鋼の心

Nov 19, 2017 15:36

Payungnya tidak cukup lebar dan kuat untuk menahan air hujan yang turun dan mulai membuat ujung celananya basah. Jadwal kedatangan busnya masih sekitar dua jam lagi, dan di tengah langkahnya yang agak tergesa karena berkejaran dengan hujan, Sanghyun menepi di tempat yang memiliki aroma kopi paling kuat. Bel yang dipasang di atas daun pintu berbunyi pelan, tenggelam di antara suara air hujan yang turun begitu deras. Seorang pegawai perempuan dengan rambut panjang yang diikat rendah tersenyum, dan meminta payungnya untuk disimpan dengan payung lain di sudut ruangan. Sanghyun tersenyum sekilas sebelum memesan latte, dan duduk pada meja kecil yang paling dekat dengan kaca besar yang sisi lainnya terlihat basah karena hujan.

“Permisi, boleh aku duduk di sini?”

Pesanannya jelas belum datang dalam dua menit, tetapi suara yang menyapanya selain pegawai perempuan yang menyuruh payungnya disimpan adalah seorang laki-laki dengan kacamatanya yang sederhana. Bingkainya tipis berwarna hitam, dengan kaca yang nampak lebih tebal daripada kacamata yang umum dijumpainya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Sanghyun dapat melihat kerutan di sekitar mata yang biasanya ada ketika seseorang terlalu banyak tersenyum.

“Tentu, silakan saja.” Sanghyun tidak punya alasan untuk menolak, dia hanya mengangguk pelan sambil membalas senyum dan menegakkan tubuhnya sopan. “Anda sendirian? Tempat yang lain sudah penuh?”

Lelaki tersebut memandang Sanghyun dengan sudut matanya, kemudian mengangguk sambil melepas kacamata dan mengeluarkan sapu tangan untuk membersihkan permukaan kacamata yang sempat basah. “Begitulah, lagipula di luar hujan deras. Menunggu di hujan di depan halte pun pasti juga akan basah. Aku rasa warga Seoul tidak suka kehujanan.” Kacamata si lelaki asing dipakai kembali sementara senyumnya belum kunjung memudar, malahan semakin melebar seakan dia baru saja melihat sesuatu yang mengejutkan ketika kacamatanya selesai dibersihkan.

“Oh, anda seorang prajurit?” Kata-kata tersebut diucapkan dengan nada yang sedikit naik, barang kali terkejut, maupun takjub karena di hadapannya adalah seorang pemuda yang mengenakan seragam lengkap. “Hebat sekali, angkatan laut?” Semakin Sanghyun mendengarkan, semakin dia mengerti bahwa semua rangkaian kalimat dari lelaki asing ini terasa tidak familiar, barang kali karena aksennya yang terdengar aneh.

Sanghyun mengangguk, masih mencoba tersenyum tanpa menyadari bahwa dia sedang terbawa dalam sebuah basa-basi sederhana yang ditukar antar dua orang asing yang baru saja bertemu. “Sedang liburan, bukan?” Ada jeda yang diberikan karena seorang pelayan datang membawakan pesanannya beserta americano milik lelaki itu. Setelah mengangguk, dan berterimakasih, lawan bicaranya kembali melanjutkan tanya, “anda mengunjungi keluarga?”

Latte miliknya dibiarkan menganggur, dan Sanghyun menggeleng, “bukan, tapi kekasihku.” Senyumnya terpulas lagi tanpa disadari, sementara lawan bicaranya tertawa kecil sambil memegang cangkirnya dengan santai.

“Pasti menyenangkan sekali ya, punya kekasih.”

Komentar lelaki itu terdengar menggantung, ada hening yang sempat terisi di antara pembicaraan mereka berdua. Sanghyun tidak kunjung berujar, begitu pula dengan laki-laki yang ada di hadapannya. “Anda pasti punya, kan?” Dia mengucapkannya dengan tawa pelan. Perlahan-lahan, cangkir latte milliknya digenggam, coba untuk mengurangi canggung dengan sebuah gestur kecil.

“Ya, tentu saja aku punya, tapi itu dulu sekali,” jawab laki-laki itu. Sayup-sayup dia mendengar suara sesapan pelan dari lawan bicaranya. Sanghyun tidak bereaksi banyak, karena pandangannya kembali turun, dan sekali lagi cangkirnya hanya bisa diperhatikan. Semua terasa semakin canggung.

“Anda sudah tidak bersamanya?”

“Semacam itu.” Senyum si lelaki terpulas tipis, dan guratan di sekitar matanya semakin terlihat. “Sudah lama, tapi aku tidak pernah merasa kami berpisah.” Di tengah-tengah ramainya kafe dengan aroma kopi yang menguar kuat, Park Sanghyun seperti sedang mendengarkan sesuatu yang ujungnya tidak akan pernah bisa ditebak.

“Bagaimana bisa?” Sudah tidak bersama, tapi tidak berpisah. Sanghyun masih menebak-nebak makna dari jawaban si laki-laki, tetapi dia tidak kunjung menemukan jawaban yang tepat.

Lelaki itu tertawa pelan, sorot matanya tidak berubah, masih ringan, masih ramah. “Dia pergi  lebih dulu, meninggal, dan bagiku itu bukan perpisahan karena dia tidak pernah mengucapkan apapun.” Satu tangan si lelaki menopang dagu, nampak merasa lucu memperhatikan Park Sanghyun yang air mukanya terlihat tidak nyaman-barang kali merasa bersalah karena tidak sengaja membawa topik pembicaraan ini. “Anda tidak perlu takut. Jangan buat aku merasa bersalah karena anda terpaksa mendengarkan ini.” Tawa yang muncul, serta ramah yang masih tergambar rapi pada lawan bicaranya membuat pundaknya tidak terasa terlalu berat, dan kini Sanghyun mencoba mengangguk pelan.

“Bagaimana rasanya ditinggalkan?”

“Tentu saja berat.” Dahi lawan bicaranya berkerut, mungkin merasa lucu dengan pertanyaan Sanghyun. “Tapi bukan berarti tidak bisa dilalui, bukan? They’ll stay in your heart and painful memories create you now, so it doesn’t matter.” Helaan napas pendek lelaki itu menjadi sebuah awal dari pembicaraan yang menurutnya bisa dilalui tanpa larut dalam rasa bersalah. “Anda terlihat masih muda. Maaf saja kalau aku terdengar tidak sopan, tapi dari pertanyaan tadi, aku bisa menebak, anda belum pernah ditinggalkan?” Kata-kata lelaki itu tidak langsung diiyakan tetapi Sanghyun menunggu beberapa saat sampai mereka sama-sama meletakkan cangkir kembali di atas meja sebelum menangguk pelan.

“Ah, beruntung sekali karena ditinggalkan itu tidak menyenangkan.” Komentar lelaki itu datang lagi, dan Sanghyun mulai memperhatikan rambut hitam si lelaki yang disisir rapi meski tatanan rambutnya sama sekali tidak istimewa, barang kali terlampau sederhana. “Percayalah, anda tidak ingin merasakannya.” Segala potongan cerita yang datang tidak beraturan membuat Sanghyun menyimpulkan sendiri, bahwa laki-laki itu pernah mengalami masa sulit karena ditinggalkan.

“Aku rasa, aku tidak punya masalah untuk ditinggalkan,” katanya pelan, dan kalimat sederhana itu barang kali menarik perhatian lelaki itu. Sanghyun dapat merasakan tatapan si lelaki semakin tertuju kepadanya, tidak tajam, tetapi dia mendapatkan atensi penuh. “Aku dan Hanjoon akan bersama-sama sampai tua, sampai rambut kami memutih, kemudian Hanjoon akan meninggal dengan tenang mendahuluiku. Jadi dia tidak perlu merasa ditinggalkan.”

“Ah, itu nama kekasihmu.”

“Anda keberatan?”

“Sama sekali tidak.” Dagu si lelaki asing masih ditopang dengan lengannya yang kurus, dan dapat dirasakan tatapan lawan bicaranya mulai melunak. “Bahkan aku tidak punya cita-cita sampai ke sana.” Ada sebuah tawa pelan yang kembali terdengar. Sanghyun menyesap minumannya sekali sampai dia merasa laki-laki itu bersenandung pelan sambil menatap kaca besar yang ada di samping mereka berdua. “Menyenangkan sekali. I’m so jealous for both of you...”

Dan aku masih kasihan padamu, tapi Sanghyun tidak mengucapkan apapun. Mereka terus diam sampai hujan mulai reda. Lelaki itu berdiri lebih dulu setelah menghabiskan kopinya, “aku rasa aku harus pergi sekarang.” Sanghyun melihat bagaimana si laki-laki mulai membereskan barangnya dengan ringan, dan refleks pemuda ini ikut berdiri ketika lawan bicaranya mengambil satu langkah pendek untuk meninggalkan meja.

“Boleh aku tahu nama anda?”

Lelaki ini nampak terkejut, kemudian tertawa pelan. “Oh, iya kita sempat berbincang dan baru kali ini kita saling menanyakan nama. Tomo Kubota. Aku bukan dari Jepang, tapi Boston. Dan anda... ah, Park Sanghyun-ssi; begitu cara membacanya, benar? Senang bertemu denganmu.” Guratan senyum di sekitar mata dan bibir lelaki itu semakin terlihat jelas ketika membaca bordir namanya yang ada di dada. Sanghyun mengangguk pelan dalam canggungnya yang tidak terbendung. Akan tetapi, lelaki tersebut tidak mengatakan apapun selain menepuk pundaknya dan berlalu.

Dari kejauhan dia melihat sosok Tomo Kubota semakin jauh, semakin mengecil sebelum menghilang dari balik pintu kafe. Tepukan di pundaknya masih terasa sambil Sanghyun mengingat-ingat sesuatu. Barang kali dia bisa bertemu dengan lelaki itu di masa depan. Dan jika ada kesempatan kedua, maka kesempatan ketiganya dengan Tomo Kubota adalah untuk duduk bertiga dalam satu meja, bersama-sama dengan Hanjoon.
Previous post Next post
Up