Memori pertama Park Geunshik di awal tahun yang baru adalah punggungnya yang terasa lebih hangat daripada biasanya.
Bukan Alex yang tiba-tiba naik ke tempat tidurnya dan ikut bergabung menggelungkan diri di awal tahun yang selalu dingin, maupun bantal-bantal yang terkadang ditumpuk di sebelah tubuh karena tempat tidurnya terasa terlalu besar untuk satu orang. Ada lengan yang sempat diperhatikan dengan setengah sadar, melingkar di pinggang, baru setelahnya pemuda ini mengingat-ingat tanggal berapa hari itu. Satu Januari, hampir pukul sembilan ketika melirik jam dinding, dan walaupun ia berada di dalam kamarnya sendiri dengan penghangat ruangan yang menyala, dinginnya masih terasa di sekitar ujung jemarinya yang terbuka.
“Sudah bangun?”
Geunshik belum berbalik, karena ia hanya sempat mengangkat wajah untuk melirik jam dinding yang ada di salah satu sudut kamar, dan membetulkan selimut. Akan tetapi, gumaman pelan tersebut sudah terdengar jelas seperti mendahului kesadarannya. Mungkin karena mereka terlalu dekat, dan penjuru rumahnya kelewat tenang, sehingga gerakan sekecil apapun begitu mudah untuk disadari.
“Hm...” Kepalanya mengangguk-angguk pelan, tanpa memberikan jawaban panjang karena ia baru saja terbangun, malas rasanya untuk banyak bicara. “Kamu juga, kan.” Sudah bangun. Si tunggal memberikan komentar pendek sebelum matanya perlahan-lahan semakin terasa berat, tidurnya barusan belum cukup untuk membayar lelah malam akhir tahun yang baru saja dilewati beberapa jam ke belakang.
“Kata siapa? Tahu nggak? Aku belum tidur.”
Matanya terbuka lagi, kali ini terbuka sempurna dan mengerjap beberapa kali. “Ya, Kwak Ahroo.” Nada bicaranya terdengar seperti seseorang yang tiba-tiba saja kesal karena mendengar sesuatu yang tidak diinginkan, karena begitulah Park Geunshik sekarang. Paginya begitu tenang, tetapi tidak menutup kemungkinan terbangun dengan emosi yang masih kabur karena belum bisa berpikir jernih. Tubuhnya baru saja akan berbalik, meminta perhitungan maupun semacam protes. Akan tetapi, yang terdengar setelahnya adalah tawa rendah bersamaan dengan lengan yang melingkar semakin erat, mendekap lebih hangat, dan yang pasti mencegahnya benar berbalik untuk memberikan protes.
“Cuma bercanda. Ayo, tidur lagi.”
Semudah dia percaya pada kebohongan kecil Ahroo, dan semudah itu juga dia percaya dengan pembelaan pemuda yang satunya. Geunshik masih berada pada tempatnya, menghela napas agak panjang, dan tanpa sadar mulai memejamkan mata lagi sebelum sempat memikirkan apa yang bisa mereka makan untuk sarapan yang akan dilakukan siang hari nanti.