Seharusnya kamu tidak boleh ke sini!
Tapi, apa bisa dikatakan? Tidak. Kalau kamu bertanya, seharusnya saat itu adalah akhir pekan yang tenang. Kamp Angkatan Laut akan dipenuhi anggota keluarga atau kerabat yang datang berkunjung walaupun musim dingin. Laut seperti terasa sudah seperti membeku saking dinginnya. Berjuang agar tidak mati kedinginan berlebihan, karena yang diperjuangkan oleh para marinir (ah, dia belum pantas untuk disebut dalam bagian semacam itu) adalah untuk tetap sehat, dan bisa bertahan (paling tidak) dua tahun di tempat ini. Tiga minggu yang lalu, Park Sanggeol mengatakannya, mengulang-ulang kata kamu harus bertahan meskipun anak laki-lakinya sekarang sudah terbiasa dengan gertakan keras dan udara yang terasa asin karena pengaruh laut.
Dia itu kuat, Park Sanghyun yang biasanya hidup dalam kondisi berlebih karena ayahnya, sekarang bisa bertahan dengan situasi yang keras. Akan tetapi, Sanghyun tetap saja masih belum terbiasa untuk diposisikan sebagai seorang marnir yang sesungguhnya. Dia itu sebenarnya masih lemah, apalagi ketika dia duduk berhadap-hadapan dengan pemilik manik senada kopi kesukaannya, dengan tawa yang sesekali mengudara meskipun sejujurnya, ia menatap dengan syahdu--ingin memeluk, ingin merengkuh. Jemari yang berada di atas meja, baru saja akan diraih, dan digenggam sejenak, tetapi tubuhnya langsung membeku saat suara sirine yang tidak biasa mulai terdengar.
Pengumuman yang terdengar selanjutnya tidak begitu diperhatikan, karena Sanghyun mengerti betul kalimat seperti apa yang akan muncul dari pengeras suara. Korea Utara, datang, lewat jalur laut, kapal kita di serang, siaga di pelabuhan, siaga di pemukiman. Sanghyun langsung berdiri dari duduknya, kemudian menatap pemuda yang satunya, tajam. "Akan ada yang menemani sampai luar, sampai kamu selamat! Pulang ke Seoul, sekarang!" Dia berujar keras, seakan-akan ingin mengimbangi ribut yang ada di ruang kunjungan kala itu.
Percaya? Sebagian dari dalam dirinya sudah mulai mengejek, sok kuat memang, Park Sanghyun ini.