Tangan itu ditarik, cukup kuat sehingga pemiliknya tidak punya kesempatan untuk mendorongnya menjauh atau sekadar mengibaskan tangannya. Satu, atau bahkan sepersekian detik kelengahan digunakan untuk merangkul pinggang, sebelum ada cengiran yang muncul--menampakkan deretan senyum yang berhiaskan kawat gigi. Ngomong-ngomong, kawat giginya itu, belum lama dipasang, mungkin baru sekitar dua--hampir tiga bulan--dan pemuda ini sudah mulai terbiasa dengan rasa ngilu yang berangsur mulai membaik.
"Tadi aku lihat kamu di panggung..."
Bagian terbaik dari sudah terbiasa akan rasa ngilu dari kawat gigi adalah, Park Sanghyun sudah mulai terbiasa untuk tersenyum lebar seperti biasanya. Pandangannya meneliti ekspresi wajah lawan bicara, kemudian nyengir sekali lagi. "Harusnya kamu balas melambai." Tangan yang melingkar pada pinggang itu dieratkan, dan tubuhnya mendorong. Tujuannya itu sederhana, agar punggung bersentuhan dengan daun pintu kamar yang sudah tertutup, agar tidak akan ada yang bisa mengelak atau melarikan diri. This is a make-up for past two months--dan untuk besok bulan-bulan berikutnya--Sanghyun memiliki pembelaan, selain disisi lain bahwa ia tidak senang ditolak.
"Selamat."
Hanya satu kata yang bisa diucapkan. Senyumnya masih mengembang, si pemuda sama sekali tidak malu menunjukkan kawat gigi yang awalnya dibilang cupu dan ketinggalan zaman--atau semacamnya. Lagipula, bukan masalah kawat giginya. Akan tetapi, rasa ngilu yang sudah menghilang, dan Park Sanghyun sudah terbiasa dengan barang menyebalkan ini menjadi yang utama. Ingin tahu alasannya? Mudah, karena sekarang ia bisa memiringkan wajah, memberikan kecupan singkat di bibir yang tidak ia beri kesempatan untuk membalas kata-katanya. "Selamat." Satu kata itu...bagaikan sesuatu yang tidak akan puas untuk diucapkan hanya karena ia tidak bisa menggambarkan bagaimana rasa senang, dan bangga kepada si pemilik tubuh yang direngkuh.
Dan kata-kata selamatnya itu tidak akan pernah cukup, sama seperti tidak akan pernah cukupnya bibir yang mencecap, dan lengan yang tidak ingin melepaskan. Entah, banyak hal yang seharusnya tidak dipikirkan tetapi pada akhirnya, si pemuda tetap memikirkannya perlahan-lahan. Seperti, "apakah malam bisa berlanjut lebih lama", kemudian dilanjutkan dengan "Jika bisa berlanjut lebih lama, apakah boleh terjadi untuk malam ini saja?"
Sanghyun mengerti betul, pertanyaan itu bodoh. Namun, toh pada akhirnya dia tetap mempertanyakan, meskipun dia sudah mengerti betul seperti apa jawabannya--hei, dia ini si juara kelas, tahu--bahwa, tidak akan ada yang berubah dalam waktu dua puluh empat jam yang sudah dibuat oleh Tuhan. Hanya saja, si pemuda tetap berharap, dan berdoa. Agar hangat dari kulit yang menyentuh miliknya itu tidak harus berakhir saat sinar matahari mulai muncul dari sudut jendela, dan agar nama yang telah disuarakan seperti denggungan halus yang menggelitik itu memang hanya--namanya.
Yang diminta terlalu banyak? Terlalu rumit? Memang. Dan Park Sanghyun tidak pernah keberatan menjadi anak lelaki yang egois, karena ini...untuk No Hanjoon.