Title: Putih
Author:
myaqumarine Pairing: Arioka Daiki x Yasuoka Reia (OC)
Rating: Segala umur tampaknya
Genre: Angst
Theme: Non-Yaoi
Disclaimer: Sadly I dont own them :|
Summary: Seperti apa rasanya dilupakan oleh orang yang kau sayangi?
Daiki duduk memandangi sosok cantik di hadapannya dengan cermat. Sosok itu hanya duduk saja disitu. Diam bagaikan patung. Patung pualam indah yang diukir dengan cermat, tapi tetap saja akhirnya kosong. Kosong yang kosong.Kosong yang hampa.
Ada kalanya dimana sang gadis akan tersadar dari kondisinya itu dan menatap Daiki dengan senyum. Senyum lebar yang kosong.
5 bulan yang lalu,
“Reia! Apa yang kau lakukan?” tanya Daiki sambil menepis lengan gadis di hadapannya itu. Reia tampak terkejut dan memusatkan kembali perhatiannya kepada Daiki, “Kenapa? Ada apa?” tanya Reia dengan terkejut. “Kau...kau mau memasukkan garam ke sirupmu,” ujar Daiki sambil mengedik ke arah garam yang kini sudah berceceran di atas meja karena dia tadi menepis lengan Reia.
“Ahhh....maaf....akhir-akhir ini aku merasa aneh. Agak bingung...” ujar Reia sambil memegang kepalanya. Daiki mengernyit menatap Reia. Reia memang aneh akhir-akhir ini. Dia sering linglung dan melupakan berbagai hal, padahal Reia tidak seperti itu sebelum ini.
“Ne, Daiki...hari minggu ini temani ke makam ya,” ujar Reia sambil tersenyum. Daiki menatap kosong sebelum akhirnya dia menarik sudut-sudut bibirnya untuk memberikan sebuah senyum hambar.
”Boleh, sudah lama kan kita tidak ke makam.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Reia sudah tidak mendengarkan, dia tertidur diatas sofa. Daiki menghela nafas. Reia akhir-akhir ini menjadi dengan mudahnya melupakan sesuatu dan dia mulai gampang tertidur dimanapun dia berada. Pernah suatu kali Daiki menemukannya tertidur di lorong Apartemen. Tertidur begitu saja.
‘Ada apa denganmu?’ pikir Daiki sambil mengelus lembut pipi gadis itu.
Keesokan harinya di makam,
“Apa kabar mama?” tanya Reia sambil mengelus nisan putih di hadapannya. “Ne mama tahu tidak. Daiki baik banget. Semenjak mama ga ada dia bersedia pindah ke Apartemen kita buat menemaniku. Dia baikkan mama?” Reia bercerita sambil mengelus nisan itu dengan kasih.
“Hei, jangan cerita yang macam-macam ke ibumu. Tenang saja tante, kami tidak sekamar kok. Anak tante belum pernah kusentuh melebihi batas. Masih sesuci seperti waktu baru lahir,” ujar Daiki sambil ikut berjongkok.
Reia memukul Daiki dengan pelan. “Baka....” dia tersenyum geli. Tiba-tiba raut wajahnya berubah, “Ne Daiki....Aku perlahan-lahan lupa wajah mamaku. Aku tahu wajahnya jika melihat photo. Tapi aku lupa yang sesungguhnya seperti apa. Aku sudah mulai melupakan kerut-kerut wajahnya. Kerutan yang muncul ketika dia tertawa, marah, atau hanya sekedar berpikir keras memilih antara jus strawberry atau orange. Aku lupa dengan suaranya ketika memanggil namaku. Aku lupa akan suara tawanya yang indah. Aku lupa....kenangan-kenangan itu seolah-olah memudar begitu saja. Berubah menjadi bayang-bayang di sudut kepalaku. Bayang-bayang yang tak berbentuk dan hitam.”
Reia menghela napas untuk kemudian dihembuskan lagi, “Aku tidak ingin melupakan mamaku Daiki. Tidak ingin lupa akan dia, tidak ingin lupa akan wajahnya yang penuh senyum. Tapi pikiranku tidak dapat dikendalikan. Memoriku perlahan-lahan menghilang.”
Tubuhnya bergetar ketakutan. Reia takut akan kehilangan ingatan akan ibunya. Jika bukan dia yang mengingat ibunya siapa lagi? Jika dia berhenti mengingat ibunya maka eksistensi ibunya di dunia ini akan ikut menghilang juga. Bukankan orang mati hanya dapat terus hidup jika kita mengingatnya. Bagaimana jika ingatan akan orang yang mati itu hilang? Bukankah sama saja seperti kita menghapus sisa-sisa jejaknya di dunia.
Daiki memeluk Reia. “Ssshhhh....tenanglah...kau terlalu banyak khawatir,” ujar Daiki berusaha menenangkan Reia. Reia menutup mata, mencium aroma sabun dari tubuh Daiki. ‘Aku harap, aku tidak akan pernah melupakan aromamu Arioka Daiki.’
Keesokan harinya,
“Alzheimer?” Reia mengulang kata-kata itu dengan nada takut. Hari ini dia pergi sendiri ke dokter. Daiki ada pemotretan untuk majalah dengan JUMP. Lagipula dia tidak ingin menceritakan pada Daiki kalau dia pergi ke dokter. Dia tidak ingin membuat cowok itu khawatir.
“Tidak salah lagi. Coba lihat.Ini hasil scan otak anda. Ada plak-plak disekitar otak anda. Ini adalah plak amiloid yang dapat menyebabkan penyakit Alzheimer. Anda sedang dalam kondisi awal penyakit ini.”
Tubuh Reia serasa mati rasa,” Bukankah itu hanya penyakit untuk orang-orang tua?? Aku masih muda!!!” nada suaranya naik tanpa dia sadari. “Anda adalah kasus langka. Hanya terjadi pada 1 dari 10.000.000 orang di dunia.”
Reia terdiam.”Saya akan menuliskan resep untuk anda. Tapi saya sarankan anda untuk tinggal di balai pengobatan khusus penyakit ini. Setidaknya disana anda akan dirawat oleh ahlinya.”
Reia terdiam. Dia membungkuk pada dokter kemudian pergi. Perasaannya hancur. Semua orang tahu penyakit ini menyedihkan. Kau akan terus hidup dan ingatanmu akan perlahan-lahan hilang, kau akan lupa dengan orang-orang yang kau cintai, kemudian kau akan mati. Bukankah itu terdengar sedikit kesepian? Mati dalam kondisi lupa pada orang-orang yang kau cintai.
Reia berjalan dengan langkah gontai ditengah hiruk pikuk kota. Salju yang putih dan lembut perlahan-lahan turun. Reia berjongkok dan menangis. 1 diantara 10.000.000 orang di dunia. Kata-kata itu terus berputar-putar di kepalanya. ‘Kenapa harus aku yang menjadi 1 orang itu? Tuhan tidak adil.’
Di Apartemen,
Daiki masuk ke dalam Apartemen sambil bersenandung kecil. Dia sedikit terkejut saat melihat apartemennya masih gelap. Asumsinya Reia belum pulang. Tapi dia dapat melihat sepatu Reia tertata rapi di depan.
“Reia, kau dimana?” tanya Daiki sambil berjalan perlahan. Matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan. Pintu kaca yang menuju ke balkon Apartemen terbuka lebar, tirai putih tipis berkibar tertiup angin dengan lembut.
Reia duduk di sofa. Sinar bulan menelusup lembut menyinari kulitnya membuatnya tampak bersinar. Daiki mendekati Reia dengan takut-takut.
“Ada apa?” tanyanya pelan. Dia mengulurkan tangannya dengan pelan dan menyentuh Reia lembut seolah-olah Reia adalah benda yang bisa setiap saat hancur jika dia menyentuhnya terlalu keras.
“Aku sakit....”
Kata-kata itu menelusup dan menusuk jantung Daiki dengan cara yang menyakitkan. “Sakit apa? bisa disembuhkan kan?” Daiki mulai panik. “Tidak ada obatnya Daiki. Aku menderita Alzheimer. Aku akan kehilangan ingatanku perlahan-lahan dan kemudian mati.”
Air mata Daiki mulai menggenang, “Bohong! Pasti ada cara untuk menyembuhkanmu! Kita bisa ke Amerika!! Aku bisa membayarimu untuk berobat kesana!!”
Reia menggeleng pelan. Raut wajahnya tak terbaca. “Tidak Daiki. Tidak ada yang bisa menyembuhkanku. Aku akan kehilangan memoriku pelan-pelan. Aku akan lupa tentang segalanya, aku juga akan lupa tentang papaku yang sudah lama meninggal, aku juga akan lupa tentang mama dan aku juga akan lupa tentang....”
Reia terdiam tidak sanggup berkata apa-apa lagi.
Kau.
Kata-kata itu tidak terucap tapi menelusup ke benak Daiki. Mengisi kekosongan di antara dirinya dan Reia. Hal apalagi yang paling menyakitkan selain dilupakan oleh orang yang kau cintai?
********
Daiki tersentak saat Reia menyentuh lengannya pelan. Dia kembali dari lamunannya dan tersenyum lembut, “Ya, cantik?” Reia tersenyum polos seperti anak-anak, “Ne, mamaku dimana?” tanya Reia sambil tersenyum penuh harap.
Ada secercah perasaan sakit timbul di hati Daiki, “Mamamu sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Lupakah kau?” tanya Daiki dengan sabar. Kemudian dia melihat ekspresi duka timbul lagi di wajah Reia. Ekspresi duka yang sama setiap kali dia menanyakan mamanya. Hati Daiki bagai ditusuk dengan belati tajam saat melihat ekspresi duka muncul di wajahnya berulang-ulang kali.
“Apakah aku lupa kalau mamaku sudah tidak ada? kenapa aku lupa?” tanya Reia lagi. Daiki membiarkan saja pertanyaan itu tak terjawab. Tak ada gunanya. Reia akan menanyakannya lagi besok, besok dan besoknya lagi.
Reia menutup matanya perlahan. Daiki lelah sejujurnya. Reia akan tidur terus sepanjang siang dan akan terjaga sepanjang malam. Seperti itulah para penderita Alzheimer. Tapi satu hal yang disyukurinya, Reia tidak melupakannya. Belum. Dia ngeri membayangkan hari dimana Reia melupakannya akan datang, tidak tahu kapan, tapi cepat atau lambat.
Malam hari,
Daiki duduk menunggu dengan sabar. Reia bangun dari tidurnya. Dia bangun dan menatap bulan. “Sudah bangun? Mau makan?” tanya Daiki lembut.
Reia menatapnya dengan linglung dan mengerjapkan matanya. “Maaf anda siapa?”
Tiba. Saat itu tiba. Daiki tahu rasanya akan sakit tapi dia tidak tahu kalau sesakit ini. Dia berusaha tegar. Menghela napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya lagi. “Hajimemashite, Arioka Daiki desu.”
“Ahhh, Arioka-san,” ujar Reia sambil tersenyum lembut, “Kalau boleh tahu anda siapa?” tanya Reia lagi.
“Aku kekasihmu,” ujar Daiki pelan. Reia mengerjapkan matanya. “Sou desu ne...mamaku mana?”
Daiki diam. Tidak ada gunanya menjawab.
Ada hari-hari cerah ketika Daiki akan mendorong kursi roda Reia melintasi taman. Mereka akan bercakap-cakap seputar cuaca, burung yang bernyanyi di atas pohon atau tentang musim semi yang akan segera datang. Bahkan mungkin mereka hanya berjalan berputar-putar di taman tanpa perlu banyak kata. Hanya kebersamaan.
Semua orang tahu betapa Daiki mencintai Reia. Fans pun tahu, tapi mereka tidak pernah mengganggu Reia. Mereka mendoakan kesembuhan Reia juga, mereka tidak tahan menyaksikan betapa hancurnya Daiki dari hari ke hari. Dia tersenyum di depan kamera tapi matanya tersaput awan kesedihan.
Sampai di suatu hari yang special Daiki berjalan sambil mendorong kursi roda Keia. “Daichan,” tiba-tiba Reia bersuara. Langkah Daiki terhenti. Sudah lama Reia tidak memanggilnnya Daichan. Lama sekali. Dia hanya memanggil Daichan disaat-saat tertentu. Dia hari-hari biasa dia hanya memanggil Daiki. Apakah itu berarti ingatannya kembali?
“Reia kau ingat aku?” tanya Daiki sambil memutar ke hadapan Reia. Dia berlutut dan menggenggam tangan Reia. “Tidak mungkin aku melupakanmu. Baka. Ne Daichan kalau aku pergi jangan menangis ya. Cari pacar lain saja. Pacar yang lebih baik dari aku.”
“Mana mungkin aku tidak menangis. Kenapa aku tidak boleh menangis?? Kenapa aku harus cari pacar lain??!! Aku ingin bersamamu tau! Kau tidak boleh mati!!” Daiki tidak menangis saat mengatakan itu. Kata-kata itu adalah tangisan itu sendiri.
Reia tersenyum datar, tidak senang juga tidak sedih,” Aku ingin mati dengan kondisi masih mengingat semua orang. Bukankah akan sangat kesepian jika aku mati dalam kondisi tidak mengingat siapapun?”
Dia mendongak menatap langit. Daiki tidak tahu itu kata-kata untuknya atau untuk siapa. Tapi dia rasa kata-kata itu lebih mirip seperti doa, ‘Kurasa kata-kata itu untuk Tuhan.’
Keesokan paginya,
Daiki membuka pintu. Serangan rasa panik menerpanya ketika dia sadar Reia sudah tidak ada di dalam kamar.
“Suster!!! Suster!!!” Daiki berteriak panik. Beberapa perawat muncul, “Ada apa Arioka-san?” tanya mereka dengan panik. “Reia hilang!! dimana dia?!! cepat cari!! Gaun tidurnya tipis!! Dia bisa mati kedinginan di luar!!”
Semua orang panik. Daiki benar, salju turun dengan lebat semalam. Seluruh dataran itu tertutup oleh warna putih.
Daiki berlari kesetanan di luar mencari sosok Reia. Dia berharap gadis itu ada di dalam rumah sakit saja. Tapi feelingnya berkata lain. Langkahnya terhenti saat melihat gambaran yang paling tidak diinginkannya terpapar jelas di hadapannya.
Putih. Salju itu putih. Putih itu salju. Disana terbaring gadis bergaun putihnya. Rambutnya terurai bagaikan sulur-sulur hitam kematian. Dia terbaring putih dan mati.
*********
Daiki berdiri di makam putih di hadapannya. Didalam makam itu terbaring Yasuoka Reia. “Apakah kau mati dengan masih mengingat mamamu? masih mengingatku kah? kuharap kau mati dengan masih mengingat semuanya. Aku tidak suka kalau kau kesepian.”
Daiki menunduk. Air matanya tidak keluar. Dia terlalu sedih untuk menangis dan lagipula dia sudah janji. Dia perlahan-lahan melangkah keluar dari area pemakaman. Salju turun dari langit mengubur kota itu dengan warna yang dingin. Putih.
THE END