bodoh itu seringkali mengalir tanpa bisa dikontrolnya.
Perasaan bak taman bunga raksasa yang besar, dengan ribuan kupu-kupu dan peri-peri bersayap warna-warni itu, sebentar lagi akan habis dilahap ulat sebesar naga. Tidak akan menyisakan sedikitpun untuknya. Tidak untuk memeluk Genki, tidak untuk menggenggam tangannya, tidak untuk memilikinya.
Tidak ada!
Langit masih sebiru biasanya ketika Jinguji dan Genki menengadahkan wajahnya di saat yang sama.
Mengapa pertemuan itu diciptakan, jika perpisahan harus ditakdirkan?
Pertanyaan yang sama. Dan belum ada jawaban. Hanya angin yang bergerak perlahan, mengumpulkan kisah-kisah dari bingkai yang berbeda-beda.
***
Suasana yang dirancang seromantis mungkin, dalam kesakralan yang seharusnya hangat. Para undangan yang duduk dengan perasaannya masing-masing. Jinguji ada di barisan terakhir. Berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis.
Genki yang tetap pura-pura tersenyum dalam kebahagiaan palsunya. Meskipun hanya melihat dari kejauhan, Jinguji merasakan kehangatan yang mengalir ketika bertatapan sekilas. Masih dari kejauhan, Jinguju juga tersenyum dalam lukanya saat matanya menangkap setiap prosesi.
Seandainya yang berdiri di altar itu adalah dirinya dan Genki. Seandainya yang mengucapkan janji setia seumur hidup itu bukan orang lain tapi dirinya. Hanya seandainya.
***
Pesta pernikahan yang meriah. Jinguji tersenyum saat Reia melambaikan tangan padanya. teman-temannya juga berkumpul di sana. Suasana bahagia yang rumit.
Reia tersenyum padanya. Senyum yang seolah bertanya apakah dia baik-baik saja.
“Aku memang tidak baik-baik saja sekarang. Tapi, mungkin suatu saat akan baik-baik saja!” Jinguji mencoba tersenyum saat teman-temannya memandang dengan wajah iba.
“Haaaaahhhh, sekarang aku harus mengucapkan selamat!” Lanjutnya.
Langkahnya berat menuju Genki yang berdiri berdampingan dengan pasangan hidupnya sekarang. Beberapa meter di sana, Genki menunggunya. Menatapnya dengan perasaan yang tidak akan bisa dideskripsikan oleh siapa pun.
“.............”
Dan ketika punggung itu perlahan bergerak menjauh, Genki menggerakkan tangannya berusaha untuk meraih kembali bahu yang bergetar. Tapi, detik yang berputar tidak akan kembali padanya, tidak akan berhenti untuknya.
“Bye-bye, my love!”
Hanya hati yang berucap, karena benang merah yang mengikat keduanya telah diputus untuk diikat dengan takdir yang baru. Sesuatu yang bernama cinta itu, entah bagaimana dia akan datang dan pergi. Jika tidak hari ini, mungkin besok, lusa, atau suatu saat yang entah kapan.
END_