Duka Hidup si Mbok
Jarum jam menunjukkan angka 9.22 pagi, di kala itu terdengar bunyi besi beradu menandakan pintu gerbang rumah dibuka. Dari dalam rumah terlihat sesosok wanita mengenakan baju kaos berwarna hijau muda dan celana panjang biru. Ia melepaskan sandal yang dikenakannya dan meletakannya di teras sebelum membuka pintu utama dan melangkahkan kakinya memasuki rumah.
“Pagi, Non.” sapa Tarwiyah, pembantu rumah tangga asal Pekalongan, Jawa Timur, tersenyum menyapa orang rumah yang ditemuinya. Wanita berusia 43 tahun ini pun menuju daerah belakang rumah untuk meletakkan barang bawaannya, terlihat rasa lelah dari raut wajah dan keringat yang mengalir dari keningnya. Tidak heran wanita beranak satu ini tampak lelah, sebelum datang bekerja ke rumah ini, ia telah membanting tulang di salah satu rumah yang berada di komplek perumahan yang sama, belum lagi setelah usai bekerja di rumah ini, ia harus langsung menuju satu rumah lagi untuk melaksanakan pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga harian. “Tiga rumah saja masih kurang untuk beli kebutuhan.” ujarnya, lirih.
Hingga kini, sudah tiga kali ia menjalani kehidupan pernikahan. Suaminya yang pertama menikahinya saat ia masih seorang gadis berusia 18 tahun. Kehidupan pernikahan pertamanya tidak berlangsung lama, ia bercerai dengan suami pertamanya. Di usianya yang ke 20, ia mencoba memasuki kehidupan pernikahan lagi bersama suami keduanya. Sayang nasib berkehendak lain, suami keduanya terpaksa meninggalkannya juga namun kali ini dengan alasan yang lain. Suami keduanya meninggal dunia karena penyakit. Keadaan ekonomi yang tidak memadai menghalanginya untuk mengetahui jenis penyakit dan pengobatannya suaminya.
Sebenarnya, kehidupan Tarwiyah ketika hidup bersama suami keduanya jauh lebih baik dibandingkan sekarang. “Sekarang ya, baju saja tidak bisa terbeli kalau tidak hutang setahun sekali. Kalau dengan suami yang sudah meninggal ya alhamdullilah. Motor saja ada 3. Sekarang sudah dijualin semua, cuma sisa 1 yang suka saya pakai sekarang ini. Kehidupan sekarang ya sangat susah.” luapan rasa sedih dan sesal tampak terlihat ketika ia mengenang kehidupannya dulu. Bahkan anak perempuannya yang baru berumur 6 tahun terpaksa ditinggalkannya di kampung, kehidupan di kota besar tidak memungkinkannya untuk mebawa anak semata wayangnya itu turut serta tinggal di kontrakannya di Lengkong bersama suami ketiganya. Pekerjaan suaminya yang hanya menjadi kuli bangunan tidak cukup untuk menafkahi kehidupan mereka berdua, gaji mingguan suaminya hanya cukup untuk membeli makan sehari-hari. “Gaji suami kan mingguan, itu buat makan. Kalau tidak ada suami, saya bisa makan sebulan sekali. Gaji saya sendiri buat bayar kontrakan. Sekarang saja kontrakan lima ratus ribu.” cerita Tarwiyah dalam berbagi kesulitan ekonomi yang tengah dihadapinya.
Menyapu, mengepel, mencuci pakaian, menyetrika pakaian, dan pekerjaan rumah tangga lainnya sudah menjadi bagian hidup wanita yang ternyata anak pungut dari tiga bersaudara ini. Ia tidak mungkin berganti pekerjaan, berusaha mendapatkan pekerjaan yang lebih baik untuk menopang kehidupan keluarganya. “Saya tidak pernah sekolah, jadi tidak bisa baca. Cari kerjaan juga jadi susah.” Jawaban yang keluar dari mulutnya sungguh tidak terduga, tidak di sangka di kota besar ini masih ada penyandang tuna aksara. Tarwiyah satu-satunya anak di keluarga angkatnya yang tidak bersekolah, kedua kakak laki-laki angkatnya merupakan tamatan SMP. “Saya anak bandel dulunya, jadi main terus tidak sekolah.” ujarnya di sertai gelak tawa. Menjadi tuna aksara memberikan kesulitan tersendiri di awal pekerjaannya, menurutnya ia kesulitan membedakan bahan-bahan pembersih. Terpaksa ia harus bertanya pada majikan bila ia tetap tidak bisa membedakan dari gambar kemasan. Sempat juga ia mendapat cemooh dari orang-orang yang mengetahui kondisinya namun ia sudah terbiasa dan menerima bahwa kehidupannya sebagai orang bawah dan kecil memang akan seperti itu.
Ketika ditanya apa ia masih berkeinginan untuk dapat membaca, Tarwiyah menggelengkan kepalanya sambil tertawa, “Ah, otak saya sekarang ini, kalau orang jawa sudah mikirannya cabe, terasi.” Sempat juga temannya mengajukan diri untuk mengajarkannya membaca, namun ditolaknya karena menurutnya di usianya yang termasuk tua ini, pikirannya hanya tertuju ke dapur, belajar sudah tidak memungkinkan lagi. “Saya sudah tidak punya pikiran belajar lagi. Saya orangnya lupaan juga. Kalau hitungan 1 sampai 20 masih bisa, tapi kalau huruf-huruf tidak bisa.” terangnya disertai ekspresi serius. Tidak bisa membaca juga memberikan kesulitan lain bagi dirinya, ia jadi tidak bisa membaca Al Qur'an.
Tarwiyah memiliki harapan untuk anak perempuannya. Mengalami susahnya mencari pekerjaan, mendorong keinginannya untuk menyekolahkan anak perempuan semata wayangnya. Sebisa mungkin ia mendanai biaya sekolah untuk anaknya yang tengah duduk di bangku TK. “Saya ingin anak saya tidak seperti saya, bisa lebih baik lagi. Makanya sekolah itu harus.” Jawabnya mantap.
Kisah hidup Tarwiyah, merupakan sebuah pukulan yang menyadarkan kita akan kenyataan saat ini, kota besar yang identik dengan kemajuannya ternyata masih menyisakan seorang tuna aksara. Tampaknya salah satu misi Negara Indonesia masih belum dapat terlaksanakan, terbukti dengan kondisi yang dialami oleh Tarwiyah bertolak belakang dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dilihat dari esensi tulisan tersebut, tersirat keinginan Pemerintah Indonesia pada kala itu untuk meningkatkan pendidikan dan memberantas tuna aksara. Namun, pada kenyataannya wajib belajar 9 tahun masih belum di terima oleh ibu satu anak ini. Memang, Unesco Institute for Statustic (UIS) mencatat bahwa Indonesia telah melangkah maju dari peringkat sembilan negara terpadat tuna aksara, namun pemberantasan tuna aksara tetap harus digalakkan agar Indonesia dapat bebas dari kondisi ini. Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal (PAUDNI) Lydia Freyani Hawadie mengungkapkan bahwa dari 6,4 juta penduduk tuna aksara, dua per tiga diantaranya adalah perempuan. Selain itu ia juga mengatakan bahwa tantangan pemberantasan buta aksara disebabkan oleh kemiskinan, ketakberdayaan, usia, etnisitas, gender, dan bahasa (sindonews.com, 2013). Berdasarkan pernyataan tersebut, pemberantasan kemiskinan dan persamaan gender pun perlu ditingkatkan agar kita dapat membawa Indonesia keluar dari jeratan tuna aksara. Kedepannya, tidak perlu ada lagi rakyat Indonesia yang mengalami keadaan seperti Tarwiyah.