Title: Ulang Tahun Tanpa Lilin
Characters: Tosan Galih
Rating: K+
A/N: Tulisan singkat berkenaan dengan hari ulang tahun Tosan Galih dari trilogi Keris Tiga Naga tanggal 20 November kemarin.
---
Ulang tahunnya selalu tanpa lilin. Tak pernah pula ada pesta atau hura-hura. Tanggal ulang tahunnya bukanlah angka istimewa yang mudah disangkutkan ke ingatan kecuali oleh orang-orang terdekatnya.
Tahun ini orang terdekatnya berkurang dua.
Mungkin sesungguhnya hanya satu, tapi terasa seperti dua. Karena kehilangan istrinya seolah sepaket dengan kehilangan putri semata wayangnya. Jadi, di tanggal 20 November tahun ini, Tosan terbangun tepat pada jam 12 malam oleh dering telepon yang ngotot, menyadari bahwa kasurnya terlalu luas dan kosong, kamarnya terlalu penuh dengan aroma lelaki, serta bahwa, ah, ini ulang tahun pertama setelah perceraiannya.
Tangannya menggenggam ponsel dan menekan tombol terima bahkan sebelum kepalanya berhasil memerintahkan matanya untuk membuka. Suaranya keluar dalam sapa sebelum sempat melihat siapa yang mengganggu tidurnya.
"Tosan Galih."
"Siap, Ndan! Selamat ulang tahun pertama setelah kembali membujang, Ndan!"
Butuh dua detik yang lama bagi Tosan untuk mengenali suara di seberang dan memutuskan apakah dia harus memaki atau tertawa.
"Jangkrik," akhirnya dia memaki. Namun sambutan tawa dari seberang membuat ketajaman kata-katanya melunak menjadi sebuah makian akrab. "Tumben telepon. Kamar lagi kosong?"
"Siap, Ndan. Sini ke Bali, Ndan. Kita pesta sesama bujang, Ndan."
"Besok itu Senin, ya, AKBP Tatang Surantang."
"Suratna, Kombespol Tosan Galih," koreksi Tatang. "Elo masih punya sekitar dua puluh empat jam untuk terbang pulang-balik Jakarta-Bali, kalau mau. Sepi kan di Jakarta? Mending di sini sama gue, ngumpul sesama pria-pria kesepian. Like old time."
Like old time, Tosan tersenyum kecut. Sahabatnya itu selalu tahu bagaimana cara paling tepat untuk menyentil hatinya sejak mereka masih di Akpol. Dan sentilan Tatang selalu meninggalkan sensasi menyengat lebih lama dari seharusnya.
"Gue ada janji sama anak gue hari ini," gumam Tosan. Jemarinya refleks meraih pak rokok di atas nakas dan menyelipkan sebatang ke mulutnya. Lama-lama kamar ini pun penuh bau rokok. Padahal sebelumnya Dewi selalu melarangnya merokok di dalam rumah.
Kamar ini sudah kehilangan aroma khas (mantan) istrinya. Kamar ini terlalu bau lelaki.
"Oh, waktu kunjung?" Suara Tatang terdengar kecewa. "Yah, kalau elo kesepian, elo bisa ke sini kapan pun."
Tosan menjawab dengan gumaman malas.
"Herman sudah ngucapin?"
"Yang jelas, elo yang pertama ngerecokin gue tengah malam," jawab Tosan. Diputusnya sambungan dengan sengatan rasa sakit lain di hatinya.
Rokoknya sudah habis setengah ketika Tosan akhirnya kembali membuka ponsel dan memeriksa kotak pesannya. Tidak ada ucapan satu pun. Tidak ada panggilan tengah malam yang lain. Tosan merasa mulutnya berubah pahit, jadi dia jejalkan rokoknya ke asbak dan kembali berusaha memejamkan mata di ruangan yang terlalu gelap dan sepi untuk seorang diri.
"Jangkrik lu, Tang."
**
Pesan berisi ucapan baru memenuhi kotak pesannya sekitar pukul sepuluh. Sebagian besar berupa chat berisi berbagai macam meme dan stiker bertema ulang tahun dari rekan sejawatnya di Polda Metro. Herman, sahabat masa Akpolnya yang lain, menelepon pukul sepuluh lima belas. "Tatang mulai bikin segala urusan ucapan selamat ulang tahun ini jadi semacam kompetisi, dan gue bahkan nggak tahu hadiahnya apa kalau gue menang," protesnya. Tosan hanya tertawa. Ibu dan Mas Geni menelepon sekitar pukul sebelas, saat Tosan menunggu putrinya di salah satu pusat perbelanjaan.
"Mama nggak mau ikut kita," adalah ucapan pertama putrinya ketika menemuinya. Dia datang tanpa diantar ibunya seperti pertemuan minggu-minggu sebelumnya.
Senyum Tosan terkatup rapat. Tangannya sudah hendak mengambil ponsel dan mengirimi Dewi pesan, tapi bayangan jawaban mantan istrinya itu sudah terbayang otomatis di benaknya, "Biarkan saja, lama-lama dia akan terbiasa."
"Sekarang kita coba berdua saja, yuk? Papa sama Ocha. Papa traktir sepuasnya hari ini."
"Oh iya, selamat ulang tahun, Papa!" Seakan baru tersadar, mata gadisnya berbinar. Mereka duduk di sebuah gerai makanan Jepang agar Ocha bisa menyerahkan kadonya--sebuah ikat pinggang kulit yang terbilang mahal untuk ukuran uang simpanan anak SMP. Sepanjang hari itu, Ocha terlihat riang menghabiskan waktu bersamanya. Meski putrinya mungkin berusaha keras untuk tidak menyebut mamanya, Tosan merasa lega karena mengetahui ternyata dia bisa berkomunikasi secara lancar dengan putrinya meski tanpa kehadiran mantan istrinya.
Sekitar menjelang waktu makan malam, Nata Adiwangsa meneleponnya dan mengajaknya makan malam bersama di sebuah restoran bintang lima. "Lagi sama Ocha, kan? Ajak dia. Anjali juga ada di sini."
Nada otoritatif itu membuat Tosan tersenyum. Mengetahui perangai Adiwangsa satu itu, dia mungkin sudah melakukan reservasi tempat sejak jauh hari meski ajakannya terdengar seperti makan malam kasual yang numpang lewat di kepalanya mumpung sahabat sejak kecilnya ulang tahun. Tosan yakin Nata bahkan sengaja mengajak putrinya, Anjali, karena Adiwangsa itu tahu hari ini adalah waktu kunjungan Tosan.
Dia pasti kelihatan payah sekali kalau sahabat-sahabatnya, dari yang paling jauh hingga yang paling dingin, berusaha membuatnya nyaman di hari ulang tahunnya.
Tosan mengiyakan undangan itu saat melihat putrinya melonjak-lonjak gembira di kursinya. Sepanjang perjalanan ke restoran tersebut, Ocha mengobrol heboh dengan Anjali sesuatu mengenai instagram yang sudah tidak bisa lagi Tosan pahami di usianya yang semakin menyerempet jurang empat puluh. Setidaknya Nata yang akan rugi bandar masalah pulsa untuk segala percakapan remaja ini.
Ulang tahunnya sampai hari ini masihlah tanpa lilin. Masih tanpa perayaan dan hura-hura. Dan saat dia selesai mengantarkan putrinya pulang ke rumah mantan istrinya nanti, dia akan kembali ke sebuah ruang yang terlalu besar untuk seorang diri. Namun dia bisa mengkhawatirkan hal itu nanti, ketika kesepian datang kembali di ambang pagi.
Karena sekarang jalanan ibukota yang dilewatinya tetap berdengung oleh suara mesin dan berkerlip cahaya kekuningan. Tak ada yang berubah. Tidak terlalu. Jakarta masih menjadi lilin paling megah bagi orang-orang sepertinya.