[Indonesian] Aga Adiwangsa

Nov 26, 2016 00:32


Title: Aga Adiwangsa
Characters: Aga Adiwangsa/Warangka
Rating: T

A/N: Inspirasi datangnya tak disangka dan seringkali terlalu ngotot. Random AgaWara terinspirasi dari foto mas ganteng Tomtjok di instagram. *yea I used instagram mostly for stalking my writing muses*


Hampir lima tahun bersama, Wara mulai sering lupa bagaimana mengintimidasinya sosok Aga Adiwangsa sebenarnya. Bagaimana tidak? Selama setidaknya tiga tahun Wara lebih sering berhadapan dengan sisi personal dan privat Aga yang manja dan mengesalkan dibanding sisi profesionalnya di kantor. Tentu saja Wara masih menganggap CEO itu paling seksi saat mengenakan setelan kerjanya--jas custom made, dasi sutra, kemeja yang melekat erat di bentuk tubuh bidangnya, celana resmi yang memeluk pinggulnya rapat, serta sepatu pantofel semi boots dengan hak yang rasanya akan membuat Wara terlihat seperti banci taman lawang tapi tentu saja tidak demikian di kaki Aga--tapi Wara sudah sangat jarang melihat sikap profesionalisme yang dipancarkan Aga di balik gaya metroseksualnya.

Sejak kejadian beberapa tahun lalu, Aga benar-benar memutus Wara dari dunia profesional dan sosialitanya. Dia berhenti meminta Wara datang ke kantor seperti dulu, lebih sering mereka bertemu di jam makan siang atau jam pulang kantor untuk makan malam di luar. Aga juga tidak lagi meminta Wara menemaninya datang ke pesta-pesta atau acara-acara yang diadakan kolega keluarga Adiwangsa dan lebih sering menggandeng Sandra ketika model itu ada di Indonesia atau kakaknya yang masih saja menduda.

"Kamu nggak takut Aga selingkuh apa?" Sandra menanyainya suatu hari, saat perempuan itu mampir ke apartemen mereka. Aga mendengus mendengar pertanyaan bernada usil itu. Wara tertawa.

"Sama siapa? Sama kamu? Atau sama Mas Nata?" Wara nyengir saat Aga tersedak di sampingnya. Dia kemudian mengedipkan sebelah mata pada model internasional di hadapannya. "Jangan khawatir, aku nggak keberatan threesome."

Mata Sandra membelalak antusias. Aga menyikut rusuknya keras-keras.

"Jangan ngomong seenaknya," gerutu Aga dengan ekspresi antara merajuk dan berang. Wara menghabiskan sisa hari itu dan seminggu kemudian berusaha meyakinkan Aga bahwa dia tidak pernah berniat untuk terlibat dalam hubungan dengan orang lain selain Aga. Satu kalimat bercandaan itu membuat dirinya mendekam di kamar studio selama seminggu.

Intinya, Wara sudah jarang berhadapan dengan Aga Adiwangsa, putra kedua keluarga kenamaan Adiwangsa sekaligus CEO perusahaan developer terkemuka Adiwangsa Group. Begitu jarang sehingga ketika ada kesempatan untuk kembali melihat sosok Aga Adiwangsa dalam diri kekasihnya, Wara terenyak.

Wara sadar dia hanya bisa bengong saat melihat Aga keluar dari dalam mobil dengan setelan jas lengkap di tubuhnya dan ekspresi profesional di wajahnya, memberikan kunci mobilnya pada valet hotel sebelum tersenyum pada Wara dan mendatanginya dalam langkah terukur.

"Ten o'clock sharp." Aga tersenyum padanya dengan cara yang sudah lama tidak Wara lihat. Selama ini senyum Aga padanya selalu melankolis dan penuh kasih--senyum orang dimabuk kepayang, kata Lingga. Tetapi jenis senyum yang sekarang menggantung di bibir Aga lebih formal dan profesional, dengan bibir rapat dan tatapan mata tajam meneliti. Mau tak mau Wara menelan ludah gugup saat tangan Aga menempel di punggungnya dengan tekanan ringan, bayangan kejadian-kejadian saat mereka pertama bertemu melintas di benaknya. Saat Aga pertama menyapanya di pameran pusaka nasional, saat Aga menawarinya pekerjaan untuk menyelidiki perihal keris warisannya, juga saat masa-masa putus-sambung mereka.

Betapa segala kenangan itu kini terasa jauh dan tidak menyenangkan.

"Yuk," ajak Aga ringan. Wara mengangguk tanpa bicara apa-apa, mengikuti langkah Aga memasuki hotel. Dipandanginya langkah sepatu Aga yang terukur di lantai hotel--tok, tok, tok, tok--serta bahunya yang tegas dan gerakan tangannya yang mengayun lentur di sisi tubuhnya. Wara baru menyadari kemudian bahwa Aga tidak pernah menyimpan tangannya di saku celana. Tangannya selalu bebas dan terbuka, atau diam di sisi tubuhnya, tapi Wara tidak pernah melihat tangan berkulit kecoklatan itu tersimpan di saku.

Wara kembali mengerjap kaget saat melihat Aga bicara dengan resepsionis hotel. Kedua tangannya merentang di sisi tubuhnya, membuat figurnya terlihat mengintimidasi dan mendominasi, secara jelas menunjukkan relasi kuasa antara dirinya dan lawan bicaranya--yang jelas tengah berusaha sesopan mungkin di hadapannya. Bibir Wara terkatup cemas. Aga sudah jarang memperlihatkan gestur mendominasi di sekitar Wara. Dia sudah nyaman berada di sekitar Wara, dan sudah tidak ada lagi alasan untuk membuat gestur seperti itu di sekitar Wara semenjak Wara menghilang dari dunia kantor dan sosialita Adiwangsa.

Hanya satu alasan yang bisa membuat sikap ini keluar di sekitar Wara sekarang: ada kemungkinan mereka dalam bahaya.

"Katanya mereka ada di hall utama. Yuk." Aga kembali berjalan tanpa basa-basi. Wara meremas ujung jaketnya cemas.

"Ga, ini... pemotretan apa, sih?" tanya Wara akhirnya. "Katamu untuk majalah lifestyle..."

"Memang."

"Wawancara tentang kehidupanmu, kan?"

"Ya." Jawaban Aga terjeda sepersekian detik, kemudian dia mengerling Wara. "Mereka ingin tahu tentang hubungan kita."

Langkah Wara terhenti seketika. Aga ikut berhenti beberapa langkah di depan. Senyumnya kembali terkembang--tipis, rapat, profesional, dingin, dan terukur. Wara mengingat senyum itu seperti yang sering dikeluarkan Aga setiap kali dia harus berhubungan dengan keluarga dan koleganya. Atau saat bermain catur bersama Nata. Perut Wara bergolak tidak nyaman.

"Kamu nggak perlu masuk kalau nggak mau," ujar Aga. "Kamu ke sini dengan kapasitas sebagai fotografer. Aku yang akan menilai situasinya apakah kamu bisa ikut masuk atau tidak."

Ya tuhan. Aga menjadikannya sebagai kontak gawat darurat.

"Kenapa kamu terima wawancara ini?"

Pandangan Aga menetap pada Wara untuk beberapa detik sebelum dia mengangkat bahu--tak acuh, dingin, terukur.

"Ada pion yang ingin kumainkan."

Tubuh Wara berdesir waspada, tapi kakinya refleks melangkah mengikuti ketukan sepatu Aga. Lima tahun bersama, Wara kira akhirnya dia kebal pada segala pesona dan kengerian pusaran badai bernama Aga Adiwangsa. Nyatanya, bukan dirinya yang berhasil menaklukkan badai; badai itu sendiri yang memutuskan untuk memelintir pelan di sekitarnya. Dan ketika Aga memutuskan untuk menguatkannya lagi, Wara selamanya akan terseret mengikuti pusarannya.

Wara yakin, setelah mereka sampai di rumah nanti, Wara akan memaki laki-laki ini habis-habisan karena telah menggunakannya sebagai pion tanpa berkonsultasi padanya. Wara yakin mereka akan bertengkar dan saling mendiamkan untuk beberapa lama.

Tetapi sekarang, saat kakinya menapaki jejak yang ditinggalkan Aga untuknya dengan patuh, saat dadanya bergemuruh oleh rasa cemas dibanding kemarahan, Wara berpikir mungkin ada baiknya sesekali dia kembali diingatkan mengenai kengerian bernama Aga Candrasa Adiwangsa.

agawara, pencarian, language:indonesian, novel, rating:t

Previous post Next post
Up