The Train and the Chrysanthemum

Jul 13, 2010 14:08

Title: The Train and the Chrysanthemum
Author: ra_bgtz a.k.a. Ra
Pairing: Yaotome Hikaru X Kamoguchi Midori
Rating: PG-13
Genre: Romance
Theme: Non Yaoi
Disclaimer: saya hanya memiliki plot dan OC~^^
A/N: fic ini hasil dari bias-ny sy terhadap Hikaru~ 
The Train and the Chrysanthemum

.:Author’s POV:.
30 Juni 2010

Sore itu, di pojok belakang gerbong kereta, duduklah tiga orang pemuda yang sedang asyik berdiskusi sambil memperhatikan laptop milik salah seorang di antara mereka. Penampilan ketiganya terlihat agak ditutup-tutupi; topi dan kacamata yang hampir menutupi sebagian wajah mereka, serta syal tebal yang agak mencolok di musim panas seperti ini. Tanpa mereka sadari, ada seorang gadis yang memperhatikan mereka sedari tadi seraya memeluk erat sketchbook-nya.

“Tak salah lagi, ketiga pemuda itu pastilah Hikaru, Inoo, dan Daiki. Personel Hey! Say! JUMP yang aku idolakan!” pikir gadis itu.

Hari ini, adalah kali ketiganya Midori satu gerbong dengan ketiga personel Hey! Say! JUMP tersebut. Dia sudah langsung menyadarinya sejak dua hari lalu, saat dia tak sengaja bertabrakan dengan salah seorang dari mereka bertiga ketika masuk kereta.

BRAKK!!
Kertas-kertas pun berhamburan dari pelukan Midori yang tak sengaja menabrak pemuda di depannya.

“Eh… maaf!” cicit Midori sambil memunguti kertas-kertasnya di tengah kerumunan orang-orang yang berdesakan masuk kereta. Sang pemuda pun berusaha melindungi Midori agar tak terhimpit.

“Kau tak apa?” tanya pemuda itu sambil membungkuk hendak membantu memunguti sisa kertas yang masih berceceran.
Midori pun mendongak dan tercengang memandang pemuda itu. “Yaotome Hikaru?” pikirnya.

“Hikaru!”
“Sedang apa kau?” dua orang pemuda lagi memanggil pemuda yang tak lain adalah Yaotome Hikaru, artis pentolan JE itu.
Hikaru berpaling sejenak memandang kedua teman yan memanggilnya, Inoo Kei dan Arioka Daiki.
Midori yang pemalu bergegas meninggalkan tempat itu. Baginya, tak enak dekat-dekat artis sohor di tempat umum seperti ini, sekalipun artis itu adalah idolanya sendiri, Yaotome Hikaru.
“Hei, Nona! Kertasmu ada yang ketinggalan!” seru Hikaru sambil melambaikan kertas yang dia pegang dengan sia-sia. Midori telah menghilang di balik kerumunan penumpang kereta Tokyo-Shinjuku.

“Ehm… sumimasen…” sapa Midori malu-malu. Ketiga tokoh publik itu mendongak. “Boleh kuminta tanda tangan Yaotome-san dan lainnya?” sambung Midori sambil menyodorkan kertas bergambar sketsa wajah Hikaru serta Inoo dan Daiki dan sebuah pena berwarna hijau. Midori menutup mata, takut permintaannya ditolak oleh sang idola.
“Oh, tentu saja.” jawab Hikaru sambil tersenyum dan mengambil gambar dan pena yang disodorkan oleh Midori. Semuanya terjadi normal saja, karena padatnya gerbong kereta itu membuat ketiga artis dan seorang fansnya ini tersarukan di antara kerumunan penumpang.
“Wah! Gambarmu bagus!” puji Hikaru. Midori pun memberanikan diri membuka matanya, tapi kini wajahnya sudah seperti buah saga, merah. Bayangkan saja, bagaimana rasanya dipuji oleh seseorang yang kita idolakan, pastinya rasa senang dan malu langsung tercampur aduk tak keruan.

“Ah, Daichan-nya kegantengan!” celetuk Inoo yang telah mengamankan laptop ke dalam tasnya dan kini sedang melihat-lihat gambar di tangan Hikaru.
“Eh, sial kau, Inoo-chan! Daripada kau, kirei!” gerutu Daiki sambil senyam-senyum.
Inoo pun menjitak pelan kepala Daiki.
“Aw, itte!”
“Urusai! Jangan ribut terus ah! Bisa-bisa seluruh penumpang di kereta menyadari kehadiran kita!” tegur Hikaru agak berbisik. “Tandatangannya di atas gambar ini saja?” tanya Hikaru pada Midori.
“Un!” jawab Midori sambil mengangguk. “Sumimasen… maaf merepotkan….” keluh Midori sambil agak membungkuk.
“Tak apa, tak merepotkan juga kok.” komentar Inoo.
“Kau suka gambar ya?” tanya Hikaru. Midori pun mengangguk.
“Gambarmu bagus sekali, kami suka.” puji Daiki sambil menyerahkan kembali pena hijau dan gambar yang telah ditandatangani ketiganya kepada Midori yang kini semakin tersipu malu.
“Doumo, arigato gozaimasu…” Midori membungkuk lalu pergi.

Tiba-tiba, Hikaru teringat akan sesuatu. “Eh, tunggu Nona!” teriak Hikaru. Sayang, Midori telah kembali menghilang di balik kerumunan penumpang kereta. “Dia kan, gadis yang waktu itu….” gumam Hikaru dalam hati.
“Ada apa, Hikaru?” tanya Inoo.
“Ah, tidak ada apa-apa….”

***

.:Hikaru’s POV:.

Kupandangi sekali lagi gambar di tanganku. Ah… rasanya sudah berkali-kali kupandangi gambar bunga krisan yang terjatuh dari sketchbook milik gadis itu beberapa hari yang lalu.
Gambar ini sebenarnya sangat simple, hanya sebuah lukisan cat air bunga krisan putih di tengah bidang gambar, dengan background hijau yang lembut. Namun entah mengapa, setiap kali melihat gambar ini, aku bisa merasakan sebuah perasaan mendalam yang tercurah dalam gambar itu. Sesuatu yang hampa, namun penuh harapan dan impian. Siapakah gadis itu sebenarnya?

***

10 Juli 2010

Ah, gadis itu lagi. Gadis berambut panjang, dengan tatapan nanar pada mata indahnya. Seperti biasa, dia selalu memeluk sketchbook-nya erat-erat. Kali ini dia sedang duduk di dekat pintu. Apa kuhampiri saja ya?
Ya sudahlah, daripada rasa penasaranku semakin akut. Perlahan, kuhampiri gadis itu.
“Permisi, di sini kosong kan ya?” tanyaku sambil menunjuk tempat duduk di sampingnya.
“Oh, iya, kosong. Silakan.” katanya sambil bergeser memberi ruang lebih luas bagiku. Sepertinya dia belum menyadari bahwa aku ini Yaotome Hikaru, idolanya. Karena dia masih tetap acuh memandang sayu ke depan.

“Oh ya, Nona. Dari kemarin kita belum berkenalan.” kataku sambil mengulurkan tanganku.
“Eh?” tanyanya kaget, nampaknya dia belum menyadari siapa diriku. Dia pun memperhatikanku lebih seksama. Kubuka kacamata hitamku.
“Yaotome-kun?” gumamnya kaget sambil menutupkan tangan pada mulutnya. Kulihat wajahnya memerah.
Kuberikan senyum gingsul kebanggaanku. “Kita berkenalan yuk, meskipun tentunya kau sudah tahu namaku.” ajakku lagi. “Aku Yaotome Hikaru. Kau boleh memanggilku Hikaru saja.”
“Midori… namaku Kamoguchi Midori.” dia pun menyambut tanganku malu-malu. Kurasakan gemetar tangannya saat sedang memegang tanganku. Wajah cantiknya semakin memerah. ‘Midori’, nama yang cantik. Secantik orang yang memilikinya. Lho, kok aku jadi memerhatikan gadis ini terus sih?!
Buru-buru kulepas jabatan tanganku darinya, dan kurasakan hawa panas mulai menjalari wajahku. Jangan-jangan wajahku pun mulai memerah. Ah, masak sih? Kok jantungku jadi deg-degan seperti ini?

Akhirnya, setelah beberapa saat diliputi rasa canggung, kuberanikan diri mengajaknya bicara kembali. “Ngomong-ngomong, kau mau ke mana? Hampir setiap sore hari kulihat kita satu kereta terus.”
“Rumahku di Shibuya. Aku mengajar pelajaran menggambar di sebuah TK di Tokyo. Sore-sore begini memang jam pulangku.” jawabnya pelan.
“Oh, pantas. Guru menggambar ya… tak heran kalau gambarmu sangat bagus.”
“Ah, gambarku biasa-biasa saja kok.” ujarnya merendah. Wajahnya yang tersipu membuatnya semakin… cantik! Ah, perasaan apa ini, apa jangan-jangan aku mulai menyukai gadis ini?

Kereta pun berhenti. Stasiun Shibuya. Midori pun beranjak hendak turun. “Maaf, aku turun duluan!” ujarnya sambil membungkuk. Dia pun pergi. Ah, dunia mendadak jadi sepi. Mengapa tiba-tiba aku merindukannya? Padahal belum semenit dia berlalu.
“Eh, tunggu!”
Terlambat. Dia sudah turun dari kereta. Aku lupa mengatakan soal gambarnya yang tertinggal dan kini masih kusimpan. Percuma, kertasnya pun tertinggal di kamarku. Mungkin lain kali aku bisa mengembalikan kertas itu. Semoga kami bisa bertemu kembali.

***

.:Author’s POV:.

Siang itu, 12 Juli 2010, di Jimusho.

“Yabu, Hikaru kenapa sih? Akhir-akhir ini dia sering melamun dan senyam-senyum sendiri begitu.” tanya Takaki.
Yabu mengangkat bahunya. “Entahlah, aku sendiri juga heran.”
Sementara itu, orang yang mereka bicarakan sedang asyik memandangi pemandangan di luar jimusho melalui jendela yang terbuka. Dagunya terpangku pada kedua tangannya. Sesekali dia tersenyum, sesekali wajahnya nampak sedih dan bingung.

“Hikaru, kau ini kenapa sih?” tanya Yabu saat menghampirinya.
“Hijau… hijau… Midori… hijau….” gumam Hikaru tak jelas. *(midori = hijau)
“Hhe?! Iya tahu, taman di belakang jimusho memang warnanya hijau! Kan memang biasanya begitu, Hikaru!” celetuk Yabu kebingungan.

PLAKK! sebuah jitakan dari Takaki mendarat dengan sempurna di kepala Yabu.
“Itte!” keluh Yabu
“Baka janai, Yabu!” teriak Takaki. Sementara Inoo dan Daiki cekikikan, Hikaru masih tetap melamun di tepi jendela.
“Lho, apa yang salah?! Taman di belakang jimusho kan memang hijau!” ujarnya tanpa perasaan bersalah sama sekali.
“Baka! Memangnya ‘midori’ yg dia bicarakan tentang ‘hijau’ taman?!”
“Lho, kan….” Yabu berpikir sejenak.
“Oh, okay, aku mengerti sekarang.” nampaknya Yabu mulai paham maksud Takaki perihal apa yang sedang Hikaru pikirkan.

Yabu pun kembali mendekati Hikaru, lalu mendekatkan diri ke telinga Hikaru. “Hikaru, Midori ada di depan pintu tuh!”
“Eh, mana?! Mana?! Mana Midori?!” teriak Hikaru panik. “Midori?” dia pun membuka pintu ruangan tersebut dan tak menemukan siapa pun di balik pintu. Tersadar akan sesuatu, Hikaru pun berbalik dan menemukan keempat rekannya d Hey! Say! BEST tertawa cekikikan. Wajahnya memerah. “Iseng amat sih!” rutuknya. “Mana mungkin Midori tiba-tiba nongol di jimusho?!” katanya dalam hati. Hikaru pun meneruskan kembali aktivitasnya, melamun di tepi jendela.
Anggota BEST yang lain masih terbahak-bahak, puas mengerjai si ‘tengil’ Hikaru yang biasanya mengerjai mereka.

“Eh, memangnya Midori siapa sih?” tanya Yabu sambil mengusap matanya yang berair saking puasnya tertawa.
“Ah, aku tahu. Jangan-jangan gadis di kereta itu ya?” tanya Inoo tiba-tiba. “Sejak bertemu gadis itu, Hikaru tak hentinya bergumam soal gambar dan kereta.”
“Betul betul!” timpal Daiki. “Jangan-jangan Midori adalah gadis yang pintar gambar itu ya?”
“Kalian tahu?” tanya Takaki.
“Kami kan sedang barengan naik kereta bersama Hikaru saat gadis itu meminta tandatangan kami.”
“Lebih tepatnya Hikaru. Tak kau lihatkah gadis itu nampak sangat mengagumi Hikaru? Mata gadis itu begitu bersinar saat sedang memperhatikannya.” ujar Inoo menambahkan.
“Un!” angguk Daiki.

“Waduh, kawanku yang satu ini rupanya sedang jatuh cinta pada salah satu fansnya….” goda Yabu sambil menyenggol bahu Hikaru.
“Apaan sih, Yabu….” gumam Hikaru. Dia pun beranjak keluar ruangan.
“Hikaru!” panggil Yabu sebelum Hikaru menutup pintu di belakangnya. Hikaru pun berbalik. “Hati-hati, jangan sampai jadi gosip!” ujar Yabu, kali ini tampangnya serius.
Hikaru hanya tersenyum menanggapinya. Memangnya apa yang mau digosipkan, pacaran saja belum tentu. Ah, Midori, apakah kau juga punya perasaan yang sama terhadapku? Apakah perasaanmu hanya sekadar rasa suka seorang fans terhadap idolanya?

***

.:Hikaru’s POV:.

Tokyo, 12 Juli 2010
Bunga krisan yang cantik. Dibalut pita hijau menghiasi tangkainya. Mengapa aku tiba-tiba ingin membeli bunga ini saat melewati toko bunga sepulang dari jimusho tadi?

Aku pun kembali menaiki kereta jurusan Tokyo-Shinjuku. Di gerbong kedua dari belakang, di tempat biasa di mana aku bertemu dengannya. Bunga krisan ini kupegang erat-erat, tersembunyi di balik jaketku. Akan kuberikan bunga ini kepada Midori-chan, kuharap dia suka.

“Hai, Midori-chan!” sapaku saat menemukan dia yang sedang duduk di kursi paling belakang. “Kosong kan?” tunjukku pada tempak duduk di sampingnya. Aku pun duduk di samping Midori-chan setelah dia mengangguk.
Tak lama, kami pun mulai mengobrol berdua. Ternyata, Midori sangat pemalu. Aku harus terus-terusan memancingnya agar dia tetap meneruskan perbincangan denganku. Wajahnya pun selalu memerah jika bersama denganku. Cantik. Tapi entah mengapa, hari ini wajahnya nampak lebih pucat daripada biasanya, mungkin dia sedang agak tidak sehat.

“Midori-chan, kau sedang tidak enak badan ya? Wajahmu nampak pucat.” tanyaku ‘sok’ perhatian.
“Eh? Tidak kok. Biasa saja. Mungkin hanya karena lelah saja.” jawabnya sambil tersenyum malu seperti biasa. Aih, Midori-chan memang sunguh sangat cantik.
Entah mengapa, sejak pertama kali melihat Midori, aku sudah mulai tertarik padanya. Sejak pertama kali dia bertabrakan denganku. Aku mulai berusaha mengenalnya dari gambar krisan miliknya yang tertinggal. Dari sejak saat itu hingga sekarang, rasa cinta itu semakin berkembang. Sejak saat itu, aku terus-menerus memimpikannya di dalam tidurku. Aku telah benar-benar jatuh cinta padanya!

Midori-chan. Dia gadis yang sangat cantik. Tapi bukan hanya itu yang membuatku langsung tertarik padanya. Tatapan matanya, entah mengapa, aku merasakan adanya rasa kesepian di balik mata indah itu. Seakan-akan ada kekosongan dalam hatinya… dan aku sangat ingin mengisi kekosongan itu. Aku sangat ingin memilikinya.

Maybe it's intuition
but some things you just don't question
Like in your eyes, I see my future in an instant
And there it goes,
I think I found my best friend
I know that it might sound
more than a little crazy
but I believe...

I knew I loved you before I met you
I think I dreamt you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life

There's just no rhyme or reason
Only the sense of completion
And in your eyes, I see
the missing pieces I'm searching for
I think I've found my way home
I know that it might sound
more than a little crazy
but I believe...

I knew I loved you before I met you
I think I dreamt you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life….

“Hikaru sendiri wajahnya kok tiba-tiba memerah gitu?” tanyanya polos. “Kepanasan ya?”
“Eh, enggak apa-apa kok.” gumamku sambil memberinya senyum gingsulku. Dia pun ikut tersenyum, manis sekali.

“Ne, Midori-chan?”
“Ya?”
“Ngomong-ngomong, kenapa kau tak pulang dijemput pacarmu saja? Kan enak, jadi lebih romantis.”
Midori-chan memandangku heran, kemudian dia tersenyum. “Hikaru ini ada-ada saja. Aku kan tak punya pacar.”
“Kalau begitu, Midori-chan mau tidak jadi pacarku?” tanyaku sambil menyodorkan bunga krisan yang sedari tadi kusembunyikan. Syukurlah, bunga itu masih segar.

Midori-chan menatapku ragu.
“Aku serius.” ujarku meyakinkannya. “Sejak pertama kali bertemu denganmu, aku sudah yakin bahwa aku memang mencintaimu.”
Tangan Midori-chan sudah menerima bunga krisan dariku. Dia memerhatikan bunga itu sesaat. Namun, matanya mulai berkaca-kaca.
“Jangan!” dia mengembalikan bunga itu kembali padaku. “Jangan! Jangan! Jangan!” teriaknya mulai panik. Dia pun berdiri dan melangkah mundur, seakan jijik padaku. Kulihat air mata mengalir di pipinya. Ada apa ini?

“Kumohon jangan….” ujarnya sambil terisak. “Jangan pernah mencintaiku….”

“Apa maksudmu? Kenapa ‘jangan’?”
Dia hanya menggelengkan kepalanya kencang.

Kereta pun berhenti di Shibuya. Dia bergegas turun tanpa melirik lagi kepadaku. Dia pergi. Gadis yang kucintai pergi. Meninggalkanku yang sedang menggenggam krisan yang tiba-tiba dengan begitu cepatnya melayu. Tak dinyana lagi, aku kecewa dengan penolakannya….

Sejak saat itu, tak pernah lagi kutemui Midori-chan di kereta. Pernah sekali aku melihatnya selintas saat sedang berada di peron, namun saat kukejar, dia sudah menghilang.

***

27 Juli 2010

“TOLONG!!! Tolong! Ada seorang gadis pingsan di gerbong nomor 3!!” teriak seorang ibu-ibu sambil berlari panik.
Seorang gadis? Perasaanku mendadak tak enak. Midorichan- kah? Dengan bergegas kuhampiri tempat di mana gadis tersebut pingsan. Aku berusaha melewati gerumbulan orang-orang yang merubungi gadis itu, demi melihat siapakah dia.

Sudah kuduga, Midori-chan! Kondisinya sangat jauh berbeda daripada terakhir kami bertemu. Wajahnya sangat pucat, darah tak henti mengucur dari hidungnya. Rambut panjang indahnya berantakan, dan isi sketchbook-nya berserakan di mana-mana.

Aku mulai panik. Cepat-cepat kudekati tubuhnya.
“Nak, apakah kau mengenal gadis ini?” tanya seorang bapak-bapak.
“Saya temannya”.
“Ya sudah, lebih baik kita segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan.”
“Un!” aku pun membantu bapak itu mengangkat tubuh pingsan Midori-chan, mengeluarkannya dari kereta yang sesak ini. Seorang ibu membantu mengumpulkan barang-barang Midori-chan yang tercecer, termasuk sketchbook-nya.

***

“Kami sedang berusaha menghubungi kerabatnya di Shibuya. Anda sekalian bisa tenang sekarang. Kami sudah menanganinya.” kata seorang perawat kepada kami bertiga - aku serta seorang bapak dan ibu di kereta tadi.

“Nak, maaf bapak ada urusan lain. Karena gadis itu sudah ditangani oleh dokter, bapak hendak pamit duluan.”
“Iya Pak, terima kasih sudah membantu.” aku pun membungkuk pada bapak-bapak yang berlalu itu.
“Oh ya. Ini barang-barang gadis yang tadi. Sebaiknya kuserahkan padamu saja, kau kan temannya.” ujar ibu itu sambil menyerahkan barang-barang Midori-chan yang tadi tercecer.

Beberapa saat kemudian, seorang lelaki paruh baya muncul. Wajahnya nampak sangat panik dan khawatir. Dia adalah paman Midori-chan, Kamoguchi Renji.

Ibu-ibu tersebut pun menjelaskan apa yang terjadi di kereta kepada Kamoguchi-san. Jadi, ibu-ibu yang bernama Inoue Hato tersebut saat itu sedang berdiri di gerbong kereta karena kursi sudah penuh. Midori-chan yang sedang duduk mempersilakan Inoue-san untuk menempati tempat duduknya, sementara Midori-chan sendiri yang berdiri. Tak lama kemudian, wajah Midori-chan nampak pucat dan memegangi kepalanya, hidungnya tiba-tiba mimisan. Midori-chan pun pingsan, dan kereta pun diberhentikan demi menyelamatkannya.

Setelah selesai bercerita, Inoue-san pun berpamitan hendak pulang. Kamoguchi-san terus-terusan membungkuk dan berterima kasih atas pertolongan Inoue-san. Kemudian, dia pun berbalik kepadaku.

“Kau pasti Yaotome-san. Midori sering bercerita tentangmu, dia pun menyimpan banyak gambarmu di kamarnya.” ujar Kamoguchi-san sambil tersenyum hampa.
Aku pun tersenyum dan mengangguk. Sungguh salah tingkah.

Kami berdua pun duduk di kursi tunggu di depan ruang ICU. Midori-chan yang masih ditangani oleh dokter sudah dipindahkan ke sini dari UGD. Aku sangat khawatir dengan kondisinya. Mengapa harus masuk ICU? ‘separah itukah’ kondisinya?

Oh iya, aku baru ingat. Barang-barang Midori….

Kuserahkan barang-barang milik Midori kepada Kamoguchi-san. Dia malah membuka-buka sketchbook Midori dan memperlihatkan beberapa gambar di dalamnya kepadaku.

“Kau lihat, Yaotome-san. Betapa Midori sangat mengagumimu!” Dia menyerahkan sketchbook itu kepadaku. Kupandangi sketsa wajahku sendiri sedang tersenyum kepadaku. Tak hanya satu, ada banyak! Aku dalam berbagai pose, aku dalam berbagai penampilanku. Sejak aku masih kecil sampai sekarang. Sebegitu kagumkah dia kepadaku? Tapi mengapa dia tak mau menjawab pernyataan cintaku?
Kubuka halaman demi halaman sketchbook tersebut. semuanya kebanyakan gambarku. Dan aku sangat kaget dengan tiga gambar di halaman terakhir.

Gambar yang pertama, kembali, gambar setangkai bunga krisan di tengah-tengah background warna hijau yang sama seperti gambarnya yang kutemukan saat pertama kali bertemu dengannya.
Gambar yang kedua, dia menggambarku sedang memberikan setangkai bunga krisan kepadanya, tapi tanggal yang tertera pada gambar itu jauh sebelum aku menyatakan perasaan cintaku kepadanya, bahkan jauh sebelum aku bertemu dengannya, 2 Agustus 2009. Apakah memang ini impiannya? Aku semakin bingung.
Gambar yang terakhir, gambarku dan dia… sedang bersanding di altar pernikahan. Kami berdua nampak bahagia dan memegang satu buket bunga krisan putih yang indah. Hatiku mendadak terasa berat. Aku bingung. Cintakah kau padaku, Midori-chan? Ingin rasanya kumenangis. Tapi tak bisa, aku tak boleh terlihat lemah. Laki-laki tak boleh menangis.

Dokter pun keluar dan mempersilakan kami berdua memasuki ruang ICU. Meskipun kondisinya masih kritis, tapi lebih baik daripada sebelumnya.

“Ano… Kamoguchi-san. Sebenarnya, Midori-chan sakit apa?”
Kamoguchi-san menatapku sambil tersenyum hampa. “Memangnya dia tak pernah bercerita padamu ya?”
Aku menggelengkan kepala.
“Iya juga sih, tak mungkin dia bercerita padamu tentang penyakitnya….” Dia menghela napas sekali. “Kanker otak, sudah stadium akhir.” lanjutnya datar sambil membelai rambut Midori-chan yang masih belum tersadar.
Aku kaget dan menutupkan tangan pada mulutku. “Stadium akhir?! Mengapa dia tak menjalani perawatan?!”
“Mau bagaimana? Sebagai paman yang hidupnya pas-pasan, justru malah aku yang dibantu olehnya. Aku sama sekali tak bisa membantu biaya perawatan dan kemoterapi bagi penyakitnya….” dia pun menelan ludah.
“Ah, Midori… sungguh malang nasibmu, Nak….” dia kembali membelai rambut Midori.

Kumoguchi-san pun bercerita kepadaku tentang riwayat hidup Midori, “Orangtua Midori meninggal seketika gara-gara kecelakaan bus. Saat itu, Midori yang masih berumur enam tahun juga ikut bersama mereka, namun dia selamat. Mungkin itulah sebabnya Midori lebih senang naik kereta daripada bus”
Sekarang aku yang menelan ludah. Tak bisa kubayangkan trauma mendalam yang dialami Midori-chan. Harus menyaksikan kedua orangtuanya meninggal di hadapannya dengan mata kepalanya sendiri dalam umur sekecil itu.
“Sejak saat itu, Midori diurus olehku. Satu-satunya keluarga yang tersisa. Dan sejak saat itu pula, Midori tumbuh jadi anak yang pemurung. Midori yang dari dulu senang menggambar, berhenti melakukan hobinya sejak saat itu.”

Tiba-tiba, Kamoguchi-san tersenyum.
“Tapi keajaiban pun datang… dan keajaiban itu adalah KAU, Yaotome-kun.”
Hah? Keajaiban itu AKU??
“Aku masih ingat, ketika pertama kalinya dia mengenalmu dari dorama yang kau bintangi, Kinpachi Sensei 7. Istriku yang menonton, lebih tepatnya. Kemudian dia mengajak Midori yang masih berumur sebelas tahun untuk menonton bersama.”

Kinpachi Sensei 7? Ah, nostalgia. Saat itu aku masih chibi dan berperan sebagai seorang junkies yang merasa kesepian….

“Midori sangat kagum padamu di dorama itu. Dorama itu juga yang membuatnya menyadari bahwa meskipun kesepian, sebenarnya dia tak pernah sendirian. Sejak itu, dia mulai mau bersosialisasi dan mulai tersenyum kembali. Lalu dia kembali meneruskan hobi menggambarnya….” dia pun mengambil sketchbook Midori-chan dan menunjuk pada gambar di halaman pertama. “Inilah gambar yang pertama kali dia gambar sejak kematian orangtuanya.”

Gambar itu, gambar aku sebagai Maruyama Shuu dalam kostum Soran Bushi, tarian nelayan. Aku masih ingat, dalam dorama itu, Soran Bushi adalah hal yang pertama kalinya membuat Maruyama Shuu - alias aku - tersenyum.

“Setiap hari, dia terus ‘mengikuti’ perkembanganmu. Aku sangat senang melihatnya tersenyum ceria setiap kali melihatmu di televisi. Kau juga berhasil membuatnya bersemangat kembali bahkan setelah dokter memvonis bahwa hidupnya tidak akan lama lagi karena kanker otak tersebut.” lanjut Kamoguchi-san. Air matanya sudah mengalir tak terbendung lagi.

“Beberapa minggu yang lalu, dia pulang dengan wajah ceria. Katanya dia habis bertemu dengan kau di kereta, bahkan berhasil mendapatkan tanda tanganmu.” Kamoguchi-san menghapus air mata di wajahnya.
“Lalu kagetnya, beberapa minggu selanjutnya, dia pulang sembari menangis terisak-isak. Dia bercerita bahwa kau menyatakan perasaanmu padanya di kereta.” dia melanjutkan. “Aku bingung, mengapa dia tak senang bahwa idolanya ternyata mencintainya…”
“Dia malah menjawab, ‘Paman, jujur, aku sangat bahagia saat Hikaru menyatakan rasa cintanya padaku. Tapi aku tak bisa membiarkannya jatuh cinta padaku. Aku tak mau dia akan merasa kehilanganku, karena tahu waktu hidupku tak akan lama lagi.’
Lalu dia malah merutuki dirinya sendiri, ‘Aku bodoh! Bodoh! Tak seharusnya kusapa Hikaru dan meminta tanda tangan darinya! Tak seharusnya dia mengenalku! Salahku sehingga membuat dia jatuh cinta padaku! Salahku telah membuat dia sakit hati atas penolakanku!’”
“Aku bingung menghadapinya yang sedang sangat sedih saat itu, sudah kubujuk dia agar tak terlalu mempedulikanmu, kau kan artis, pasti gampang mendapatkan gadis manapun yang kau suka.
Tapi dia malah berkata, ‘Paman, aku terlalu cinta padanya. Itulah sebabnya aku merasa sangat bersalah karena telah membuatnya kecewa. Sungguh, tak seharusnya dia pernah mengenalku….’”

Tak dapat kutahan-tahan lagi. Tanpa kusadari, air mataku sudah mengalir dari kedua mataku. Aku tertunduk lemas. Ya Tuhan, apapun yang terjadi pada Midori-chan, kumohon sembuhkanlah dia. Ingin kukatakan padanya bahwa aku akan selalu mencintainya, apapun yang terjadi padanya. Meskipun nyatanya dia memang harus ‘pergi’, aku tak ingin dia ‘pergi’ dengan menangis....

***

.:Author’s POV:.

Tiga hari kemudian, Midori masih tak kunjung sadarkan diri. Hikaru dan Kamoguchi-san berganti-gantian menjaga Midori. Hikaru, tentu saja, selalu datang sore hari sepulang dari jimusho atau dari show yang dia bintangi. Setiap kali berkunjung, Hikaru selalu membawakan seikat bunga krisan segar bagi Midori.

***

.:Hikaru’s POV:.

Keesokan paginya, aku masih setia menunggui Midori sampai ketiduran. Saat aku bangun, yang pertama kali kulihat… masih Midori yang belum sadar juga. Sungguh tak sesuai dengan apa yang barusan kuimpikan.
“Masih belum bangun jugakah?” Sambil menangis, kubelai rambut Midori dan meratap, “Kumohon… bangunlah, Midori-chan. Aku, pamanmu, dan krisan putih di vas itu juga rindu akan dirimu….” tanganku menggenggam erat tangan kecil milik Midori-chan dan menciuminya. Perasaan yang sungguh dalam kucurahkan di tiap tetes air mata dan di tiap kecupan itu.

Tiba-tiba, jari-jari tangan itu mulai bergerak. Apakah dia sudah mulai sadar?
Jari-jari tangan itu bergerak lagi, lebih kuat dripada sebelumnya. Aku yakin, Midori-chan sudah mulai sadar.
Lalu, mata indah itu mulai terbuka, perlahan sekali. Menyadari siapa yang ada di hadapannya, bibirnya pun mulai bergerak, “Hi-karu?”
Tangisku pun berubah menjadi senyum, “Ah Midori-chan. Akhirnya kau sadar juga.”
“Ke-napa mena-ngis?” tanya Midori masih terbata-bata.
“Menangis? Siapa? Aku hanya kelilipan saja kok.” ujarku, tak ingin membuatnya khawatir. “Well, syukurlah akhirnya kau sadar juga. Kupanggilkan dokter ya!”
“Jangan!” cegah Midori sambil menarik ujung kemejaku.
“Kenapa?”
“Hikaru di sini saja… aku mau bicara.”

Kutarik kursiku lebih dekat ke tempat tidurnya.
“Maaf… tentang yang di kereta waktu itu….” matanya mulai berkaca-kaca.
Tak tega melihatnya menangis, kurengkuh tubuh lemahnya ke dalam dekapanku. “Tak usah minta maaf…. Kau tolakku berapa kalipun aku tetap sayang padamu….” Kurasakan tetesan-tetesan hangat mengalir di pundakku… dia menangis.
“Hikaru… aku tak bisa berlama-lama lagi di sini….”
“Kau ini bicara apa sih.” mataku mulai memanas. Kutahan air mataku untuk tak mengalir di hadapannya.
“Maaf, sudah membuatmu jatuh cinta padaku… maaf karena sudah membuatmu menangis.”
“Sudah ah, jangan terus-terusan minta maaf. Kau ini dari tadi bicaranya ngaco melulu. Justru aku mau berterima kasih padamu….” kukecup lembut ubun-ubunnya, kueratkan lagi dekapanku…. “Terima kasih, karena telah membuatku merasakan indahnya mencintai dan juga dicintai….”
“Hihihi.” dia terkikik di sela tangisnya. “Justru aku yang mau bilang begitu…” Kudengar ia menghisap ingusnya sekali.
“Terima kasih, karena telah membuatku merasakan indahnya mencintai dan juga dicintai….” suaranya semakin melemah….
“Arigatou, Hikaru….”
Tubuhnya yang hangat berubah semakin dingin, dingin.

TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTTTTTT….
Bunyi elektrokardiograf itu menyayat hatiku. Air mataku pun sudah tak bisa kubendung lagi, dan semakin kueratkan dekapanku pada tubuh tak bernyawa itu. Midori-chan sudah ‘pergi’.

Dokter dan perawat segera berdatangan menangani apa yang terjadi pada Midori.
Sempat kulihat, wajah Midori ternyata tersenyum. Ya, dia tersenyum dalam ‘kepergiannya’….
Krisan yang kupasang di vas bunga mulai layu, namun entah mengapa, aromanya masih menusuk di hidungku, bahkan sampai ke hatiku….

Selamat jalan, Midori-chan….

***

Seminggu setelah kepergian Midori-chan….
Masih kutatap gambar krisan di tengah background hijau milik Midori-chan. Gambar itu sudah diberikan kepadaku oleh Kamoguchi-san, setelah aku meminta izin kepadanya.
Entah mengapa, tadi pagi, tiba-tiba kutemukan sebuah pena hijau, sama seperti pena hijau milik Midori saat pertama kalinya meminta tandatanganku. Kini, pena itu ada di tanganku.

Tanpa ragu, kugoreskan pena hijau itu di atas background hijau pada gambar tersebut. Kugambari dengan gambar dua orang - seorang lelaki dan seorang gadis - sedang memegang krisan yang ada pada gambar tersebut. Keduanya tersenyum. Lelaki itu adalah aku, dan gadis di sebelahnya, tentu saja Midori-chan. Gambar tersebut kuberi figura dan kupajang di dinding kamarku.

Yah, meskipun gambarku tak sebagus gambar Midori-chan, aku senang bahwa aku pernah mengisi kekosongan hatinya….
Eh, kok? Apa aku tak salah lihat?
Gadis dalam gambarku itu - Midori-chan - nampak tersenyum lebih lebar daripada yang kugambar….
Bahagiakah engkau di ‘sana’, Midori-chan?

***
THE END

*song credits to Savage Garden - I Knew I Loved You

genre: romance, theme: non-yaoi, rating: pg-13, type: oneshot, pairing: yaotome hikaru/oc, genre: angst, author: ra_bgtz, fandom: hey!say!jump

Previous post Next post
Up