Title: Pemecah Kacang
Author:
yoyocchiRating: G
Genre: general, family
A/N: dedicated to my late grandpa, tho he never had anything to do with nutcracker and walnut. It has been so long since I last visit his grave.
Summary: Seperti perangko dan surat, itulah Kakek dan pemecah kacangnya.
Dahulu, Kakek gemar memaka walnut, ditemani sebuah pemecah kacang untuk membuka kacang bercangkang amat keras itu. Pemecah kacang selalu menjadi teman setianya menyesap teh di teras depan di kala sore hari. Suka pula Kakek menggenggamnya terus selama menyaksikan tayangan bersemut di layar kaca.
Pemecah kacang adalah teman kebanggaan Kakek. Kakek rutin mengelap permukaa stainless steel-nya dan akan menyengir menunjukkan deretan giginya yang sehat saat kilauan tercipta dari pantulan cahaya lampu pada permukaannya yang telah bersih. Kakek akan mengacungkan pemecah kacang tinggi-tinggi di atas kepala berubannya dan memanggil semua cucu-cucunya yang tidak ingin melewatkan aksinya memecahkan walnut keras di tengah acara kumpul keluarga.
Kakek Pemecah Kacang, begitulah ia dikenal di dalam lingkaran keluarganya, oleh warga kampung sekitar, dan anak-anak badung yang dipergoki Kakek sedang berusaha menjatuhkan mangga dari ranting pohonnya yang menyeruak melewati pagar halaman dengan melempar kerikil. Anak-anak badung itu lantas jera, ngeri Kakek akan melakukan sesuatu dengan pemecah kacang yang diayun-ayunkannya sembari mengamuk keluar rumah untuk menghukum mereka. Namun di balik kegalakan itu, orang-orang mengenal Kakek sebagai sosok yang ramah dan berselera humor garing, tapi tetap mengundang tawa hangat dari mereka yang mendengarkan.
Kakek Pemecah Kacang akan selalu diingat dan dikenang.
Sampai pada hari Kakek harus berpulang.
Memisahkan Kakek dari pemecah kacangnya.
Jasad tua berlapis kain kafan itu pun tersimpan dua meter di bawah tanah merah gembur, sementara pemecah kacang terkubur di balik berbagai barang pajangan dan debu menumpuk di dalam lemari kaca ruang tengah. Ditempatkan di sana demi Kakek, tapi pada akhir pemecah kacang itu pun dilupakan eksistensinya. Ditinggalkan. Juga, hal yang tidak terelakkan, dimakan waktu.
Umurku dua-puluh-empat ketika mengunjungi rumah almarhum Kakek (yang sekarang ditempati keluarga adik perempuan Ayah) setelah tiga tahun lamanya. Aku datang membawakan cendera mata dari Inggris untuk Tante: dua buah piring keramik pajangan berlukiskan Crystal Palace dan Big Ben favoritnya.
Tante segera membuka lemari kaca dan menggeser sebagian pajangan di dalamnya, mencari ruang kosong untuk meletakkan sandaran piring pajangan. Mataku menangkap warna pera stainless steel ang nyaris tersembunyi di balik dua ornamen ukiran kayu berbentuk gajah.
Itu pemecah kacang milik Kakek, batinku mengenang. Kenanganku akan Kakek menghambur berdatangan seperti kabut. Kehadirannya tipis tapi masih terlihat. Aku ingat bagaimana dulu pemecah kacang itu bagai bagian utuh dari tangan Kakek. Bagaimana Kakek menekan-nekan pegangan kayunya sambil bercerita ngelantur tentang masa mudanya padahal di dalam mangkok sudah tidak ada lag walnut ntuk dipecahkan.
Pemecah kacang yang dulu berkilap setiap kali aku melihatnya, sekarang terbungkus debu kepasrahan. Titik-titik karat yang bermunculan mengingatkanku akan jasad Kakek yang kini mungkin sudah digerogoti habis hingga ke tulang-belulangnya. Bukan bayangan yang menyenangkan.
Seusai meletakkan piring pajangan pada sandarannya, Tante menutup lemari kaca, mengubur tuntas kembali sahabat Kakek di antara pajangan-pajangan yang sekarang bertambah dua buah, dan aku mohon pamit. Tanpa pikir panjang aku melempar anggukan kecil ke arah lemari kaca setelah salim ke Tante, lalu aku melangkah keluar.
Aku sadar ini terdengar luar biasa konyol, tetapi sesaat barusan, ada rasa iba yang membuatku tidak tega meninggalkan pemecah kacang itu berlarut dalam kesendirian, seolah-olah di luar kontrol logikaku, aku menganggap benda mati tersebut telah bermutasi menjadi makhluk berjiwa, berhati, dan beremosi.
KRAK.
Aku berhenti melangkah. Di sata yang sama membelalakkan mata dibawa kaget mendengar suara berkeretak barusan. Mengerikannya, aku serasa baru saja mendengar suara cangkan walnut yang dipecahkan almarhum Kakek dulu.
Yang benar saja.
Aku melirik ke bawah, ke sepatu pantoefel hitamku yang menginjak ebuah daun besar kering yang berserakan di jalan setapak halaman depan.
"Oh..." gumamku menyadari. Sekali lagi aku menginjak daun kering itu, mengeroposkan helai coklatnya dan menimbulkan suara renyah itu lagi.
Kekehan geli lepas dari mulutku, dan aku pergi meninggalkan rumah ini sembari membayangkan Kakek yang tampaknya sedang menikmat walnut ditemani pemecang kacang favoritnya di terasa surga sana.
Tamat.