the same old story; 1/?

Aug 14, 2012 12:47

chap; o1
kris/luhan
pg-13; au, general, high school
notes: written in bahasa; 2400 words; summmary.


Bunyi rintik hujan terdengar bagai nyanyian parau seekor bangau kesakitan ditelinga seorang lelaki muda, manis dan tampan yang sedang menatap dua gundukan tanah baru yang basah itu tanpa ekspresi. Dia tidak memperdulikan tubuhnya yang hanya berbalut kemeja hitam tipis dan celana jeans berwarna gelap, dialiri tangisan langit siang itu. Pikirannya jauh menerawang ke angan-angan; ingatannya tidak lepas dari dua pasang insan manusia yang kini tengah dalam perjalanan ke alam lain; alam yang ia takkan pernah bisa ikuti. Ia menggigit bibir bawahnya saat hati kecilnya merasakkan luka yang luar biasa hebat. Menutup mata indahnya yang berwarna kecokelatan, setetes air mata pun jatuh bersamaan dengan rintik hujan melankolis yang masih setia menemaninya.

"Ayah.. Ibu.." ucapnya lirih sambil mengepalkan jemarinya kuat2, dia merunduk, "apa yang harus kulakukan tanpa kalian?" dan hanya hembusan angin hangat ditengkuknya yang menjawab.

Beijing, 20 April.

Dua pasang mata indah nan sayu pun terbuka perlahan saat burung-burung gereja menyanyikan irama pagi hari dengan riang diluar sana. Mentari menyapu tubuhnya yang langsing dengan sinar hangat penuh kasih, membuatnya tersenyum kecil dan menggeliat di atas kasur. Dia menatap langit-langit rendah kamarnya yang penuh dengan corak sembarang yang menyerupai awan-awan berwarna cokelat kotor, setelah mendesah dengan berat ia pun tersenyum pahit, “selamat ulang tahun, Xi Lu Han!” gumamnya pada dirinya sendiri sebelum akhirnya bangun dan membereskan tempat tidurnya dengan semangat yang dipaksakan. Setiap hari selalu seperti ini, menunggu burung gereja bernyanyi, membuka mata, membereskan tempat tidur, menyapa Bibi Shi Shun dengan senyuman tulus, belajar di sekolah dan membanting tulang di tempatnya bekerja paruh waktu.

Tapi hari ini berbeda, ini hari ulang tahunnya. Ulang tahun ke-17; ulang tahun kedua yang dilewatinya tanpa kehadiran orang tua yang amat dicintainya. “Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Ayah dan Ibu tetap merayakan ulang tahunku di atas sana, ya kan?” Gumam Lu Han sambil mengusap poto kedua orang tuanya yang terpampang indah di meja kecil di sebelah kiri ranjangnya. Dia tersenyum sedih, menahan butiran air dimatanya yang siap mendarat di bingkai foto yang sudah usang itu. “Aku merindukan kalian.” Ucapnya lirih sebelum menyahut panggilan Bibi Shi Shun yang mengetuk kamarnya pelan.

***

“Luuuu Haaaaaan! Selamat pagiiiii!” Xi Lu Han mendesah kecil saat mendengar namanya dipanggil dengan luar biasa keras oleh temannya yang sedang berlari menghampirinya. “Hai!” sapa Lu Han seadanya dan langsung mendapat pukulan ringan dibahunya.

“Kenapa kau lemas sekali, bodoh? Ini kan hari ulang tahunmu.” Xi Lu Han pun tersenyum menatap temannya yang berambut hitam kelam tersebut. “Ah, ternyata kau ingat ya, Tao.” Huang Zi Tao mendengus dan berkacak pinggang, berpura-pura marah.

“Tentu saja aku ingat. Dasar kau ini.” Luhan tertawa kecil sementara Zi Tao mengambil sesuatu dari saku celana seragam sekolahnya. “Ini!” serunya, mengulurkan sesuatu persegi panjang dengan bagian atas yang meruncing membentuk segitiga, seperti jimat.

“Hm? Apa itu?” kata Lu Han mengambil dan mengamati benda yang baru saja Zi Tao berikan. Dia melipat dada dengan angkuh, “seperti yang kau lihat. Itu hadiah ulang tahunmu.” Katanya. Dan sedetik kemudian terdengar tawa keras dari mulut kecil Xi Lu Han. Huang Zi Tao pun spontan mengerutkan keningnya.

“Pffft- ji- jimat? Ah, yang benar saja Tao! Kau ini hidup dijaman apa, sih?” ujarnya sambil memegangi perutnya yang sakit akibat tawanya tadi. Zi tao memelototinya kesal. “Aduh pipiku sakit! Sudah lama gak tertawa seperti ini haha,” ucapnya seraya mengusap kedua pipinya dan Zi Tao pun terbelalak sesaat sebelum akhirnya tersenyum kecil saat merasakan hangat dihatinya melihat sahabatnya tertawa sebegitu lepas.

‘Memang sudah lama kan, Lu Han?’

Zi Tao berumur 15 tahun itu menangis, memeluk seseorang anak lelaki sebaya yang bukan lain adalah sahabatnya. ‘Bodoh! Mengapa aku yang menangis?’ dia mempererat pelukannya pada Lu Han yang hanya termenung menatap pamannya, Xi Tein Lee. Kata ‘bohong’ yang diucapkan berkali-kali oleh Lu Han serasa menusuk kedalam hatinya.

“Sudah, Lu Han! Cukup! Mana mungkin paman Lee bercanda tentang hal seperti itu.” Ujar Zi Tao sambil tersedak oleh tangisannya. Dan Lu Han pun menangis, “Ayah.. Ibu..” ucapnya lirih bersamaan dengan air matanya yang mulai berjatuhan. Tangannya kini melingkari tubuh Zi Tao yang masih memeluknya. “Tao, tolong aku. T-tao,” Huang Zi Tao hanya bisa memeluknya lebih erat.

“-o! Tao! Hey! Kau melamun ya?”

Huang Zi Tao terperengah, mengedipkan matanya beberapa kali lalu tertawa canggung, “maaf, maaf.” Gumamnya. Lu Han mengernyitkan wajahnya, mengejek Zi Tao sebelum akhirnya mengamati jimat ditangannya tersebut.

“Jaga baik-baik ya!” Lu Han menoleh, memandang Zi Tao yang langsung menganggukkan kepalanya pada jimat berwarna coklat muda itu, ”jimat itu. Sebenarnya nenekku yang menyuruhku untuk memberikannya padamu. Dia bilang ramalanmu buruk sekali akhir-akhir ini, kau mungkin akan kena sial berturut-turut. Kau tau kan bagaimana nenekku?” Zi Tao mengangkat bahu dan membalikkan badannya mulai berjalan menuju kelasnya.

Xi Lu Han mengernyit, menafsirkan apa yang baru saja diucapkan oleh sahabatnya itu, kemudia menyusul Zi Tao yang sudah berjalan beberapa langkah lebih dulu didepannya, “kejam sekali ramalan nenekmu itu. Yah, mudah-mudahan saja kesialanku nanti tidak berimbas juga pada dompetku. Dia sudah cukup sial.” Zi Tao pun tertawa.

***

Xi Lu Han mengetukkan pulpen di bangkunya, menopang dagu. Raut wajahnya yang seperti boneka itu menyiratkan kebosanan. ‘Kesialan berturut-turut, ya? Memang ada yang seperti itu?’ pikiranya, menahan tawa. Dia lalu mengeluarkan jimat yang baru saja diberikan Zi Tao dari saku celananya. Mengamati benda tersebut untuk beberapa saat dan dia merasa seperti orang bodoh.

“Mana mungkin hal yang seperti itu ada.” Gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya yang tidak gatal. Xi Lu Han memang bukan orang yang paling beruntung sedunia tapi dia tetap menganggap dirinya beruntung bagaimana pun juga. Ditinggalkan kedua orang tua bukan berarti akhir dari segalanya, dia tau benar akan hal itu. Walaupun dua tahun lalu dia benar-benar berantakan, tapi terima kasih kepada pamannya, Xi Tein Lee. Terima kasih? Dia tertawa masam. Apa yang harus diterima kasihi untuk orang tamak macam dia.

‘Harta peninggalan ayahku, kau bawa semua. Dasar brengsek! Awas saja kau Tein Lee, aku akan mengambil lagi apa yang memang milikku. Milik ayahku.’ Dia menggertakan giginya mengingat saat pamannya meninggalkannya seorang diri di kota besar ini, menganggap Lu Han tidak menghargainya dan malah mencurigainya telah mencuri harta milik Ayahnya.

‘Memang segalanya darimu itu mencurigakan. Cih! Aku kesal sekali kalau sudah ingat tentang orang itu.’ Xi Lu Han pun menghela nafas panjang sebelum mengangkat tangan kanannya tinggi.

“Ya, Lu Han?” Tanya guru matematikanya sambil membetulkan letak kaca mata di hidungnya dengan jari telunjuk.

“Aku tidak enak badan, Bu.” Ujar Lu Han memelas, Bu Xiao Ling pun menganggukkan kepalanya dan memerintahkan ketua kelasnya untuk mengantar Lu Han, tapi Lu Han sudah lebih dulu keluar kelas.

'Memangnya aku anak TK harus diantar segala?' Omelnya dalam hati.

***

Bunyi derap langkah kaki beberapa orang terdengar seirama di koridor sekolah yang sepi. Lelaki tinggi berambut pirang itu melepaskan kaca matanya, mata almond berwarna kecoklatannya menoleh ke kanan kiri MiYun High School ini. Dua orang dibelakangnya pun tersenyum menatapnya.

“Bagaimana? Kau suka sekolah ini, Kevin?” Tanya seorang pria berumur sekitar 40 tahunan berambut coklat menyala yang daritadi berjalan di belakangnya bersama dengan Kepala Sekolah.

“Don’t call me that, Dad!” ujarnya dengan bahasa inggris yang fasih. Pria berkebangsaan Jepang-Prancis yang disebut Dad pun tersenyum simpul, “sorry, Wu Fan?” katanya, lebih ke bertanya. Kepala sekolah yang sedari tadi diam pun berdehem pelan.

“Kau tinggi sekali, nak Wu Fan. Cocok sekali untuk jadi pemain basket. Ah, atau mungkin kau memang atlet basket? Sekolah kami ini memang terkenal dengan tim basketnya. Mereka pasti akan sangat senang jika kau ikut bergabung.” Ujar sang kepala sekolah itu ramah.

Lelaki tinggi yang dipanggil Wu Fan itu pun tersenyum tipis, menolehkan kepalanya sedikit lewat bahunya, menatap Kepala Sekolah dengan ramah, “maaf mengecewakan anda, Bapak Kepala," ujarnya sopan. Bapak Kepala Sekolah menekuk lehernya sedikit, penasaran dengan apa yang akan di katakan lelaki tampan yang dipanggil Wu Fan tersebu.

"But I hate Basket Ball so much, mendengar kata itu saja sudah membuatku mual.” Lanjutnya datar.

“A- ah, begitukah? Sayang sekali padahal kalau dilihat-lihat kau cukup berpotensi untuk jadi pemain hebat. Tapi yah, kalau memang tidak tertarik itu wajar. Orang kan memang mempunyai kesukaan yang berbeda begitu pun dengan olah raga, kan?” Wu Fan hanya tersenyum sopan, mengangguk lalu memicingkan mata pada ayahnya yang tersenyum penuh arti.

“Ah! Pak Kepala! Bukannya anda ada rapat dengan komite sekolah hari ini? Kami tidak keberatan ditinggal sendiri untuk melihat-lihat.” Ujar Ayah dari Wu Fan dengan girang.

“Hahaha apa yang anda katakan? Anda kan juga harus menghadiri rapat ya kan, Bapak Ketua Komite?” yang disebut Ketua Komite pun tertawa malu dan memanyunkan wajahnya seperti anak kecil.

“Tidak bisakah aku bolos? Aku ingin menemani anakku tersayang mengelilingi sekolah milik Ayahnya yang renta ini.” Gumamnya sedih.

“Sudah pergi saja sana, Bapak Tua! Aku bisa lihat-lihat sendiri kok, stupid Yo!” Ucap Wu Fan dingin sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana jeans-nya. Kepala Sekolah ternganga mendengarnya dan Ayahnya yang Bernama Yoshiki Hayashi itu pun memegang dadanya dengan ekspresi wajah sedih yang luar biasa dibuat-buat bagai aktor ternama.

“Dingin sekali, anakku.” Ucapnya mendramatisir keadaan, Wu Fan hanya menghela nafas dan mulai melangkah untuk meneruskan acaranya melihat-lihat sekolah yang lumayan besar ini lalu melambaikan tangannya malas pada Yoshiki yang masih dirundung kesedihan.

Kepala Sekolah pun menepuk pundak Yoshiki simpatik, “tidak apa-apa, pak. Anak seumur nak Wu Fan memang sering begitu.” Yoshiki menyeringai dan membuat tanda peace dengan jarinya, “bohong kok!” Katanya seraya tertawa kencang dan berloncat-loncat kecil menuju ruang rapat komite. Kepala Sekolah hanya bisa mengusap jidatnya yang berkeringat secara tidak normal hari itu.

***

Xi Lu Han berjalan lunglai di taman sekolah sambil sesekali melirik indahnya warna-warni bunga di kanan kirinya, dia menghela nafas dan merunduk. “Ulang tahunku hambar sekali, bagai sayur tanpa merica.” Gumamnya ngawur. “Bagai ikan tanpa ketumbar,” lanjutnya, “bagai bubble milk tea tanpa susu,” dia menggigit bibir bawahnya, “bagai Lu Han tanpa Kr-“ dia pun menggelengkan kepalanya kencang-kencang. Wajahnya memerah dan jantungnya berdegup kencang.

“Gawat. Gawat.” Ujarnya sambil mengepalkan telapak tangan didadanya. Mengapa dari sekian banyak orang yang ia kenal, ia harus memikirkan dirinya dan dia? Seperti tidak ada orang lain saja. 'tapi, memang gak ada yang seperti dia,' batinnya.

Dia adalah seseorang yang Lu Han kagumi disaat ia masih duduk di bangku SMP. Pemain basket nomor 1 tingkat SMP di China. Seorang MVP yang menghilang secara misterius, tepat keesokan harinya setelah turnamen selesai. Tidak ada satu pun media yang berhasil mengetahui apalagi meliput kepergiannya. Bagaikan hilang terbawa angin musim semi, tak ada jejak sedikit pun tentang keberadaannya; bagaikan tanah yang tersiram rintik hujan.

Xi Lu Han menghela nafas lagi untuk kesekian kalinya hari itu. Kakinya tetap melangkah ketika pikirannya membawanya kembali ke dua tahun lalu, saat turnamen final bola basket antar SMP tingkat Nasional berlangsung. Sosok itu begitu gagah, menguasai lapangan. Mendribble, dan menembak bola ke ring lawan. Lompatannya, caranya berlari, caranya melakukan dunk, semua membuat Xi Lu Han yang diam di bangku penonton itu terkesima.

Teriakan para supporter di lapangan saat itu terasa nyata, seperti baru kemarin terjadi. Suara tiupan peluit dari wasit masih bergema di telinganya, dan wajah pemaen bernomor punggung 11 ketika mengangkat kedua tangannya yang mengepal tinggi-tingi saat meneriakan kemenangan masih terbayang dengan sangat jelas dibenaknya. Kulit gelapnya yang berkeringat itu terlihat berkilauan di mata Lu Han saat itu.

Dia pun tersenyum mengingat semua hal itu tapi sedetik kemudian ekspresinya berubah ketika dia mengepalkan tangan dan menggertakan giginya.

"Si brengsek itu," gumamnya, "si brengsek itu pergi menghilang begitu saja! Bukannya disetiap wawancara dia selalu bilang ingin bergabung dengan tim nasional? Bukannya mimpinya itu untuk bisa menjadi pemain NBA sungguhan di Amerika? Dan kenapa juga aku harus mengagumi pembohong seperti itu? Aku bahkan gak mengenalnya. Menyebalkan! DASAR PENGECUUUUUT!" Umpatnya keras menatap langit.

"Siapa yang kau sebut pengecut?"

Pertanyaan santai itu membawa Lu Han untuk menolehkan kepalanya secepat kilat ke arah sumber suara. Kaget, itulah yang dirasakannya. Matanya membesar ketika dia melihat sosok lelaki tinggi yang memakai kemeja berwarna putih dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana jeans berwarna gelapnya, menatap panjang pada ring di lapangan basket outdoor di SMA MiYun itu.

"Kau?" Pekik Lu Han. Lelaki itu pun menaikkan sebelah alis tebal berwarna coklatnya.

"Ya?" Jawabnya santai, masih tetap menatap ring basket.

"Siapa kau?" Tanya Lu Han dengan polosnya. Dan pertanyaan itu membawa lelaki tersebut untuk spontan menoleh ke arahnya.

"Hah?" Ujarnya. Lu Han menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu membungkukan badannya sopan.

"H- hai! Aku Xi Lu Han. Bukan kau yang ku maksud.". Ujarnya sebelum mengangkat kembali badannya yang tadi merunduk.

Lelaki berkemeja putih itu pun mengerutkan alis, "bukan kau yang ku maksud? Masksudmu?" Lu Han menggigit bibir bawahnya panik.

"Kau bukan pengecut. Ya, ya, itu maksudku. Aku tidak berteriak pengecut padamu. Kau saja yang kebetulan ada disini. Jangan salahkan aku." Kata Lu Han cepat-cepat sebelum lelaki tersebut salah kira. Lelaki berambut blonde yang dimaksud itu pun menundukkan kepalanya sesaat sebelum akhirnya menoleh kembali pada Lu Han yang sedang berdiri gelisah, dan tersenyum.

"Wu Yi Fan." Ucapnya lembut. Dan Lu Han pun menatapnya aneh, membuat Wu Fan tertawa kecil kemudian menghampirinya.

"Aku Wu Yi Fan, panggil saja Wu Fan." Katanya ketika ia sampai dihadapan Lu Han yang masih bengong menatapnya dengan wajah lugu.

"A-ah, ya. Wu Fan. Senang bertemu denganmu." Jawab Lu Han tiba-tiba tersipu.

"Me too." Ujarnya berseringai tipis, sebelum menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Lu Han.

Kejadian itu terjadi sangat cepat, dan Lu Han merasa ingin pingsan begitu saja ketika tubuhnya terasa hangat dan berani ia mengatakan, nyaman, saat tangan besar yang baru saja dijabatnya itu tiba-tiba menarik dan melingkari tubuhnya. Matanya terbelalak kaget, membulat lebih besar dari biasanya.

'A- apa-apaan ini?!'' Teriaknya dalam hati saat Wu Fan mempererat pelukannya di tubuh Lu Han. Suara bel istirahat terdengar samar-samar ditelinganya, begitu pun bunyi derap langkah kaki para murid yang berlarian dari kelas masing-masing menuju kantin yang sialnya, melewati lapangan outdoor ini. Pekikan dan cekatan nafas tak percaya dari bibir para murid SMA MiYun yang melihat adegan tersebut pun luput dari pendengarannya.

"You smells like roses. It soothes me." Gumaman bahasa asing dari bibir seseorang yang meperkenalkan dirinya sebagai Wu Yi Fan itu membuat Lu Han sadar dari keadaannya yang tak berdaya barusan. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh yang dua kali lipat lebih besar itu dan langsung menatap orang dihadapannya dengan raut wajah tak percaya.

Wu Fan berseringai tipis lalu memasukkan kembali kedua tangan ke saku celananya, menatap Lu Han dengan perasaan terhibur yang aneh sebelum mengucapkan, "see you tommorow, Lu Han."

Seketika badan Lu Han terasa lumpuh dan ambruk begitu saja di pinggir lapangan basket, matanya masih menatap kosong pada punggung Wu Fan yang kini telah berjalan menjauh darinya, tidak menghiraukan sama sekali teman-teman sekelasnya yang sekarang menghampirinya dengan cemas.

'Siapa dia?'' Hati kecilnya bertanya.

o2. two

! fanfiction

Previous post Next post
Up