pilar esoteris
word count: 978
rating: T
pairing: platonic!chanyeol/soojung
a/n: INI NGGAK USAH DIBACA. SERIUS. gue nggak puas banget sama hasil yang ini mo nanghez
"-dan dari kemarin wajahnya sangat datar, tidak ada emosi sama sekali. Seperti sudah tidak punya semangat hidup. Pikiran dan bicaranya juga mulai tidak keruan, macam 'Chanyeol, pernah membayangkan bagaimana jika ternyata kau sendiri yang membuat realitasmu sebagai sebuah 'realistas' yang kau kira benar-benar ada padahal tidak? Bagaimana jika ternyata semua ini hanya ada dalam realitasmu. Dalam kepalamu. Mungkin nyata, dan mungkin juga tidak?' atau 'Chanyeol, ingatkan lagi kenapa dulu aku memilih jadi penulis dan bukan idol' atau 'Chanyeol, aku ingin jadi capung saja' dan yang terakhir itu aku tidak tahu mau menanggapinya bagaimana." Garpu di tangan menusuk satu udang yang ada di dalam linguine pescatore, sebelum membawanya ke arah mulut. "Fase korsleting. Aku menamainya sendiri. Dan, yakin seratus persen, dia akan meledak besok pagi atau paling lama lusa."
Udang dimakan. Gurih dan asin yang khas. Linguine pescatore dari The Kitchen selalu menjadi favoritnya.
Park Chanyeol, masih mengunyah udang, dapat melihat wanita yang duduk di hadapannya tertawa. Samar. Hampir terbenam dengan suara piano yang menguar di restoran.
Rambut merah menyala. Mata yang melengkung seperti bulan sabit karena tertawa.
Chanyeol merasa bahwa mudah sekali bagi wanita itu untuk mencuri fokus perhatian tanpa perlu berusaha.
"Tidak lucu, Soojung." Chanyeol menggerutu, sembari mengambil linguine dengan garpu. "Kurasa kau harus melihatnya sendiri: Fase Korsleting dan Fase Puncak dari Masa Writer's Block Kim Jongdae alias Chen."
Soojung hanya mengangkat sebelah alis, seringai tipis di bibir, sebelum kembali berkutat dengan jamur truffle hitam yang ada dalam Fettucine con Tartuffo e Asparagi pesanannya. "Kau bicara seperti itu tapi aku yakin kau akan tidak akan pergi ke tempat lain besok."
Chanyeol hendak membantah tetapi tidak menemukan apapun sebagai bantahan.
Karena memang itu yang akan ia lakukan besok.
Tidak ke mana-mana dan akan mendengarkan semua yang dikoarkan oleh Jongdae.
"Sepertinya aku sudah kelewat terbiasa meladeni Jongdae." Hela napas, meski bibirnya tidak bisa untuk tidak membentuk cengiran, begitu menyadari bahwa kenal Jongdae dari masa mereka masih bocah yang hobi menekan bel tetangga sudah membuat dia kebal terhadap semua tingkah laku laki-laki satu itu. "Entah itu hal yang baik atau buruk."
Sejenak, mereka sibuk dengan makanan masing-masing. Denting piano mengisi jeda bicara.
Adalah suatu hal yang rutin bagi Soojung dan Chanyeol untuk makan malam bersama di hari Jumat setiap minggu terakhir di satu bulan.
Direkrut W Korea dalam waktu berdekatan, memiliki usia yang juga berdekatan, sering bertemu karena pekerjaan, hingga akhirnya mereka menempati posisi sebagai pemimpin redaksi dan manajer pemasaran-semua itu lebih dari sekadar cukup untuk membuat kolega menjadi teman.
"Bicara soal Chen-" Soojung memulai konversasi kembali "-aku bertemu seseorang saat liburan. Kami sempat membicarakannya."
"Oh? Dia penggemar Jongdae?"
"Bukan dia. Orang yang dia kenal. Dia mengatakan bahwa kenalannya itu sudah menunggu lama karya Chen yang baru."
Chanyeol mendengus pelan.
"Aku kadang merasa kasihan dengan penggemar Jongdae. Tidak tahu wajahnya, tidak bisa hadir acara book signing karena Jongdae tidak mau membuat acara yang bisa mempublikasikan wajahnya, dan sekarang tidak tahu harus menunggu berapa lama untuk mendapatkan karya dia yang baru."
"Paling tidak Jongdae belum membuat penggemarnya menunggu selama lebih dari 50 tahun seperti Harper Lee."
"Belum."
Chanyeol mengunyah lamat-lamat, gerigi otak entah mengapa bergerak membayangkan mengenai Soojung yang membicarakan buku buatan Jongdae dengan orang asing.
Hampir tidak sadar, dia mengucapkan apa yang sedang ada dalam pikiran, "Menarik."
Kerenyit di dahi lawan bicara.
"Maksudku kalian. Kau dan orang yang kau kenal saat liburan. Bisa terhubung karena sebuah buku."
“Dengan atau tanpa buku, pada dasarnya manusia memang saling terhubung.” Soojung menjawab, mengedikkan bahu tidak acuh. “Aku kenal denganmu, kau kenal dengan Jongdae, Jongdae punya kenalan penulis lain, penulis lain punya kenalan seorang editor, editor itu punya teman, teman editor punya kakak, kakak editor bisa saja karyawan di W Korea dan merupakan bawahanku di bagian redaksi. Kita semua saling terhubung.”
Satu anggukan singkat tanda setuju.
"Atau-" jeda sejenak yang dipakai oleh Soojung untuk menatap Chanyeol. Bukan tatapan yang membuat nyaman. "-bagaimana Joohyun bertemu dengan Sehun, melaluimu."
Gerakan tangan Chanyeol terhenti.
"Oh... iya." Perutnya dibetot tangan-tangan tidak terlihat. "Itu, um, benar juga."
Hanya satu orang yang tahu. Dan, Chanyeol yakin betul bahwa Jongdae tidak akan memberitahu.
Soojung masih menatap Chanyeol. Mengkalkulasi. Tapi Chanyeol menyibukkan diri dengan linguine pescatore miliknya seolah itu adalah hal paling menarik di dunia.
"Kau akan datang?"
"Tentu saja. Dia rekan kerja kita."
"Begitu?"
Chanyeol tidak menjawab.
Tangannya yang sedang menggulung linguine merasakan keberadaan tangan lain. Jemari kurus, berhias cat kuku warna hitam, dan menghantarkan hangat. Seperti berusaha mengatakan, "Tidak apa. Aku tahu. Aku mengerti."
Tenggorokannya terasa kering.
"Kau tahu kan kalau aku juga akan datang?"
"Aku tahu."
"Dan kau tahu kalau aku akan menemanimu minum, jika kau mau?"
Kali ini, Chanyeol mengangkat wajah. Balik menatap. Dia tidak menemukan pretensi. Hanya ada seorang wanita yang paham dan menerima. "Trims, Soojung."
Soojung hanya tersenyum tipis, menarik tangannya kembali.
Denting piano mengisi jeda.
"Aku sering berpikir bahwa akan mudah sekali jika aku menyukaimu."
Chanyeol berkata usai mereka menghabiskan pasta pesanan mereka. Menunggu hidangan penutup.
Soojung menopang dagu dengan satu tangan. "Sayangnya, kau tidak bisa."
"Dan kau juga tidak bisa."
"Untuk alasan berbeda."
“Yaitu?”
“Aku tidak bisa. Bukan hanya padamu. Tapi pada semua orang yang kutemui."
Chanyeol ingin menyanggah.
Ingin mengatakan bahwa bukan tidak bisa, tapi belum. Kau mungkin belum menemukan orang yang tepat. Kau mungkin belum menemukan waktu yang tepat. Kau-
Sanggahan berhenti di ujung lidah.
Seorang pelayan datang menghidangkan makanan penutup. Creme Brulee e Frutta untuknya dan Monte Bianco untuk Soojung.
Chanyeol menghela napas panjang.
"Pada akhirnya, kita sama saja. Sama-sama bermasalah."
"Chanyeol," suara itu terdengar lepas, tanpa beban, "aku lebih suka tidak menyebutnya masalah. Kita hanya berbeda. Itu saja, kurasa."
Rambut merah menyala. Sepasang mata atraktif. Mencuri fokus perhatian tanpa perlu berusaha.
Chanyeol sering berpikir bahwa akan mudah sekali jika ia bisa menyukai Soojung. Tetapi ia tidak bisa.
Dan, ini-makan malam bersama di hari Jumat setiap minggu terakhir di satu bulan dan membicarakan apapun yang bisa dibicarakan-bagi Chanyeol sudah cukup.
Lebih dari cukup.