Langit-langit kamarnya tidak pernah nampak sekusam ini sebelumnya.
Pemuda ini sedang berbaring, tetapi terjaga penuh, sembari memandang langit-langit kamar, dan dengan kedua lengannya sebagai bantalan. Hampir pukul dua belas kala itu, dan besok adalah tanggal dua puluh enam. Tas yang akan dibawa untuk karyawisata sudah terisi dengan beberapa potong pakaian, sedangkan seragam sekolah beserta mantel dan syal tergantung rapi di daun pintu yang tertutup rapat. Suara radio yang diputar dengan suara rendah terasa begitu samar karena Shunsuke tidak sedang memperhatikan apa yang didengar. Toh, dia memutar radio bukan karena ingin mendengar sesuatu, tetapi agar sunyi yang selalu dilewati setiap hari bisa sedikit lebih ramai.
Napasnya dihela panjang, dan jam dindingnya dilirik kembali. Sepuluh menit lagi menuju tengah malam, besok dia harus pergi pagi-pagi sekali ke sekolah, dan seharusnya Shun bisa tidur lebih awal. Akan tetapi, si pemuda bangkit dari tidurnya, menuju meja belajar dan menyalakan lampu. Lagu-lagu lawas yang diputar dari radio malam itu masih terdengar bersamaan dengan tangannya yang menggenggam pena dan kertas warna gading yang selalu digunakannya untuk menulis surat.
***
Fukushima, 25 Desember 1986
Apa kamu tahu, di Fukushima akhir-akhir ini dingin sekali, bahkan terlampau dingin sampai aku tidak bisa tidur. Kamu sendiri bagaimana? Kalau tidak bisa tidur, segera nyalakan penghangat, dan pakai selimut tebal. Minggu lalu aku kena flu karena tertidur di meja belajar, ibu marah sekali padaku, dan aku harus mengenakan masker selama empat hari di sekolah karena tidak seharusnya aku sakit menjelang ujian kelulusan. Musim dingin harusnya menyenangkan, tapi jangan sampai sakit.
Higana, aku ada hal yang ingin aku tanyakan. Apa kamu ingat dengan yang pernah aku katakan padamu dan Hanayo dulu sebelum pindah? Aku bilang aku tidak akan kemana-mana, tetapi pada akhirnya aku tetap harus pergi ke Fukushima mengikuti ayah. Walaupun aku bilang, kita bertiga adalah teman selamanya, tetapi dengan jarak yang jauh, kadang aku berpikir apakah aku sudah berubah? Apa aku seperti yang dulu? Aku masih jadi temanmu, kan?
Karena aku pikir, teman adalah seseorang yang bisa berada di sampingmu bagaimapun keadaannya. Dan aku...hanya bisa mengirim surat, melepon, dan datang ketika aku punya kesempatan. Aku tidak bisa hadir dalam waktu yang tepat jika kamu sedih, atau senang (atau apapun) seperti dulu. Walaupun aku inginpun, aku tidak akan menampik masing-masing dari Higana dan aku, sekarang sudah punya kehidupannya sendiri. Kadang aku berpikir, jika yang seperti ini terus berlanjut, siapa yang akan melupakan lebih dahulu? Aku atau Higana?
Tapi aku tidak ingin lupa, dan aku juga tidak ingin Higana untuk lupa. Jadi aku ingin kamu balas surat ini, agar aku bisa membalasnya lagi, sehingga masing-masing, Higana dan aku akan selalu ingat.
Dan datanglah ke Fukushima, aku akan kenalkan Higana dengan seseorang. Dia orang yang baik, kamu pasti senang.
Shunsuke
***
Surat itu dimasukkan ke dalam amplop yang warnanya senada. Besok ia akan menitipkan kepada saudari perempuannya untuk dikirimkan ke tempat Higana.
Dan sampai sekarang, Shunsuke selalu berharap bisa membaca balasan dari suratnya sepulang dari karyawisata.