Title: Pieces Of You In My Heart
Sub Title: Dear C
Pairing: Jung Yunho/Shim Changmin
Rating: PG-13
Warning: Mpreg, cliche whatsoever
AN1: For #Pasrahing! Maaf belum bisa menyelesaikan JFV, belum tahu kapan lagi bisa melanjutkan fic yang satu itu. Sebagai gantinya aku malah nulis ini. Sudah lama sih punya ide cerita begini. Idenya klise memang,tapi kepingin banget buat, akhirnya jadi bagian pertama. Mudah-mudahan bagian selanjutnya juga bisa selesai secepatnya. Maaf kalau mengecewakan.. *hugs*
AN2: Ilonna sayang~~~ makasih ya udah bantuin proofreading tulisan jelekku ini, semoga nggak terlalu membosankan. Hehehe
AN3: Aku buat fanmix nya juga...lagu-lagunya ada di playlist waktu nulis fic ini. Silakan
ke sini ^^
“Sedang apa?”
“Oppa! Kau baru pulang?”
“Hm… serius sekali, sedang apa?”
“Aku baru selesai membaca ini…”
“Hal yang penting?”
“Tidak juga, tapi hatiku sedih setelah membacanya.”
“Kemarikan…”
“Yakin Oppa mau membacanya?”
“Iya! Kemarikan...”
“Baiklah…”
~~~******~~~
Semuanya berawal pada hari itu...
Langit berubah begitu gelap dan angin pun mulai bertiup dengan kencang. Aku tak ingat kapan terakhir kali langit di atas Pulau Jeju berwarna sedemikian gelap, menambah perasaan enggan dan malas yang sudah menghinggapiku sejak pagi. Musim panas terasa cepat sekali berlalu dan aku hanya menatap hampa matahari yang tersembunyi oleh awan mendung. Mungkin badai akan menerjang, atau hujan deras akan turun. Apapun yang akan terjadi, aku hanya ingin secepatnya menutup kios bunga yang kumiliki dan bergegas pulang. Sudah bisa kubayangkan kehangatan teh hijau yang akan kunikmati sambil bergelung di dalam selimutku yang paling nyaman, menambah semangatku untuk segera mengakhiri hari.
Benar saja, tak lama kemudian gemericik air yang jatuh dan bau khas tanah yang tersiram air pun tercium. Aku melongok ke balik jendela dan mendapati hujan sudah turun semakin deras. Aku pun bergegas, membereskan barang lalu cepat-cepat mengunci pintu kios. Sepeda tuaku yang berdiri di depan kios sudah cukup basah sehingga celana jeansku pun ikut basah ketika aku menduduki sadel dan mengayuh pedal menelusuri jalan pulang.
Walaupun hujan sudah semakin deras, aku menghentikan laju sepeda dan menengok ke belakang. Kios bungaku berdiri di sana. Terlihat kecil dan cukup tua, namun paling tidak aku meyakini bahwa ia akan terus di sana, berdiri melalui empat musim berikutnya.
Aku mengingat senyumku pada diri sendiri pada hari itu. Bangga bahwa di umurku yang ke 20, aku masih bisa mempertahankan satu-satunya peninggalan ayah dan ibuku. Mereka yang sudah tiada akibat kecelakaan lalu lintas tiga tahun yang lalu, meninggalkan aku yang saat itu masih berusia tujuh belas tahun sebatang kara untuk melanjutkan hidup.
Kehidupanku setelah itu cukup sulit. Aku yang masih muda, yang masih terbiasa dengan nyamannya kasih sayang orang tua dan kehidupan siswa menengah atas yang menyenangkan, tiba-tiba harus dihadapkan pada kenyataan bahwa aku tak bisa lagi menikmati hari-hari yang nyaman itu, bahwa mulai saat itu aku harus berusaha sendiri untuk menopang hidupku. Tapi aku tak terpuruk terlalu lama. Ditengah aktivitasku yang seorang pelajar, dan dengan sedikit kemampuan merangkai bunga yang diwariskan ayah padaku, aku merintis kembali kios bunga itu.
Tidak mudah memang. Seringkali aku berpikir untuk menyerah pada kenyataan bahwa kemampuanku tak akan mungkin sebagus ayah, bahwa aku tak akan mungkin bisa melanjutkan usaha itu. Bahkan aku sempat tergoda oleh tawaran beberapa orang yang ingin membeli kios itu. Jumlah uangnya pun lumayan. Cukup lah untuk membiayai hidupku hingga aku lulus sekolah dan bisa mencari pekerjaan yang lebih layak.
Tapi suatu hari aku menyadari bahwa kios itulah satu-satunya penghubung yang tertinggal antara aku dan orang tuaku. Terlalu banyak kenangan akan mereka di tempat itu. Dengan menjualnya, aku merasa seolah menghianati kepercayaan ayahku. Aku sungguh tak tahu bagaimana harus menatap ayah bila suatu hari nanti kami berkumpul kembali. Akhirnya, dengan tekad yang baru, aku berhasil mempertahankannya hingga hari itu.
Aku berbalik kembali, tubuhku yang semakin basah mengingatkanku untuk segera pulang ke rumah. Namun, bahkan ketika aku kembali mengayuh sepedaku, sama sekali tak terbersit dalam pikiranku, bahwa kehidupanku setelah hari itu akan berubah.
Aku mengingat jaket yang kukenakan saat itu. Tudungnya tidak cukup melindungi kepalaku dari dinginnya guyuran air hujan, tapi aku masih bersyukur. Daripada tidak sama sekali.
Aku terus mengayuh sepedaku. Pandanganku semakin kabur karena derasnya air hujan, memaksaku untuk sedikit memperlambat laju sepeda. Perasaan lega melingkupi hatiku ketika aku menyadari bahwa setelah melewati dua blok lagi aku akan tiba di rumah. Dengan pikiran itu, aku melanjutkan perjalanan.
Namun di perempatan jalan yang cukup sepi, mataku menangkap sesuatu. Aku mengerem sepedaku dengan tiba-tiba dan melihat sekeliling. Tidak ada orang di sekitar, dan kendaraan pun tak ada yang lewat. Senja sudah tiba dan aku cukup memaklumi bila orang lebih nyaman berada di dalam rumah mereka yang hangat dibandingkan berada di jalan pada sore hujan seperti aku saat itu. Aku menggelengkan kepala, mengenyahkan pemikiran yang tidak perlu dan memfokuskan penglihatanku pada sesuatu yang tadi membuatku berhenti.
Di sana, di tengah jalan, seorang lelaki tergeletak begitu saja di atas aspal yang dingin di bawah guyuran hujan. Dengan perasaan takut, aku mengabaikan sepedaku dan berlari menuju ke arah orang itu. Tubuh orang itu tertelungkup, setelan jas hitam yang menutupi tubuhnya sudah sangat basah, dan genangan air yang berada di sekitar kepalanya sudah berubah warna menjadi merah.
Darah.
Mataku terbelalak dan aku membalik tubuh orang itu dengan hati-hati. Ada luka yang masih berdarah di pelipisnya, dan darah mengalir pula dari hidung dan mulutnya. Aku memperhatikan secara seksama luka-luka orang itu dan menyimpulkan bahwa orang itu mungkin saja merupakan korban tabrak lari. Aku kemudian mengecek denyut nadinya dan merasa lega karna aku masih bisa merasakan denyut nadinya. Orang itu masih hidup.
Dengan bantuan petugas polisi dari pos terdekat, aku membawa orang itu ke rumah sakit. Dokter menyatakan bahwa lelaki itu cukup beruntung. Selain gegar otak ringan, tidak ada luka atau cedera lain yang dapat membahayakan nyawanya.
Aku merasa sangat lega. Setelah memberikan pernyataan mengenai bagaimana aku menemukan orang itu, petugas polisi mengizinkan aku untuk pulang. Sebelumnya mereka memberitahuku bahwa mereka tidak menemukan dompet atau tanda pengenal yang dapat memastikan identitas orang itu hingga polisi dan pihak rumah sakit pun tidak bisa menghubungi kerabat dan keluarganya. Dugaan sementara mereka lelaki itu merupakan korban tabrak lari, namun mereka akan memastikan lagi setelah yang bersangkutan sadar dan cukup kuat untuk memberikan keterangan.
Sebelum pulang aku menyempatkan diri untuk mengintip ke dalam kamar perawatan orang itu. Dia masih belum tersadar. Setelan jas hitamnya yang basah sudah diganti oleh baju pasien rumah sakit dan saat ini selimut sedang menghangatkan tubuhnya. Kepala lelaki itu sudah tertutup oleh perban tebal dan ada lebam di tulang pipi kirinya.
Mengetahui bahwa lelaki itu akan baik-baik saja sudah cukup mengantarkan aku untuk pulang ke rumah. Hari sudah malam dan hujan pun sudah reda, dengan sepedaku, aku menikmati sejuknya malam di Pulau Jeju di hari setelah hujan.
Malam itu, aku membuat segelas teh hijau yang tadi sudah kubayangkan akan menghangatkan malam sepiku. Satu tegukan membawaku ke surga dan aku seolah terbuai oleh kehangatannya dan mengantarkanku untuk mengulang hari. Sudah menjadi kebiasaanku setiap hari untuk mengevaluasi diriku sendiri. Apa saja yang kulakukan, siapa saja yang kutemui, pekerjaan apa saja yang sudah aku kerjakan, berapa banyak karangan bunga yang sudah kuantarkan, dan penghasilan yang kudapatkan pada hari itu. Menjadi seseorang yang hanya bisa bergantung pada diri sendiri membuatku merasa perlu melakukan hal itu. Aku sangat bersyukur bila semua berjalan dengan baik, apabila sebaliknya, itu akan menambah semangatku untuk berusaha dengan lebih baik lagi. Itulah yang kulakukan, dan sekali lagi aku tersenyum dan bersyukur pada Tuhan karena satu hari lagi sudah kulalui dengan baik.
Pikiranku kemudian melayang kepada lelaki itu. Lelaki asing yang tergeletak di tengah jalan dengan luka di kepala dan setelan jas hitam yang basah karena hujan. Aku bertanya-tanya sudah berapa lama orang itu tergeletak sendirian di tengah jalan yang sepi dan tak ada orang. Apa yang akan terjadi padanya kalau saja aku tidak lewat dan menemukannya. Apakah akan ada orang lain yang menolongnya dan membawanya ke rumah sakit seperti yang kulakukan? Mungkin saja. Aku rasa masih banyak orang lain di luar sana akan melakukan hal yang sama denganku.
Aku mengenal hampir semua orang di daerah itu dan aku sama sekali tak pernah melihatnya. Sepertinya dia tidak berasal dari sana. Setelan jasnya yang tampak mahal membuatku yakin bahwa ia bukan seperti orang kebanyakan. Lalu kenyataan bahwa tidak ada tanda pengenal membuat lelaki itu semakin misterius. Ah.. semakin memikirkannya rasa penasaranku semakin bertambah. Akhirnya, tanpa berpikir lebih jauh, aku memutuskan untuk mengunjungi lelaki itu di rumah sakit esok hari. Sekedar ingin memuaskan rasa ingin tahuku saja.
Seperti yang sudah aku rencanakan, keesokan harinya setelah menutup kios aku bergegas menuju ke rumah sakit. Setelah tiba, aku mendapati ruang perawatannya kosong. Suster yang merawatnya mengenaliku sebagai pemuda yang menyelamatkannya lalu memberitahuku bahwa lelaki itu sedang berada di taman. Dari sang perawat pula aku mengetahui bahwa orang itu tidak mengingat apa pun tentang dirinya sendiri. Tidak namanya, umur, maupun dari mana ia berasal. Ya... Sesuai dengan diagnosa dokter, lelaki itu mengalami amnesia.
Beberapa jam yang lalu, polisi sudah meminta keterangan darinya, namun tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ingat identitas, otomatis tidak ada kerabat atau keluarga yang bisa dihubungi.
Melihatnya dari jauh, aku memperhatikan lelaki itu duduk di bangku taman rumah sakit dengan kepala tertunduk. Lesu, ia tampak berpikir dengan keras. Mungkin berusaha untuk mendapatkan ingatannya kembali. Aku merasa iba padanya. Tak bisa kubayangkan bila aku yang berada di dalam posisinya. Aku rasa, hidup sebatang kara tidaklah lebih sulit daripada sama sekali tidak mengetahui jati diri sendiri. Mengetahui bahwa mungkin saja ada keluarga yang sudah menanti di rumah, tapi tidak tahu kemana harus bertanya dan bagaimana menemukan mereka. Memikirkannya saja rasanya sudah membuatku frustasi.
Mungkin karena rasa ingin tahu, atau mungkin karena rasa iba, aku tidak tahu. Tapi ada sesuatu hal yang membuat kakiku melangkah ke rumah sakit itu dan duduk diam hanya memperhatikan bagaimana perkembangan lelaki itu setiap harinya. Kesehatannya sudah cukup baik, dan ketampanan lelaki itu semakin terlihat dengan kepala yang sudah tidak tertutup oleh perban dan lebam biru yang semakin memudar. Ia tidak lebih tinggi dariku, mungkin perbedaan tinggi tubuh kami hanya sekitar dua sentimeter. Wajahnya cukup kecil dibandingkan dengan lelaki kebanyakan. Matanya yang seperti musang sangat tajam, namun sinar di mata itu hangat dan dalam.
Aku perhatikan, lelaki itu sudah bisa berinteraksi dengan orang lain lebih baik dari sebelumnya. Kalau awalnya ia hanya terdiam dan menatap langit dengan tatapan sendu, kali ini dia sudah mulai bisa bercakap-cakap dengan sesama pasien lainnya. Dia kelihatannya juga sangat menyukai anak-anak. Melihatnya bermain dan tertawa bersama mereka merupakan hiburan tersendiri bagiku.
Aku tak mengerti dengan orang ini. Mungkin mentalnya terbuat dari baja. Bukan apa-apa, tapi rasanya cepat sekali lelaki ini melupakan permasalahannya lalu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah dia menganggap apa yang dialaminya akan berlalu seperti angin yang berhembus. Aku penasaran seperti apa sistem di otaknya bekerja. Orang itu mengelola emosinya dengan baik, dan kalau saja mungkin, aku ingin belajar darinya. Hehehe...Pemikiran yang konyol, bukan?
Aku ingat tertawa sendiri pada pemikiran konyol itu, dan tidak menyadari bahwa lelaki itu sudah berdiri dihadapanku. Aku sungguh terkejut melihat sosoknya. Saat itu aku panik, takut kalau orang itu mengetahui kalau aku sering datang melihatnya. Tapi lelaki itu justru malah tersenyum hangat padaku. Dengan santai ia menjatuhkan dirinya dan duduk di sebelahku.
Aku tak bisa berkutik dan hanya bisa menatapnya sampai ia membuka suara.
“Kau siapa? Aku tahu kau selalu memperhatikan aku beberapa hari ini.”
Itulah yang dikatakannya padaku saat itu. Aku kaget bukan main. Dia menangkap basah semua tingkah lakuku yang mengamatinya seperti seorang penguntit beberapa hari itu. Matanya tajam saat menatapku dan nada bicaranya cukup serius, tapi masih terkesan cukup ramah. Aku tergagap saat mengatakan bahwa akulah yang telah menolongnya dan membawanya ke rumah sakit. Sungguh tak kusangka sama sekali bahwa ia menyadari kehadiranku di antara begitu banyak orang yang berlalu lalang di rumah sakit itu.
Lelaki itu lalu menggenggam erat tanganku dan menyatakan bahwa ia sangat berterima kasih padaku karena telah menolongnya. Aku memperhatikan matanya yang menyiratkan setitik harapan. Aku tahu apa yang akan dikatakannya setelah itu, dan benar saja, ia menanyakan padaku apa aku mengenal dan mengetahui identitas dirinya.
Saat itu aku menyadari, ternyata apa yang kulihat beberapa hari itu merupakan sebuah topeng kepura-puraan. Sebuah topeng yang dikenakannya untuk menyamarkan sosoknya yang rapuh. Keraguan, sepi, ketakutan akan dirinya yang mungkin tak akan bisa mengingat memorinya di masa lalu, dan yang paling utama ketakutan untuk menghadapi dunia ini sendirian tanpa kawan dan keluarga. Semua itu tergambar dengan sangat jelas di raut wajahnya, membuat hatiku terluka. Mungkin di mata orang lain apa yang kurasakan sepertinya tidak masuk akal, tapi tidak bagiku. Terluka untuk orang itu, orang yang tidak kuketahui siapa namanya dan darimana asal usulnya, karena dalam sinar matanya aku bisa menemukan diriku yang berusia tujuh belas tahun. Diriku yang berdiri sendirian di depan altar kematian kedua orang tuaku dan harus menghadapi sanak saudara yang tidak cukup peduli akan kelanjutan masa depanku. Tentu saja, apa yang dilalui orang ini sangatlah berbeda, tapi rasa ketakutan itu sama besarnya dengan apa yang kualami dahulu.
Mungkin oleh karena simpati... atau empati, dan perasaan bahwa kami berdua memiliki kesamaan membuatku mengatakan sesuatu yang nantinya sungguh akan kusesali.
“Ya… dan aku adalah kekasihmu.”
Sepertinya aku memang sudah gila. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kalimat itu bisa meluncur dari mulutku begitu saja. Kekasih? Aku? Dengan orang itu? Namanya saja aku tidak tahu. Lalu bagaimana kalau dia bertanya tentang latar belakangnya? Apa yang harus kujawab?
Orang itu awalnya tidak memberikan reaksi apapun, tapi erat genggaman tangannya pada milikku tidak berubah. Aku hanya sanggup menelan ludah. Menatap wajahnya saja aku tidak berani, takut kalau dia akan menangkap kebohonganku. Padahal kalau kupikir lagi, untuk apa aku berbohong seperti itu? Tak ada untungnya juga buatku. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan susu telah tumpah, tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk menarik kata-kata itu.
Namun apa yang terjadi kemudian membuatku tertegun. Lelaki itu memelukku. Tubuhku yang sedikit lebih kurus dari miliknya dibawanya ke dalam dekapan hangat, dekapan yang sudah beberapa lama ini tidak pernah kurasakan. Dadaku bergemuruh. Hanya tiga tahun, tapi rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan berada begitu dekat dengan orang lain seperti ini.
Lelaki itu mengungkapkan rasa syukur, membisikan ucapan terima kasih di telingaku, dan juga pernyataan maaf karena ia tidak bisa
mengingatku. Saat itu juga perasaan bersalah merayap di dadaku. Rasanya seperti disiram air es, dan aku membeku dalam dekapannya. Sesak.
Tapi ketika lelaki itu melepasku dari pelukannya dan benar-benar menatapku, aku dibuatnya tak bisa berkutik. Harapan baru terlukis dari matanya yang berwarna cokelat dan dengan menatapku begitu, ia seakan baru saja menemukan dunia baru, seolah-olah aku adalah segalanya. Masa lalunya, harapan, dan masa depannya.
Aku mengutuk diriku sendiri, sungguh tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bertanya-tanya, bisakah aku yang seperti ini menjadi harapan dan tumpuan bagi orang lain. Karena sedetik aku terlambat menyadari kesalahanku, aku sudah terjebak di labirin berliku yang aku tidak yakin kemana arah jalan keluarnya. Bukankah dengan mengatakan bahwa aku adalah kekasihnya berarti aku siap untuk bertanggung jawab atas diri lelaki itu setelah ia keluar dari rumah sakit? Kemana aku harus membawanya?
Tapi aku juga tidak bisa menolak lelaki itu. Dia yang menatapku hangat, yang menyalahkan diri karena tidak bisa mengingat kekasihnya sendiri, yang berulang kali meminta maaf karena telah banyak merepotkan, dan yang berusaha keras untuk menemukan setitik cinta di hatinya untukku yang sesungguhnya tidak nyata, membuatku membulatkan tekad.
Aku tahu lelaki itu bukanlah orang jahat. Orang jahat tidak akan begitu mudahnya tersenyum pada orang lain yang tidak dikenalnya. Orang jahat tidak akan menemukan kesenangan dalam bermain dengan anak kecil yang merepotkan. Orang jahat tidak akan segan mendorong kursi roda seorang wanita tua dan memperlakukannya seolah wanita itu adalah ibu kandungnya. Dan orang jahat tidak akan tersenyum dengan tulus bagaikan malaikat.
Itulah yang kuketahui dari lelaki yang baru hadir dalam hidupku hanya dalam hitungan hari. Dan itu pula yang menjadi alasan mengapa pada akhirnya aku membawanya pulang ke rumahku dan membiarkannya tinggal bersamaku. Sebagai kekasihku.
Kemudian, kehidupanku dengannya dimulai. Dengan sedikit penyesuaian, kami-aku-berbagi ruang dalam rumahku yang tidak terlalu besar. Aku memberinya sebagian dari baju-baju ayah, dan untungnya ukuran mereka tidak jauh berbeda. Aku juga bersyukur bahwa selera ayahku tidaklah sekuno kebanyakan orang yang seumuran dengannya, hingga sebagian besar pakaiannya masih cukup pantas dikenakan oleh lelaki itu. Ia tidur di kamarku dulu, sedangkan aku di kamar bekas orang tuaku, dan sejak ia datang, aku pulalah yang mengurusi segala keperluannya. Dari mulai memasakkan makan tiga kali sehari, dan keperluan-keperluan kecil sehari-hari.
Aku seperti sudah punya suami saja… hahaha…
Kehidupan kami sungguh nyata, namun segalanya dibangun oleh kebohongan. Setelah tinggal bersamanya, aku baru menyadari bahwa aku ternyata adalah seorang pembohong yang baik. Orang itu mempercayai setiap ucapan yang keluar dari mulutku dengan begitu naifnya. Namanya, umurnya (aku yakin betul kalau ia lebih tua dariku), latar belakangnya yang yatim piatu, asal-usulnya, bahkan tempat kami pertama kali bertemu. Tak ada sama sekali rasa curiga yang terpancar dari matanya, hanya ada kepercayaan dan rasa terima kasih yang tulus.
Aku tidak bangga akan hal itu, tentu saja, tapi aku juga tidak bisa bersikap jujur di hadapan orang itu, yang telah mempercayakan dirinya padaku. Sejujurnya aku pun tak yakin apakah yang aku lakukan ini benar semata-mata karena aku ingin menolong lelaki itu, ataukah ada alasan lain.
Setelah tinggal beberapa saat dengannya, aku merasa hidup ini berubah. Dia memberikan begitu banyak warna pada hari-hariku yang dulunya hanya hitam dan putih. Sifat dan karakter kami yang berbeda 180 derajat pun memberikan kesan tersendiri. Aku pemalu, sementara lelaki itu luwes dan sangat mudah bergaul. Aku pendiam, namun dia cerewet dan banyak bicara. Terlalu banyak, sampai terkadang membuatku pusing menanggapi ocehannya. Yang paling menyebalkan, orang itu memiliki kecenderungan menyukai kontak fisik-tentu saja bukan kontak fisik yang macam-macam. Ia suka sekali memelukku, memegang tanganku, mencubit pipiku, mengacak rambutku, pokoknya apa saja yang berhubungan dengan sentuhan. Aku ini tidak suka dengan hal-hal seperti itu, dan aku anggap kebiasaannya itu sangat menjengkelkan. Tapi toh dia tidak pernah menggubris apabila aku memprotes tingkah lakunya. Sebaliknya, semakin aku protes, kebiasaannya itu akan semakin menjadi. Dia menganggap reaksi yang kuberikan setiap kali dia menyentuhku itu lucu. Bahkan terkadang dia sengaja melakukannya hanya untuk mengundang reaksi dan perhatianku.
Mungkin orang akan bilang aku dan dia seperti bulan dan matahari. Aku tenang dan sifatku cenderung dingin, sedangkan dia memiliki pribadi yang menyenangkan, hangat, dan radian. Tapi itulah yang membuat segalanya terasa berbeda.
Dahulu aku terbiasa hidup sendiri, lalu harus berbagi tempat dan ruang dengannya. Dulu aku terbiasa bekerja dan mengurus kios bungaku sendiri, lalu ada lelaki itu yang membantu. Dia sama sekali tak mengerti apapun tentang bunga dan teknik merangkai bunga, tapi dia membantuku mengantarkan pesanan kepada pelanggan dan dia pandai dalam segi pemasaran. Wajah yang tampan, pribadinya yang ramah dan gampang bergaul membuat lelaki itu mudah mengambil hati para pelanggan kami. Terkadang ibu-ibu paruh baya dan gadis-gadis genit dari daerah sekitar sering mampir hanya untuk mengobrol dengannya. Dasar penakluk wanita.
Tapi aku tak protes, bisnis kami berjalan dengan baik dan pendapatan pun mengalir dengan lancar.
Sebenarnya aku tak pernah memaksa lelaki itu untuk membantuku di kios bunga milikku, tapi lelaki itu bersikeras. Katanya dia bosan hanya duduk-duduk menganggur saja di rumah. Lelah berdebat dengannya, akhirnya aku pun membiarkan ia melakukan apa pun yang diinginkannya. Lagipula, aku tidak tahan dengan raut wajah cemberutnya. Wajah cemberutnya memberikan sensasi dan perasaan aneh di dalam hatiku, dan akhirnya aku selalu menuruti apapun keinginannya tiap kali lelaki itu menunjukkan wajah yang seperti itu. Ugh… aku tak habis pikir, sebenarnya siapa yang lebih muda dan siapa yang lebih tua? Dia itu bisa bertingkah kekanak-kanakan lebih daripada aku.
Secara keseluruhan, tinggal bersama dengan lelaki itu tidaklah buruk. Hanya saja, dia itu cenderung suka memberantakkan rumah dan tak tahu bagaimana merapikannya kembali. Berlawanan sekali denganku yang pecinta kebersihan dan kerapian.
Ketika pulang ke rumah setelah kios tutup, lelaki itu bukannya meletakkan baju kotornya di keranjang cucian tapi malah membiarkan baju-baju itu teronggok sembarangan di atas tempat tidur atau sofa. Sering kali aku yang harus membereskan barang-barangnya dan meletakkannya di tempat yang seharusnya.
Adalagi kebiasaannya di kamar mandi yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Aku tak tahu apa yang dilakukannya di dalam sana selama itu. Belum lagi kebiasaan jeleknya yang menekan pasta gigi dari tengah bukan dari ujung. Katakan padaku, siapa yang masih punya kebiasaan seperti itu? Dia itu orang dewasa, bukan lagi anak kecil. Anak kecil saja tahu bagaimana cara yang benar untuk mengeluarkan pasta gigi.
Untuk urusan dapur, jangan tanyakan padaku kemampuan memasaknya. Lelaki itu tukang masak yang paling buruk yang pernah aku temui. Terjadi bencana terakhir kali aku membiarkannya menguasai dapur. Lelaki itu hampir saja membakar rumah yang kami tinggali. Untungnya keadaan dapat cepat dikendalikan, kalau tidak aku pun akan kehilangan rumahku yang berharga. Belum lagi luka iris pada jarinya akibat memotong sayuran dan kesalahan waktu memegang pisau dapur. Walaupun dia berusaha keras untuk menyembunyikannya, tentu saja aku akan tahu. Pokoknya lelaki itu betul-betul tidak cocok mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Tapi…orang itu merupakan sesosok lelaki yang kuat. Ia seorang pekerja keras dan juga sosok yang sangat bertanggung jawab. Tak pernah sekali pun ia mengeluh padaku, bahkan ketika keuangan kami semakin menipis, orang itu tak pernah berpangku tangan. Selain membantu pekerjaanku di kios bunga, lelaki itu juga bekerja paruh waktu di pelabuhan di malam hari, sebagai kru di kapal-kapal penangkap ikan. Semua pekerjaan itu sungguh menyita waktunya, dan sering kali ia pulang ke rumah di pagi buta dengan tubuh yang kelelahan hingga terkadang ia tak sanggup menyeret tubuhnya sendiri untuk kembali ke kamar tidurnya. Seringkali aku yang harus membangunkannya dan menyuruhnya untuk tidur di kamar, atau aku membiarkannya tertidur di sofa dan hanya menutupi tubuhnya yang lelah dengan selimut.
Sudah seringkali aku mengatakan kepadanya bahwa ia tidak perlu bekerja sekeras itu, masalah uang bisa kami pikirkan bersama, tapi orang itu tetap berkeras. Dia mengatakan padaku untuk tetap berkonsentrasi di kios bunga dan yang selebihnya menjadi tanggung jawabnya. Aku benar-benar tidak tahu apa yang telah kulakukan di masa lalu sehingga Tuhan menghadirkan orang itu di kehidupanku.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan orang itu berubah menjadi sangat penting untukku.
Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada senyumnya yang lembut, pada matanya yang hangat dan penuh kasih sayang tiap kali dia menatapku. Aku jatuh cinta pada dirinya di sekian banyak malam yang kami habiskan hanya untuk mengobrol tentang hal-hal yang tidak penting, atau menertawakan lelucon-lelucon yang ia dapatkan dari rekan kerjanya di kapal.
Orang itu tidak menyisakan ruang sedikit pun di benakku untuk hal-hal lain. Senyumnya membuatku tak bisa bernafas dan jantungku berdegup dengan cepat ketika ia menggenggam erat tanganku lalu mengecup dahiku sebelum ia berangkat ke tempatnya bekerja. Bahkan pelukannya yang dulu menurutku menyebalkan kini membuatku melayang. Setiap kali dia melakukannya, aku tak ingin melepasnya, tak ingin dia menjauh dariku dan aku ingin selalu tenggelam dalam kehangatan yang memancar dari tubuhnya. Harum tubuhnya yang maskulin membuatku merasa nyaman dan membuatku rindu bila kami berjauhan.
Biar saja dia mengataiku manja dan seperti anak anjing yang kehilangan tuan. Aku tidak perduli. Aku hanya ingin terus dekat dengannya.
Lelaki itu tegas dan bijaksana. Ia melindungi seperti seorang ayah. Ia sahabat yang bisa kupercayai setulus hati, yang bisa kuajak berbicara tentang apapun, bahkan hal yang bodoh sekalipun. Ia juga seorang kekasih yang sangat baik. Yang bisa menenangkanku di kala resah, yang bisa merebut hatiku hanya dengan satu senyuman simpul. Yang memberiku perhatian serta memperlakukan diriku seolah-olah aku adalah miliknya yang paling berharga.
Dan yang paling penting, ia mencintaiku dengan tulus dan sepenuh hati. Semuanya bisa kurasakan dari setiap sentuhannya, ketika dia mencium bibirku dengan lembut, dan ketika kami melewati malam untuk berbagi kehangatan tubuh dan cinta.
Aku ingat pertama kalinya aku membiarkan ia menciumku lebih dalam. Dari situ aku baru mengetahui betapa besar selama ini dia menahan diri untuk tidak menyentuhku lebih jauh ketika bibirku dan bibirnya yang berbentuk hati menyatu. Semuanya terasa dalam ciumannya yang menuntut, dari sentuhannya yang mendesak, dan dari tubuhnya yang menempel erat denganku. Ia tidak memberiku ruang bahkan hanya untuk mengambil nafas.
Aku lelaki dewasa, bukan lagi remaja yang tidak tahu apa-apa tentang cinta. Tentu saja aku tahu ketika hasratnya yang tak terlatih menjadi tak terkontrol dan berusaha mengambil alih tubuhnya dari tekanan akal sehat. Baiklah, aku memang tidak berpengalaman dalam hubungan cinta dengan lelaki manapun sebelum dengannya, tapi bukan berarti aku tidak bisa merasakannya. Rasanya malu sekali, tapi aku juga tidak bisa menguasai diriku sendiri. Hasratku sama dengannya. Aku ingin memiliki lelaki itu sepenuhnya; tubuh dan hatinya.
Tetapi berlawanan dengan sebelumnya, ketika ia merengkuh tubuhku dan membaringkanku di ranjang, matanya yang sebelumnya berkabut nafsu menghangat dan sentuhannya yang liar melembut. Ia menghentikan setiap gerakan dan hanya berbaring menatapku. Bibirnya tertarik dan membentuk sebuah senyuman yang indahnya tak bisa kulukiskan dengan kata-kata.
Melihatnya dari jarak sedekat itu membuatku menyadari betapa lelaki itu begitu sempurna. Garis-garis wajahnya tegas, matanya berbinar, hidungnya mancung dan bibirnya penuh dan merah akibat ciuman. Lelaki itu memiliki bekas luka di bawah mata kirinya, membuatku bertanya-tanya ada cerita apa di masa lalunya yang menorehkan luka itu ketika aku menelusurinya dengan ujung jemari. Walaupu demikian, bekas luka itu tidak mengurangi keindahan yang berusaha aku patri di pelupuk mataku.
Jemariku menyentuh wajahnya, dagunya, tulang pipi, menelusuri batang hidungnya yang mancung, lalu bibirnya. Hatiku penuh dan otakku tiba-tiba menolak untuk berpikir, seolah-olah orang itu telah mengalihkan duniaku dan memaksaku untuk memusatkan hati dan pikiran hanya padanya. Ia meraih tanganku dan mengecupnya, memercikan kembang api yang hanya bisa kulihat lewat mata hatiku. Dan ketika ia kembali menyatukan bibir kami, rasa di dalam dada ini membuncah. Hatiku ingin meledak, dan ia membuatku tak bisa memikirkan apa-apa lagi selain dirinya, dan juga sentuhannya.
Pengalaman pertamaku… Malam itu aku mengizinkan dia untuk mencintaiku, mengizinkannya untuk memiliki diriku sepenuhnya. Orang itu, dengan sentuhannya yang panas dan matanya yang berkilat asmara merebut segalanya dariku. Nafas, pikiran dan hatiku dibuatnya melayang ke langit ke tujuh. Segala sensasi yang diberikannya ketika menjelajah tubuhku membuat tubuhku lemas, dan yang bisa kulakukan hanyalah bergantung padanya, menggenggam tangannya, memeluk erat tubuhnya dan menyerahkan segala milikku dalam kuasanya.
Aku tak merasa takut karena aku tahu aku bisa mempercayai orang itu. Dia yang sepanjang malam membisikkan kata-kata manis dan menenangkan di telingaku, yang selalu peduli akan keadaanku, meyakinkan aku bahwa orang ini tak akan pernah menyakitiku. Dan ketika pagi tiba, dan yang pertama kali menyapa pandanganku adalah wajahnya yang masih damai terbuai dalam mimpi, aku menyadari bahwa selamanya aku ingin terbangun dalam peluknya.
Bagiku, dia bukan lagi lelaki asing yang dulu aku selamatkan lalu berbagi rumah denganku. Dia adalah dia. Dia adalah sosok yang kuharapkan akan selalu berada di sisiku, yang akan kucintai dan mencintaiku sampai selama-lamanya. Dia hadir dan mengisi kekosongan dalam kehidupanku, seperti udara segar yang berhembus dan ingin terus kuhirup.
Lelaki itu memberiku kebahagiaan yang sejati. Yang bisa membuatku senang hanya dengan menghabiskan waktu dengannya. Tidak seperti aku yang dulu. Aku yang mengenal lelaki itu berubah menjadi seseorang yang tahu bagaimana menghargai dan menikmati setiap menit dalam hidup. Ia mengajariku untuk bermimpi, untuk menemukan tujuan hidup yang selama ini tak pernah terbayangkan. Dan dari dirinya aku mengetahui bahwa untuk menjadi bahagia adalah suatu pilihan. Setiap orang bisa memutuskan apakah ia ingin bahagia ataukah sebaliknya. Ada resiko dan konsekuensi dalam setiap pilihan, tapi keputusan dan determinasi masing-masing pribadi lah yang akan menentukan hasil akhirnya. Yang terpenting, dia mengajariku untuk mencintainya.
Bersama dengan orang itu, rasanya setiap hari hatiku penuh dengan berbagai macam perasaan. Tapi yang bisa kukatakan, aku benar-benar bahagia dengannya.
Tentu saja, hubungan kami tidak luput dari masalah. Pertengkaran pun sering terjadi akibat perbedaan yang kami miliki. Orang itu benar-benar keras kepala, sedangkan aku sangat menjaga ego dan harga diriku. Pertengkaran yang terjadi di antara kami selalu berakhir dengan kami yang tidak betah dengan keberadaan masing-masing dan memilih untuk saling menghindar. Biasanya lelaki itu akan memilih untuk tidur di sofa, dan aku akan mengunci pintu kamar kami dengan marah. Tapi hal itu memberi kami waktu untuk berpikir dan menyadari kesalahan kami masing-masing.
Ketika emosi telah mereda, dan yang ada hanyalah rasa cinta yang sangat dalam, kami memiliki cara masing-masing untuk menunjukkan betapa kami sangat menyesal atas pertengkaran yang terjadi di hari kemarin. Lelaki itu biasanya memetik bunga mawar di pekarangan rumah dan mempersembahkannya padaku sebagai tanda permohonan maaf. Sedangkan aku lebih memilih untuk memasakkan makanan kesukaannya sebagai tanda bahwa aku ingin kami berdamai. Lalu kami akan duduk berdampingan, bersama mencari solusi atas permasalahan yang kami hadapi dan selalu diakhiri dengan pelukan dan ciuman mesra.
Tapi aku egois. Aku membuatnya percaya bahwa akulah orang yang dicintainya, yang membuatnya melakukan apapun dengan rela semata demi kebahagiaanku. Hatiku sesak, terutama ketika perasaan bersalah yang berusaha kukubur dalam-dalam jauh di hatiku menyeruak keluar. Apalagi ketika lelaki itu termenung, matanya yang biasanya hidup itu redup karena putus asa tentang hal-hal yang tak bisa diingatnya. Wajah orang tuanya yang ia tahu sudah meninggal, atau seperti apa dirinya sebelum kecelakaan itu terjadi. Ia berandai-andai apa dulu kehidupannya lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan yang kami lalui saat ini. Ia juga menerka-nerka, orang-orang seperti apa yang dijadikan teman olehnya. Namun kemudian ia akan menepis segala pemikirannya, mengatakan padaku bahwa apa yang ia miliki bersamaku saat itu sudah lebih dari cukup, dan ia bersyukur karena memiliki aku dalam hidupnya. Terhadap pengakuannya, aku hanya bisa membuang muka, tak memiliki keberanian untuk menatap wajahnya yang tulus.
Aku merasa sangat buruk. Sangat, sangat buruk. Aku memang tidak tahu apa-apa mengenai orang itu sebelumnya, yang aku tahu adalah sosok lelaki amnesia yang telah menghabiskan sebagian lembaran baru dalam hidupnya bersamaku. Yang aku tidak tahu, di suatu tempat di luar sana, mungkin saja ada orang tua yang kehilangan anak, yang kehilangan saudara dan teman. Atau mungkin saja ada lelaki atau wanita yang kehilangan kekasih atau suami. Sedangkan aku di sini, merasa nyaman dengan kehidupan yang dibangun atas berbagai kebohongan yang terucap padanya.
Aku tak tahu sampai kapan aku bisa mempertahankan dirinya dalam hidupku. Apa yang akan terjadi apabila suatu saat ingatannya kembali dan ia tak lagi menginginkan aku di dalam kehidupannya. Mungkin aku akan hancur, apalagi setelah aku menyerahkan segalanya pada orang itu.
Namun, berhak kah diriku untuk merasa hancur atau untuk patah hati?
…
Seperti awal yang selalu ada akhir, begitu pula dengan kisah kami… Kebahagiaan yang kurasakan di hari-hari kemarin sedikit demi sedikit memudar seiring dengan dirinya yang semakin menjauh. Ucapan yang keluar dari mulutnya dingin, digantikan oleh bibirnya yang menipis sebagai tanda amarah yang tak bisa terungkap. Matanya tidak lagi hangat ketika menatapku, tergantikan oleh keraguan dan ketidakpastian. Keberadaannya begitu dekat namun terasa sangat jauh, seolah-olah sinar di matanya yang menerawang membuatku tak bisa lagi meraihnya, tak bisa lagi menyentuh hatinya.
Aku menduga-duga alasan apa yang menyebabkan ini terjadi… dan dugaanku terbukti.
Di musim dingin, dua tahun setelah kami tinggal bersama, lelaki itu, dengan wajah kosong tanpa emosi menyebutkan namanya. Nama aslinya. Bukan nama yang kukarang semata demi memuaskan rasa ingin tahu lelaki itu mengenai jati dirinya.
Perlahan demi perlahan, bibir itu mengungkapkan identitasnya sendiri; latar belakangnya, dari mana ia berasal dan tujuannya datang ke Pulau Jeju dua tahun yang lalu.
Tubuhku membeku dan lidahku kelu. Semuanya terasa berhenti berputar, dan yang bisa kudengar hanyalah suaranya yang sedingin es, yang mengungkapkan fakta tentang dirinya hanya dalam satu tarikan nafas. Satu detak jantung berdentum dalam dada, lalu tanpa bisa kukendalikan benda itu berdenyut semakin cepat dan nafasku tercekat, seolah aku tak tahu lagi bagaimana caranya bernafas.
“Siapa kau?”
“Mengapa menipuku?”
“Apa yang kau inginkan dariku?”
Pertanyaan bertubi-tubi terlontar dari mulutnya dan perasaan takut di hatiku semakin memuncak seiring dengan kehadirannya yang semakin mengintimidasi. Otak yang ada di kepalaku bekerja keras untuk memroses situasi itu dan berusaha menemukan beribu alasan yang dapat menyelamatkanku dari mata lelaki itu yang menusuk. Tapi semuanya percuma, penyesalan dan fakta tentang aku yang tak bisa memungkiri kesalahan yang telah kulakukan pada orang itu memaksaku mengunci mulutku.
Detik demi detik berlalu dan masih tak ada kata yang keluar dari mulutku. Aku hanya bisa membuang muka, menatap liar segala sudut yang ada di rumah itu seakan mencari celah di mana aku bisa menjejalkan tubuhku dan menghilang dari dunia.
Saat itu aku tak tahu sampai kapan ia akan membiarkan kebisuanku berlanjut dan tetap menyerahkan dunia di antara kami pada keheningan yang mencekam. Aku hanya bisa menunggunya mengungkapkan kekecewaan yang jelas tergambar di wajahnya, juga menunggunya untuk melampiaskan amarah yang kutahu sudah berada tepat di ujung lidah.
Aku mengharapkan sesuatu. Tuduhan, kata-kata benci. Apapun. Tapi tak ada yang terjadi. Lelaki itu hanya memalingkan tubuhnya yang semampai, menghela nafas dan menghembuskannya dengan kasar seolah lelah dengan semua yang terjadi. Ia lalu pergi, meninggalkan aku yang terpaku di dalam ruangan itu tanpa bisa berbuat sesuatu untuk mencegahnya.
Lututku tiba-tiba melemah, tak sanggup lagi menahan beban tubuhku yang telah kehilangan tenaga. Aku terjatuh di atas lantai yang dingin, tanganku mencengkeram dada yang semakin sesak oleh perasaan takut yang menghimpit. Air mata lalu jatuh tak terkendali, mengaburkan pandanganku yang berusaha mempertahankan sosoknya yang semakin menghilang di kegelapan.
Malam itu aku menunggunya, melawan udara dingin yang menusuk tulang sambil berdoa semoga ia cepat kembali agar aku bisa menjelaskan segalanya, bertekad bahwa segala yang aku ungkapkan kali ini merupakan kejujuran. Tapi malam itu ia tak kembali, dan aku pun kalah pada tubuhku yang semakin lelah hingga aku menyerahkan diriku pada tidur yang tak nyenyak.
Keesokan harinya, aku terbangun dengan kepala yang bagaikan tertusuk oleh ribuan jarum. Aku mengintip ke luar kamar, dan yang aku temukan hanyalah hening. Tak ada tanda-tanda bahwa lelaki itu kembali ke rumah kami. Hatiku tak karuan, takut ia pergi tanpa mengatakan sesuatu.
Aku tahu aku tak berhak untuk meminta apapun darinya, bahkan kata selamat tinggal pun tidak. Tapi aku hanya berharap, paling tidak, dua tahun yang kami lalui bersama memiliki arti bagi lelaki itu, yang kembali berubah menjadi orang asing hanya dalam waktu semalam.
Berjam-jam aku duduk di meja dapur, dengan kepala tertelungkup dan mata yang sembab karena air mata, menunggu lelaki itu tanpa kepastian apapun. Tapi menjelang tengah hari, lelaki itu kembali.
Aku melihatnya masuk dari pintu depan lalu beranjak dan menyongsongnya, berharap aku bisa memperbaiki segalanya. Keadaannya sama buruk dan kacaunya denganku, tapi lelaki itu menjaga wajahnya tetap bebas dari ekspresi apapun, membuatku sulit menebak apa yang ada di kepalanya. Aku mencoba membuka suara, namun percuma. Lelaki itu, bahkan memandangku saja sudah tak mau. Ia berlalu begitu saja menuju kamar kami dan mengunci pintu dari dalam. Walaupun aku mengetuk pintu berulang kali dan suaraku serak memanggilnya, ia tak bergeming.
Apa yang akan terjadi setelah ini?
Berbagai pikiran dan kemungkinan terburuk mengenai apa yang akan terjadi singgah di kepalaku, namun tak ada satupun yang bisa mempersiapkan hatiku untuk menghadapi situasi itu.
Tapi aku menyadari aku masih memiliki pilihan terakhir. Dan menurutku menyerah pada keadaan adalah pilihan yang terbaik. Aku telah sampai pada kondisi yang mana aku sudah tak ingin lagi menjelaskan diriku sendiri, tak ingin lagi menciptakan berbagai macam alasan yang aku tahu tak akan bisa mengembalikan keadaan seperti semula.
Bagi orang itu, menipunya mungkin merupakan kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Tapi bagiku, aku tak menyesalinya. Aku memang egois, kuakui hal itu. Karena kebohongan itulah yang membuatnya hadir di dalam kehidupanku. Ia mengusir sepi dan kesendirianku, mengubahku menjadi orang yang lebih bisa bersyukur atas apa yang kumiliki.
Mungkin kenyataan itu pula yang menguatkan hatiku ketika lelaki itu muncul dari kamar dengan sudah berpakaian lengkap dan rapi. Ia mengenakan setelan jas hitamnya yang dulu ia kenakan saat kecelakaan itu terjadi. Aku tak tahu, mungkin aku sudah mengira bahwa suatu saat hari itu akan tiba, dan setelan jas ini akan kembali berguna hingga aku menyimpan dan menjaga miliknya itu dengan baik.
Ia berdiri tepat di hadapanku, dengan sosoknya yang sesempurna biasanya. Dan ketika menatap matanya, aku berdoa supaya aku bisa menemukan diriku yang dicintainya di sana, sebagai harapan terakhir agar aku tahu bahwa segala yang terjadi selama dua tahun di antara kami bukan hanya mimpi. Tapi tidak. Yang tercermin dari bola mata lelaki itu adalah sesosok pemuda yang tak dikenalnya. Sesosok pemuda yang tidak jelas asal-usulnya dan berani mengaku sebagai kekasihnya.
Kupejamkan mata dan kuhirup udara dalam-dalam. Saatnya telah tiba.
Aku tahu dalam beberapa menit ke depan lelaki itu, yang kucintai sepenuh hati, akan melangkah keluar bukan hanya dari rumahku, tapi juga dari kehidupanku. Ia akan menghilang selamanya, bahkan ia tak akan meninggalkan bayangannya untuk kupeluk.
Oleh karena itu, aku memutuskan bahwa akulah yang akan mengucapkan selamat tinggal. Akulah yang mengawali segalanya, dan aku pula yang harus mengakhirinya.
Dengan setitik keberanian terakhir yang kumiliki, aku memeluknya. Tubuh lelaki itu mendadak kaku dan tegang, tapi aku tak memedulikannya. Ia juga tak berusaha melepaskan diri. Aku menghirup aroma maskulinnya dalam-dalam dan mencoba untuk mematrinya dalam hatiku. Supaya nanti, ketika rindu semakin menjadi, aku bisa memutar kembali kaset memori di otakku dan mengingat segala hal tentangnya. Supaya nanti, aku bisa meyakinkan diriku bahwa orang itu nyata, dan walaupun sekejap, orang itu pernah hadir dalam hidupku dan membuatnya indah.
Terakhir kali pula kukatakan bahwa aku mencintainya. Status kami pada awalnya memang kebohonganku semata, tapi rasa di hatiku tentangnya saat itu bukanlah tipuan. Segala tentang hidupku pun telah diketahuinya. Tak ada lagi yang kusembunyikan.
Tuhan tahu betapa inginnya aku menciumnya dan memohon agar ia tidak meninggalkanku, tapi hal itu tak mungkin kulakukan. Yang bisa kulakukan adalah melepasnya. Merelakannya untuk kembali pada kehidupannya yang sesungguhnya, bersama keluarga dan orang-orang yang dicintainya.
Ketika aku melepasnya dan menciptakan jarak di antara tubuh kami, lelaki itu membuka dan menutup mulutnya, berusaha mengatakan sesuatu. Namun akhirnya tak jua ada kata yang terucap.
Aku menggelengkan kepala. Kulakukan itu bukan sebagai sebuah tanda kekecewaan, tapi aku hanya ingin dia mengerti, bahwa aku tak butuh apa-apa lagi.
Aku menerima keadaan ini, dan aku membiarkannya berlalu dengan satu kata maaf…dan terima kasih untuk segalanya.
Di hari itu, musim dingin di Pulau Jeju rasanya tak sedingin hatiku. Rumah yang selama dua tahun ini penuh dengan canda tawa kami berdua tiba-tiba kosong dan penuh keheningan. Seolah-olah kehadirannya kemarin hanya sebuah mimpi yang lenyap ketika pagi tiba. Seakan cinta yang kami bangun hanyalah setitik debu yang berlalu bersama angin, dan jejaknya terhapus oleh air hujan.
Aku kembali ke kehidupanku yang dulu. Hidup hanya sekedar hidup. Suram, gelap, namun tak ada keinginanku untuk menyalakan cahaya. Menyambut sinar mentari pagi pun rasanya enggan.
Baru satu bulan setelah lelaki itu pergi, tapi rindu rasanya sudah sampai di ubun-ubun. Berulang kali kukatakan pada diriku sendiri bahwa aku tak pantas merindu, tapi hati ini mengkhianatiku. Segala hal mengingatkanku tentang dirinya. Rumah, kios bunga, pelabuhan, coffee shop langganan kami, makanan kesukaannya, hal-hal yang sering dilakukannya, bahkan hanya sekilas pandangan pada mereka yang mengenalnya menambah rindu ini hingga tak tertahankan.
Sejujurnya, melupakannya menjadi suatu pilihan yang mudah bagiku dan aku bisa saja terbangun keesokan hari dan memutuskan untuk tidak peduli pada orang yang telah hadir di satu masa perjalanan hidupku lalu lenyap begitu saja dengan separuh hatiku yang dibawanya pergi, tapi aku menyadari itu sama saja aku membohongi perasaanku sendiri. Aku tak bisa menghilangkan jejak yang ditinggalkannya dalam hatiku. Sama seperti tinta permanen yang sulit dihapus, lelaki itu akan terus berada dalam halaman-halaman memori yang akan kusimpan sepanjang waktu.
Walau kami berdua kini telah kembali menjadi dua orang asing, yang menjalani masa depan kami masing-masing dengan jalan yang berbeda pula, Tuhan sepertinya punya rencana yang lebih besar untukku. Dia membawa lelaki itu padaku, menghadirkannya dalam hidupku bukan agar aku bisa menyelamatkan hidupnya di hari kecelakaan itu terjadi. Tapi sesungguhnya, lelaki itulah yang telah menyelamatkanku. Ia memberikan segalanya. Ia membantuku menemukan mimpi serta alasan untuk bertahan dan merenda masa depan. Karenanya lah kini aku bisa tersenyum dan menghadapi hari yang baru dengan semangat yang lebih besar dibandingkan dengan hari kemarin. Ia memberikan harta berharga yang tak akan bisa ditukar oleh emas dan permata mana pun di dunia ini.
Putera kecilku.
Tiga bulan setelah lelaki itu pergi, aku mengetahui bahwa Tuhan telah menitipkan satu kehidupan lain di dalam tubuhku. Ia buah cintaku dan orang itu. Hartaku yang paling berharga.
Kuakui hari-hari yang kulalui setelah itu tidaklah mudah. Dengan kondisi mengandung aku bekerja dan hidup sendirian, tapi semuanya kulalui dengan hati yang bahagia. Karena di penghujung hari, aku akan terlelap dengan harapan bahwa hari akan cepat berganti dan waktuku untuk menyambut kedatangan bayiku akan segera tiba.
Aku juga dibantu oleh seseorang. Ia pelanggan kios bungaku; Seorang perawat di rumah sakit terdekat yang sangat bersimpati pada seorang pemuda yang hidup sendiri dan tengah mengandung. Dia wanita yang sangat cerewet, tapi ia juga teman yang baik. Setiap hari ia memastikan bahwa aku makan teratur, meminum vitaminku sesuai dengan anjuran dokter, dan selalu menyuruhku agar tidak bekerja terlalu keras demi kesehatanku dan bayiku. Mungkin karena ia adalah seorang perawat makanya ia tidak main-main dengan hal seperti itu. Terkadang apabila ia punya waktu, ia juga menemaniku ke dokter untuk memeriksa kandunganku. Ia hadir di masa-masa tersulitku dan aku bersyukur karena ia ada dalam hidupku.
Puteraku yang manis kini telah menginjak usia dua tahun. Ia memiliki mataku, tapi hidung dan bibirnya sangat mirip dengan orang itu. Setiap kali aku melihatnya, aku merasa seperti bermimpi. Dulu aku remaja yang manja dan sangat bergantung pada cinta orang tuaku, tapi kini lihat aku, aku memiliki puteraku sendiri.
Dulu, karena terlalu terbiasa dengan kesendirian, aku tak pernah membayangkan bagaimana kehidupanku dengan sebuah keluarga yang kubangun sendiri. Bahkan memikirkan memiliki anak yang kukandung dari rahimku sendiri rasanya merupakan sesuatu yang absurd. Aku pun masih terlalu muda. Kebanyakan lelaki seusiaku di luar sana sibuk mengejar mimpi dan cita-cita, bukan seperti aku yang harus bekerja siang dan malam demi membesarkan seorang anak. Tapi toh aku tak pernah menyesali nasibku yang tak bisa seperti mereka. Justru aku sangat menikmati dan menghargai setiap detik yang kulalui bersama dengan puteraku. Tak ada yang bisa melukiskan bagaimana perasaanku ketika menatap puteraku dan ia tersenyum begitu cerah padaku. Yang jelas perasaan itu sangat mengagumkan.
Ketika melihat puteraku, kadang aku bertanya-tanya, bagaimana dengan lelaki itu? Apakah kehidupannya saat ini sama baiknya denganku? Sudahkah ia menikah?
Sesungguhnya, aku tak tahu apakah cinta lelaki itu dahulu benar-benar sebentuk perasaan tulus yang datang dari hatinya, ataukah manifestasi dari kebohonganku yang memaksanya untuk mencintaiku. Namun aku meyakini puteraku lahir bukan atas kesalahan siapa pun dan bukan tanpa dasar cinta. Paling tidak, ia lahir karena aku mencintai lelaki itu.
Ada perasaan sedih di dalam hatiku bilamana aku menatap puteraku dan mengingat bahwa seumur hidupnya ia tak akan pernah mengetahui siapa ayahnya. Bahwa aku, satu-satunya orang tua yang dimilikinya tak bisa mengatakan sejujurnya mengapa ia terlahir hanya dengan satu orang tua, dan ayahnya tak mengetahui kehadirannya di dunia ini.
Tapi tak apa. Aku meyakini bahwa aku bisa menjadi orang tua yang terbaik untuknya. Kehidupan kami saat ini sudah cukup baik dan aku akan memastikan bahwa ia akan mendapatkan yang terbaik pula untuk masa depannya.
Hingga detik ini, aku masih mencintai lelaki itu. Bodoh memang, tapi rasa ini tak bisa kupungkiri begitu saja. Aku yang membuka pintu hati untuknya tak sanggup untuk menutupnya kembali. Aku dengan jujur tak mengharapkan ia kembali, tapi aku juga tak menyesali kedatangannya di hidupku. Ada tidaknya aku dalam ingatannya, aku hanya berharap, seperti aku yang bahagia dengan putera kami, semoga ia pun akan menemukan kehidupan yang ideal baginya dan bahagia bersama orang-orang yang dicintainya.
Perpisahan benar merupakan akhir dari kisahku dengannya, tapi kisah kami masing-masing tak akan berhenti hanya sampai di sini.
Kau, lelaki yang memiliki senyum secerah matahari, walau singkat, terima kasih karena pernah singgah dalam hidupku.
------------------
Dear C, maafkan aku yang telah membaca buku harianmu dan mengunggahnya dalam blog milikku ini tanpa seizinmu (Salahmu meninggalkannya begitu saja di atas meja kios bungamu!). Kau orang yang sangat tertutup, dan selama ini aku pun tak sampai hati memaksamu untuk bercerita mengenai kisahmu sebelum kau mengandung dan melahirkan puteramu. Ugh, kalau kau membaca ini, kau pasti akan membunuhku dan untuk itu aku siap menghadapi amarahmu yang seperti guntur menggelegar itu. Hahaha!
Baiklah ini bukan waktunya untuk bercanda. Yang penting maafkan aku, oke? Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku sangat menyayangimu. Apapun yang terjadi, kau harus tahu bahwa kau bisa mengandalkanku dan aku akan selalu ada di sampingmu, sebagai sahabat, sebagai saudara. Kau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, oleh karena itu jangan ragu-ragu untuk meminta apapun dariku.
p.s: berhenti menghina tinggi badanku, dan jangan ajari keponakan kecilku yang lucu untuk memanggilku Ahjumma!
~~~******~~~
“O-omooo Oppa, kenapa kau menangis?”
“J-Jihye, dari mana kau dapatkan ini?”
“Seohyun yang menemukan blog ini dan menyuruhku membacanya. Katakan padaku, ada apa, Oppa?”
“A-aku harus pergi…”
“O-oppa! Yah, Yunho oppa! Aish, dia pergi begitu saja…”
================================
Kuharap kalian semua menikmatinya... ^^