title: shinjuu
chap: 3
author:
kiyora_ruki band: the GazettE
pairs: ReitaxRuki, ReitaxOFC
rating: PG-13
genre: romance/angst/suicide
summary: Dan mugkin tanpa kusadari aku pun mulai menyukainya sejak saat itu
disclaimer: Inspirasi dari beberapa fic temen tentang suicide, wkwkwkwk *author miskin inspirasi ==*, tugas cerpen tentang shinjuu (double love suicide, red). *hhhh padahal dah bener-bener gak mau diinget-inget lagi ==*
author’s note: sayangnya mereka punya diri mereka dan keluarganya masing-masing nyoo~~~ =o=". Akhirnya kiyo berhasil ngelanjutin fic ke-dua yang surem ini, yang nulis masih dodol soal beginian hihii, jadi maaf yak ceritanye jadi ngalor-ngidul. Wkwkwkwk xD
+++++
“Kepalamu masih sakit??”
“Tidak, aku baik-baik saja” Ia pun kembali memperlihatkan senyum termanisnya padaku seakan membuktikan dirinya sudah lebih baik dari beberapa saat yang lalu. Akhirnya ia pun meminum obat yang aku berikan padanya. Wajahnya pun kembali berseri lagi seperti biasa, ia pun sepertinya tidak ingin membuatku terus menghawatirkannya.
“Aku merindukanmu”. Bisiknya dengan suara lembut di daun telingaku.
“Aku juga, sudah seminggu tidak bertemu denganmu”. Skorsing yang kami terima dari pihak sekolah membuat kami mendapat masalah di rumah. Ayah yang marah dengan hubungan kami lalu menyuruhku untuk tinggal di rumah bibi agar aku terpisah dari Ruki, semenjak kejadian itu ibu pun sepertinya sudah tidak mau lagi melihat wajah kami berdua, ia sama sekali tidak mau berbicara denganku dan Ruki. Mereka benar-benar tidak menyukai hubungan kami berdua, walau kami bukan saudara kandung tapi tetap saja hubungan yang tabu seperti ini tidaklah wajar bagi mereka. Semenjak saat itu aku tidak pernah bertemu Ruki lagi, seminggu masa skorsingku pun kuhabiskan dengan berdiam diri di kediaman bibiku. Aku sangat merindukannya. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku benar-benar merindukan makhluk manisku ini.
“Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu, Ru”. Kukecup bibirnya sekali lagi, kusentuh hangan bibir merahnya dan kedekap erat tubuhnya, aku benar-benar tidak ingin kehilangan dirinya lagi.
“Sekarang tampaknya kita bisa terus bersama, Rei”. Ruki berkata dalam dekapan erat tubuhku.
“Hei Ru, berjanjilah kau harus mengenaliku walau nanti tubuhku sudah hancur berkeping-keping”
“Hmmm… aku akan tidak akan pernah lupa dengan nosebandmu itu, Rei.”
“Hahaha”
“Jadi, kau sudah siap??”. Ia melihat kedua mataku dan menunggu jawabanku dengan senyum yang masih merekah di bibirnya.
“Ya, mari kita lakukan”
Ruki pun mengenggam tanganku dengan erat, dengan tatapan penuh keyakinan ia mengajakku berjalan menuju pinggiran atap. Tanpa ragu aku pun mengikuti langkahnya. Ya ini sudah saatnya kami melakukan hal itu.
Setelah mendekati pembatas atap, dengan saling berpegangan tangan kami berdua menaiki pembatas atap tersebut. Sekarang kami berdua sudah berada tepat di pinggir atap, tapi anehnya aku yang takut ketinggian ini merasa tidak takut dengan pemandangan mengerikan dari puncak atap ini, padahal kalau kami lengah sedikit saja dan kehilangan keseimbangan tubuh kami berdua akan langsung jatuh dan hancur seketika saat menyentuh atap.
Hal yang paling kutakuti pun sudah tidak lagi menjadi penghalangku saat ini, aku benar-benar ingin terus bersamanya apapun caranya. Sejenak kuhirup udara tengah malam yang menusuk tulangku, kucoba mengingat berbagai macam kenanganku dengan makhluk manisku ini, aku terhanyut pada kenangan saat-saat bersamanya yang tidak akan pernah aku lupakan.
+++++
Entah sejak kapan perasaanku padanya ini muncul. Sejak awal aku mengenalnya hanya sebagai teman sekelasku biasa saja, dulu bahkan aku sama sekali tidak pernah mengobrol dengannya selain mengucapkan salam biasa. Ruki pun jarang terlihat berbaur dengan siswa lain, meskipun ia merupakan murid terpintar di angkatan kami, tapi dia kurang populer karena ia termasuk murid yang jarang bersosialisasi dengan murid lainnya. Namun tak berapa lama setelah semester genap di tahun pertama kami dimulai, kedua orang tua kami memutuskan untuk menikah, kami berdua pun tinggal dalam satu rumah dan menjadi satu keluarga. Nama keluargaku pun berubah mengikuti marga ayahnya.
Selama tinggal satu atap, aku pun mulai melihat sosok lain dari kepribadian Ruki yang tertutup. Penampilannya di rumah sangat berbeda, ia terlihat lebih tampan tanpa menggunakan kacamata tebal.
“Hei Ru, kau lebih tampan tanpa kacamata. Kenapa kau terus memakai kacamata di sokolah??”
“Hah… Oh minus mataku sudah parah kak, mataku juga sering perih kalau memakai softlense terlalu lama, jadi aku lebih suka pakai kacamata”. Tidak butuh waktu yang lama bagi kami untuk saling akrab, karena usianya lebih muda setahun dariku ia pun memanggilku dengan sebutan kakak.
Kebiasaan Ruki setiap malam adalah menceritakan tentang segala hal yang tejadi di tempat kerja part timenya di kamarku, hampir setiap malam ia bercerita bahkan ia pun sering tak sengaja tertidur di kasurku saat sedang asyik bercerita denganku.
“Hhhh…. hari ini aku benar kesal dengan manajerku, that’s fuckin ouji. Hari ini ia sukses membuatku terlihat konyol di depan para tamu lagi”
“Heee…. ada apa?? Pak tua itu melakukan sekuhara lagi padamu??”
“Tentu saja tidak, awas saja kalau dia berani melakukan itu lagi, aku akan menebas lehernya. Paman itu lagi-lagi dengan sengaja mengganti menu pesanan tamu tanpa memberitahuku, aku benar-benar merasa malu karena berkali-kali melakukan kesalahan. Dia benar-benar senang menggangguku”
“Hahaha… makanya kau harus sedikit berolah raga Ru, tubuhmu saja kecil begitu. Kalau kau macho sepertiku, aku yakin Pak tua itu nanti akan kehilangan selera pedofilnya untuk mengerjaimu”
“Enak saja, begini-begini aku sudah belajar kendo sejak kecil kak. Kakak tidak percaya??”. Katanya sambil mengayunkan tongkat baseball di kamarku.
“Hahahahaha… tapi kau harus hati-hati, orang dewasa tidak sebodoh seperti yang kita bayangkan” Aku hanya bisa tertawa sambil mengacak-acak rambut pirangnya, ia pun hanya bisa mengeluh dengan sambil merapikan rambutnya.
Ia sering menceritakan banyak hal yang terjadi di tempat kerjanya padaku setiap pulang kerja. Mulai dari Okada-shi sang manajer restoran yang selalu jahil padanya, sang bos seorang wanita paruh baya yang sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri, lalu susahnya menghafal menu baru dalam bahasa Perancis. Ruki bekerja di sebuah restoran Perancis mewah di kawasan cukup elit di kawasan Ropponggi. Cukup mengejutkan mendengar salah murid SMA culun sepertinya yang cerewet ini bisa menjadi waitress di restoran cukup elit itu. Namun setelah sekali berkunjung ke restoran itu, aku baru sadar bahwa Ruki merupakan anak yang sangat pintar, ia sangat terampil dalam menyapa para tamu, aku benar-benar kagum dengan perubahan sikapnya jika sedang bekerja.
Walau merasa cukup terganggu dengan berbagai macam celotehnya yang ia katakan setiap larut malam, namun aku selalu ingin mendengar ceritanya, sudah lama aku tidak mempunyai keluarga lengkap seperti ini, dan sudah lama pula tidak ada orang yang menemaniku berbicara di rumah semenjak ibuku sibuk dengan pekerjaannya. Aku senang berada di keluarga ini, dan aku sangat senang Ruki menjadi bagian dari keluargaku.
Namun semakin aku dekat dengannya, aku merasakan ada sesuatu yang aneh padaku. Saat melihat dan mendengar suaranya aku mulai merasa jantungku berdegup dengan lebih cepat tidak seperti biasanya. Kadang aku merasa sangat kesepian saat ia sedang tidak berada di rumah karena sibuk bekerja, aku pun merasa sangat bahagia saat bertemu dengannya. Aku bukanlah tipe pecinta sesama jenis, saat ini pun aku mempunyai seorang kekasih normal, yaitu seorang wanita. Tidak pernah terlintas sedikitpun rasa tertarik terhadap sesama pria. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari Ruki, ia memiliki suatu hal yang tidak kutemukan dari Ayano, tapi aku tidak mengerti apakah itu.
Pernah suatu hari saat ia tidak sengaja ketiduran di kamarku saat kami sedang asyik bercerita, tiba-tiba saja aku merasa saat itu adalah saat yang tepat untuk memastikan suatu hal yang kuragukan itu. Aku mencoba mendekatinya dan memperhatikan wajahnya untuk, ya Tuhan ia manis sekali, dan lagi-lagi dengan tiba-tiba terbesit keinginan untuk mencium keningnya. Kukecup keningnya untuk memastikan tentang hal yang ingin aku pastikan. Namun setelah itu aku tidak merasakan sesuatu, aku yakin debaran jantung ini hanyalah rasa kagum terhadap dirinya saja, bukan perasaan aneh yang kutakutkan itu.
Tapi keesokan harinya, aku dikejutkan dengan perkataan yang keluar tepat saat kami pergi sekolah bersama-sama.
“Hei, kak tolong bawakan tasku” katanya sambil menyodorkan tas sekolahnya padaku.
“Hah, enak saja kau bawa saja sendiri”
“Hhhhh…. kakak masih punya hutang padaku, lho”
“Haa.. memangnya aku pernah berhutang apa padamu??”
“Jadi kakak ingat yang kakak lakukan semalam??”
“Memangnya apa yang kulakukan??”
“Ini” katanya sambil menunjuk keningnya dengan telunjuk.
“A…. apa… jadi kau terbangun???”
“Tentu saja. Jadi bagaimana??”
“Apanya?? Aku tidak bermaksud apa-apa. Jadi kau jangan berpikiran macam-macam”
“Hah aku tidak berpikiran macam-macam, ayah juga sering mengecup keningku seperti itu. Atau kakak yang memang berpikiran macam-macam ya??”
“Heee…. Enak saja. Yasudah sini aku bawakan tasmu”
“Nah, begitu donk” Ia pun tersenyum puas, lalu menyerahkan tasnya ke tanganku, hari itu akupun membawakan tasnya sampai ia kami tiba di kelas.
“Terima kasih kak, aku sayang kakak”. Bisiknya pelan di telingaku, mukaku langsung memerah setelah mendengar ejekannya yang tidak lucu itu, ia pun hanya tertawa-tawa sambil membetulkan letak kacamatanya, lalu berjalan menuju bangkunya. Sial dia benar-benar my little bastard brother, setelah kejadian itu aku jadi sering sekali dikerjai Ruki di rumah. Tapi entah kenapa aku tidak merasa kesal dengan sikapnya itu. Aku senang ia tidak terlalu menganggap serius terhadap hal aneh yang kulakukan. Aku senang dengan sikapnya yang selalu optimis memandang segala hal. Aku senang melihat senyumannya. Dan mugkin tanpa kusadari aku pun mulai menyukainya sejak saat itu.
+++++
Tapi akhir-akhir ini aku merasa bahwa dia tidak baik-baik saja, aku heran dengan kondisi badan Ruki yang lemah dan sering sakit-sakitan, ia menjadi lebih pendiam dan ia pun sudah jarang menceritakan tentang pekerjaannya kepadaku. Pernah pada suatu ia mengalami sebuah kejadian yang membuat hidupnya berubah dan hal itu pun telah membuatku tersadar akan perasaanku padanya yang sebenarnya. Kejadian itu terjadi tepat saat ayah dan Ibu sedang pergi berlibur ke Sapporo, hari itu aku pun ada janji kencan dengan Ayano untuk menemaninya membelikan kado ulang tahun sahabatnya. Lalu saat sedang mengantarnya berbelanja di Shibuya, tiba-tiba saja aku mendapat telepon dari Ruki.
‘Kak, kau bisa tidak menjemputku malam ini??’
‘Hee… Tumben kau minta dijemput. Suaramu terdengar lesu sekali, ada apa Ru??’
‘Hhhh… tidak apa-apa, aku hanya sedikit pusing saja. aku malas sekali kalau naik kereta malam’
‘Hei Ru, kau tidak sedang sakit kan?? Akhir-akhir ini kau bilang kau tidak enak badan. Kau pun sudah jarang bercerita tentang pekerjaanmu. Apa kau punya masalah??’
‘Tidak, tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja. Mungkin karena terlalu lelah bekerja saja, jadi tidak perlu khawatir. Jadi kakak bisa menjemputku tidak??’
‘Hmm… bagaimana ya. Aku sedang menemani Ayano berbelanja’
‘Ohhh…. Wah kalau gitu sih aku jadi ganggu kalian’
‘Haha aku dan Ayano hanya pergi berbelanja, lagipula sebentar lagi kami mau pulang, kau tunggu saja dulu sebentar Ru, aku akan menjemputmu nanti malam’
‘Tidak usah, aku tidak enak dengan Miyashita, kakak tidak usah menjemputku. Biar aku pulang sendiri saja’
‘Benar tidak apa-apa??’
‘Iya, kakak tenang saja’
‘Yasudah, kau harus hati-hati’
‘Iya’. Ia pun kemudian menutup teleponnya dan aku pun kembali ke tempat Ayano menungguku di dalam parfait café di perempatan jalan Omotesando.
Saat itu suara Ruki terdengar baik-baik saja walau terdengar sedikit lemah. Meskipun cukup khawatir, tapi aku tidak terlalu menganggap serius terhadap penyakit sakit kepala rutin yang ia derita. Tidak pernah terpikirkan sedikitpun olehku bahwa setelah itu ia mengalami hal yang membuatnya hampir saja kehilangan nyawanya.
Tak lama setelah membuka pintu rumahku, ponsel dikantong celanaku bergetar. Tidak tertera nama dari panggilan tersebut, aku pun segera menerima telepon dari polisi yang mengabarkan Ruki mengalami koma karena kecelakaan lalu lintas tepat saat sedang menyebrang jalan.
“YA TUHAN, RUKI!!!!”. Tanpa pikir panjang, akupun segera menuju Rumah Sakit tempat ia berada. Dengan tergesa-gesa aku memacu kencang motorku, saat itu aku benar-benar merasa bersalah, aku tahu dia sedang sakit tapi mengapa aku membiarkannya pulang sendirian. Kenapa aku selalu tidak peka terhadap kondisi orang lain. Ruki menelponku untuk meminta dijemput saat itu pasti ada alasannya, seharusnya aku menyadari hal tersebut. Tapi ternyata aku tidak menyadarinya, kenapa aku ini sangat bodoh??
Begitu sampai di rumah sakit, aku melihat tubuhnya terbaring di ruang operasi rumah sakit tersebut. Saat ini tidak ada yang bisa kulakukan, aku hanya bisa menunggu para dokter itu menyelamatkan nyawa adik kesayanganku sambil menahan tangisan rasa bersalahku. Lalu setelah menunggu selama dua jam, seorang dokter keluar dari ruangan tersebut dan berjalan ke arahku.
“Kau keluarga dari Matsumoto Takanori??”
“Iya benar, aku kakaknya Akira. Bagaimana kondisinya, dok??”
“Hm… dia tidak apa-apa. Ia hanya mengalami gegar otak ringan. Walaupun kepalanya mengeluarkan banyak darah, tapi luka akibat kecelakaan itu tidak terlalu parah”
“Hhhh… syukurlah. Berarti ia tidak apa-apa”
“Tapi… ada luka lain di tubuhnya yang membuatnya harus berada lebih lama disini”
“Maksud dokter???”
“Kami telah memeriksa beberapa luka lain di tubuhnya, juga telah menerima hasil visum dari laboratorium”
“Visum?? Apa maksud anda??”
“Selain luka di bagian kepalanya, kami jugat elah ditemukan beberapa luka di berbagai bagian tubuhnya dan sepertinya kami menduga ia baru saja mengalami kekerasan seksual”
“A…. APA???!!!!!”
+++++
Setelah kejadian itu Ruki mengalami perawatan yang cukup lama di Rumah Sakit. Ayah dan Ibu pun langsung kembali ke Tokyo setelah mendengar keadaan Ruki. Luka akibat kecelakaan itu memang tidak parah, tapi kondisi kejiwaannya menjadi sangat labil akibat kekerasan yang baru saja ia alami. Ruki mengalami trauma yang berkepanjangan, sejak saat itu ia benar-benar tidak pernah mau bicara dengan siapapun. Ibuku hanya bisa menangis jika melihat kondisinya saat itu. Ruki sudah seperti mayat hidup. Walau telah berkali-kali diajak berbicara oleh siapa pun, ia tidak pernah membuka mulutnya untuk menceritakan kejadian buruk yang dialaminya. Kami benar-benar tidak tahu bagaimana caranya membuat Ruki kembali seperti dulu, bagaimana cara mengembalikan senyumannya yang telah menghilang itu.
Ingin sekali aku memeluk erat tubuhnya, aku ingin memberinya rasa aman, aku ingin mengatakan bahwa saat ini ia sudah aman agar tidak ada lagi hal yang perlu ia takutkan. Namun ia tidak pernah membiarkan orang lain menyentuhnya, ia pun tidak pernah menyentuh obat yang diberikan oleh dokter.
“Kau sudah minum obat??”
“…………………”. Seperti biasa, setiap malam aku menanyai hal yang sama tersebut berulang-ulang dan tidak ia tanggapi, begitu pula dengan malam ini. Sudah tepat dua minggu setelah dokter memperbolehkannya keluar dari rumah sakit, namun kondisinya tetap tidak berubah. Ruki tetap tidak mau berbicara, ia seakan ingin menyimpan rapat-rapat kenangan buruknya tersebut di dalam hatinya saja.
“Hm… pasti belum. Tunggu sebentar, aku ambilkan ya”. Namun tiba-tiba aku tersentak dengan hal yang ia lakukan ketika tiba-tiba ia menarik t-shirt yang aku kenakan. “Ada apa, Ru??”
“…………………”. Ia tetap tidak berbicara sepatah katapun. Aku benar-benar sudah tidak tahan melihat kondisinya. Kupeluk erat tubuhnya yang kecil itu dengan hangat, saat ini aku benar-benar ingin memberinya keamanan itu. Tapi aneh, ia sama sekali tidak memberontak, selama ini ia memang tidak mau orang lain menyentuhnya bahkan mendekatinya, tapi ia tidak mencoba melepaskan dirinya dari pelukanku. Ia membalas pelukanku dengan mempererat pegangan tangannya pada punggungku.
Lalu dengan suara pelan ia berbisik di telingaku. “Tolong buat aku lupa, kak”
“Apa maksudmu??”. Aku melepas dekapanku dan memandang wajah kecilnya yang pucat.
“Aku tidak ingin terus mengingat kejadian lagi. Jadi tolong bantu aku melupakan hal itu”. Air mata pun mengalir di dari kedua matanya, ia menangis. Ia tidak pernah terlihat menangis setelah kejadian itu, tapi saat ini di depanku ia berbicara dan menangis untuk pertama kalinya setelah kejadian itu.
“Ru, benar aku boleh aku menyentuhmu??”. Ia hanya terlihat mengangguk mendengar pertanyaanku. Ya Tuhan, aku benar-benar tidak tahan untuk menyentuhnya, membuat ia melupakan semua kesedihannya. “Baiklah, aku akan membuatmu melupakan segala hal yang telah dilakukan fuckin’ ouji itu padamu”
To be continue~~~~