chap; o2
kris/luhan
pg-13; au, general, high school
notes: written in bahasa; 1782 words.
oo.
summary | o1.
one “Apa kabarmu hari ini? Hm? Sukurlah kalau begitu. Kau tau, hari ini aku akan membawakan hadiah yang terbaik untukmu, oke?” lelaki tampan berkulit sawo matang-tetapi-agak-kusam karena paparan sinar matahari itu pun tersenyum simpul, “aku berjanji akan membawanya kesini. Aku berjanji. Aku mencintaimu.”
“Aku pun mencintaimu~” Nada mesra yang terlontar dari mulut jahil seorang pria blasteran Jepang-Prancis pun sukses membuat lelaki berwajah dingin itu membelalakan matanya secepat kilat sebelum kemudian cepat-cepat ditutupnya kembali karena mentari yang menyapa alam semesta dengan riang menerobos masuk lewat jendela kamarnya.
“What the hell, Dad?!” ucapnya sambil mengusap matanya, merasa terusik. Pria yang dipanggil Dad itu pun tersenyum jahil. “Kau terlalu imut saat bangun tidur, kau tau?” ujarnya.
“Tsk!” Wu Fan tersinggung.
“Well, well it’s time to get up now, pretty boy~ We need to go to school, remember?” Yoshiki bersiul riang sambil mengambil selimut yang masih menutupi badan Wu Fan lalu melipatnya dengan rapi. Wu Fan berdehem kecil, membersihkan tenggorokannya lalu mengangkat badannya untuk bersandar pada pangkal ranjang, ia menggigit bibir tipisnya.
“Aku memimpikannya lagi.” ucapnya pelan hampir tak bersuara. Ayahnya serta merta berhenti bersiul. sebelah alisnya terangkat mendengar topik yang mereka berdua ketahui adalah sensitif, “oh, ya?” Ia mencoba untuk bersikap antusias, “mimpi macam apa?” Lanjutnya.
“Bukan apa-apa. I’ll get dressed now, get out of my room!” Wu Fan beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi kamarnya; melewati ayahnya yang memanyunkan bibir seperti anak kecil yang tidak dibolehkan ibunya untuk membeli es krim di taman.
“Dingin sekali~” gumam Yoshiki kekanakan. Wu Fan memutar bola matanya sebelum akhirnya menutup pintu kamar mandi dengan suara blam yang nyaring.
“He’s indeed upset.” Yoshiki menghela nafas. “my liittle boy, kapan kau mau menghapus kenangan itu?” gumamnya lirih, sebelum akhirnya meninggalkan ruangan berwarna biru muda itu dengan ranjang yang baru setengah beres.
***
“Welcome to my schoooooollllll!” Pria yang masih berprilaku kekanakan diumur ke-40 tahunnya itu membentangkan tangannya dengan lebar di depan gerbang sekolah yang ia akui adalah miliknya tersebut. Membalikan badan, ia lalu melepas kaca mata hitam dan memberikan cengiran lebar pada si lelaki tinggi berhidung mancung dibelakangnya yang hanya menghela nafas melihat kelakuannya.
“Not bad.” Gumamnya dingin ketika badan mereka berpapasan. Yoshiki tersenyum puas lalu menyusul Wu Fan yang sekarang telah memasuki pintu gerbang sekolah SMA MiYun. Mereka ternyata telah disambut oleh Kepala Sekolah di dalam gerbang. Setelah beramah tamah sesaat, mereka pun memulai penelusuran kecil di SMA MiYun yang dengan bangganya mendapat julukan SMA kedua terbaik dalam hal Olah Raga Basket.
Wu Fan memicingkan matanya ketika mendengar ucapan Kepala Sekolah yang menawarinya untuk mengikuti Basket Ball Club di SMA MiYun, "but I hate Basket Ball so much, mendengar kata itu saja sudah membuatku mual.” Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya.
Sebenarnya ia merasa tidak enak untuk mengatakan hal dingin seperti itu kepada Kepala Sekolah, tapi mau bagaimana lagi, ia amat sangat membenci Olah Raga Basket. Olah Raga terkutuk, kalo dia boleh bicara. “God forbid me playing basket ball, seriously. Lebih baik aku mati.” pikirnya. seraya mengepalkan tangan kanannya yang langsung berubah warna menjadi pucat.
Lamunannya terusik ketika ia mendengar suara menyebalkan -menurut pendapatnya- ayahnya yang terdengar nyaring. “…ak keberatan ditinggal sendiri untuk melihat-lihat.”
“Hahaha apa yang anda katakan? Anda kan juga harus menghadiri rapat ya kan, Bapak Ketua Komite?” yang disebut Ketua Komite pun tertawa malu dan memanyunkan wajahnya.
“Tidak bisakah aku bolos? Aku ingin menemani anakku tersayang mengelilingi sekolah milik Ayahnya yang renta ini.” Gumamnya sedih. Wu Fan memasang wajah kesal.
“Sudah pergi saja sana, Bapak Tua! Aku bisa lihat-lihat sendiri kok, stupid Yo!” Ucapnya dingin seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana jeans-nya. Kepala Sekolah ternganga mendengarnya dan Yoshiki pun memegang dadanya dengan ekspresi wajah sedih yang luar biasa dibuat-buat bagai aktor ternama.
“Dingin sekali, anakku.” Ucapnya mendramatisir keadaan.
Wu Fan hanya menghela nafas dan mulai melangkah untuk meneruskan acaranya melihat-lihat sekolah yang lumayan besar ini lalu melambaikan tangannya malas pada Yoshiki yang masih dirundung kesedihan.
‘Bagaimana bisa orang bodoh, tua dan menyebalkan itu menjadi ayahku?’ Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu tiba-tiba tersenyum kecil tanpa alasan, 'tapi aku berhutang banyak sekali padamu ya kan, Ayah?' Langkah kakinya yang ia bebaskan untuk berkeliaran pun membawanya pada sebuah lorong dengan sisi kanan yang terbuka langsung menunjukan lapangan basket outdoor SMA MiYun. Ia mendesah kesal, secara mental memarahi kakinya yang membawanya ke lapangan itu.
Matanya melirik pada ring basket yang catnya telah memudar. Menatapnya dalam sampai pada akhirnya ia mengalah dan membiarkan kakinya untuk membawanya lebih dekat pada ring tersebut dengan seijin hatinya. ‘apa yang kulakan? Sialan!’ walaupun pikirannya berkata seperti itu tapi tidak ada yang dapat menghentikan kakinya untuk melangkah mendekati ring yang entah mengapa terasa begitu jauh.
Langkah ke 34 kali telah menutup perjalanan kecilnya tadi, kini ia berada tepat didepan ring tersebut. menatapnya dengan sebuah tatapan yang sulit untuk dideskripsikan, terus dan terus menatap benda mati tersebut sampai telinganya mendengar suara seseorang meneriakinya, menyebutnya sebagai seorang pengecut. Dan tiba-tiba jantungnya berdetak kencang, ia tercekat, merasakan pembuluh darahnya yang berubah mendidih. Entah mengapa kata-kata itu sangat mengganggunya, serasa melukai harga dirinya. Ia ingin marah, tapi…
"Siapa yang kau sebut pengecut?" matanya terbelalak sedikit ketika ia menyadari bahwa kata-kata dingin yang terlontar barusan itu berasal dari mulutnya sendiri. ‘damn!’ Ia menghujat dalam hati -merasa gagal karena telah membiarkan dirinya dikendalikan perasaan- sebelum akhirnya menolehkan lehernya ke samping ketika orang yang berteriak pengecut tadi memekik, menyebutkan kata, “kau?” dengan kaget.
“Ya?” jawabnya, mencoba untuk terlihat santai dan tak acuh.
“Siapa kau?” Tanya seseorang yang ternyata adalah lelaki polos yang masih menatapnya heran dengan mata bulat indah, seperti boneka. ‘he’s cute.’ pikir Wu Fan dalam hati. Mata indah dan bulat yang terlihat panik itu telah memberinya perasaan tentram yang hangat tanpa ia tau alasannya.
Atas dasar itulah seorang berumur 19 tahun ini berani untuk mengambil langkahnya mendekati sang rusa manis yang nampak tidak enak hati dihadapannya. Entah mengapa semakin ia melihat kepanikan itu semakin besar pula keinginannya untuk menggoda si lelaki mungil. Dia bukanlah seseorang yang senang menjahili orang lain tapi lelaki dihadapannya ini, ia merasa seperti ada suatu magnet yang menariknya untuk mendekat. Tanpa memikirkan buruk atau tidak akibat dari perbuatannya, dia secara reflek menarik tangan halus yang sedang dijabatnya itu untuk mendekat dan kemudian melingkarkan tangan satunya untuk mendekap lelaki manis tersebut yang kini merasa kaget dan bingung luar biasa.
Hanya beberapa detik berlangsung, dia merasakan tubuh tinggi dan besarnya didorong sekuat tenaga oleh rusa kecil tersebut sesaat setelah ia mengatakan rasa nyaman yang ia rasakan dari harum tubuh lelaki yang kini telah ia ketahui bernama Lu Han. Ia dapat melihat betapa menyedihkan tatapan Lu Han sekarang, tatapan ketidak percayaan dan takut yang ditujukan padanya. Sejujurnya ia merasa bersalah, menjahili orang sepolos itu, mempermainkannya tapi ia tidak bisa mengalah pada rasa bersalah seperti itu. Kini ia malah berseringai tipis menatap Lu Han seolah terhibur, "see you tommorow, Lu Han." katanya.
Ia tidak memiliki kesempatan untuk melihat bagaimana Lu Han ambruk di lapangan atau memang ia menghindari kesempatan tersebut? Ia tidak tau jawaban pastinya. Di sudut matanya ia bisa melihat bagaimana murid-murid di SMA MiYun terpekik dan menghampiri Lu Han yang lemas ditanah dan masih termangu menatap punggung Wu Fan. Lucu, pikirnya. Entah mengapa ia merasa bahwa hal yang telah dilakukannya tadi begitu lucu, kapan terakhir kali ia merasakan hangatnya mendekap seseorang? Seabadkah lamanya? Ia tersenyum getir mengingat kapan dan siapa orang yang terakhir kali didekapnya sebelum Lu Han.
BRUUUKKK!
Hentakan keras didadanya itu membuyarkan lamunannya tadi, kini berdiri dihadapannya seorang lelaki berambut hitam dengan wajah luar biasa kesal yang baru saja mendorongnya tadi. “Apa yang kau lakukan pada Lu Han?!” Bentaknya keras. Kris menghela nafas mencoba terlihat tenang, “Bukan apa-apa.” ujarnya pendek sebelum menghentakkan bahunya pada Zi Tao yang sudah bersiap menerkam Wu Fan yang kini berjalan dengan santai ke arah koridor sekolah jika tidak dihentikan oleh teman-temannya.
“AWAS SAJA KAU!”
Kalimat itulah yang terakhir ia dengar selagi ia berjalan menjauh dari lapangan yang kini penuh sesak.
***
Suara tepuk tangan mengalun nyaring diruangan gelap yang hanya berisikan sekitar 12 orang dengan meja lonjong besar di tengah. Lelaki berambut gondrong sebahu berwarna gelap kecoklatan berdiri dari duduknya dan mengangkat jempolnya, tersenyum. “Great!” katanya, setelah mendengar prsentasi dari anggota komite sekolah. Dia berdehem kecil, kemudian membungkuk. “Terima kasih atas kerjanya, rapat selesai untuk hari ini.” Anggota lain pun membungku hormat pada Yoshiki, yang kemudian keluar dari ruangan pengap itu.
‘Tuhaaaannn… Aku benci sekali rapat-rapat seperti itu. Mengapa kau menakdirkanku untuk menjadi orang penting, tampan dan terkenal? Aku tak habis pikir. Membosankan sekali hdup ini.’ batinnya mengeluh kekanakan. Ia berjalan menyelusuri koridor, langkahnya yang santai kini telah membawanya masuk ke ruang parkir. Disana dia mendapati anak lelaki kesayangannya sedang memandang jauh entah kemana, menyandarkan badannya dipintu mobil dengan sebatang rokok terselip diantara jarinya yang ramping.
“Si bodoh itu!” Yoshiki mempercepat langkahnya dan tanpa ragu memukul kepala Wu Fan dengan telapak tangannya. Wu Fan merintih kesakitan sebelum memelototi Yoshiki dan membuang rokoknya ke tanah lalu menginjaknya dengan asal.
“Kau merokok lagi?” Wu Fan mencibir ayahnya, “sedikit.” ujarnya malas.
Yoshiki menghela napas dan mengusap kepala anaknya yang bandel tapi amat disayanginya itu, “Let’s go home now.” ajaknya. Wu Fan pun masuk ke mobil dengan lunglai.
“Kau kenapa, sih?” Tanya Yoshiki memecah kecanggungan ketika mereka sudah berada di jalan raya. Wu Fan menggeleng. “Hm, yasudahlah kalau kau gak mau bilang.” Yoshiki mengalah.
Wu Fan memang memiliki perawakan yang sangat tinggi untuk lelaki berumur 19 tahun, wajah yang tampan dengan cara berbicaranya yang dingin dan kepribadian yang tertutup. Tetapi remaja tetaplah remaja, ia tidak suka untuk digurui apalagi oleh ayahnya. kepalanya sangat keras seperti baja, tapi Yoshiki tau dibalik perasaan dingin dan hampa yang menyelimutinya, ia memiliki hati yang hangat. Andai saja Wu Fan mau mengakuinya, tapi pengalam hidup yang pahit telah membuatnya menjadi seperti ini. Yah, orang-orang, siapun itu pasti memiliki masa kelam dalam kehidupannya, kan? Walaupun hanya sekali.
“Aku tidak mau sekolah disana.” Kalimat yang sedikit terdengar seperti rengekan itu memecahkan kesunyian tadi, membuat alis mata Yoshiki terangkat sebelah. “Why?” tanyanya enteng.
“Entahlah. It’s just not right.” Wu Fan menyandarkan kepalanya pada jok mobil.
“Cobalah saja dulu. Kalau-“
“NO!”
“WU FUCKING YI FAN!” Wu Fan menghela napas. Ya, ayahnya kesal. Orang tua mana yang tidak kesal jika memiliki anak laki-laki yang sulit diatur seperti dirinya ini?
“Alright. No need to spat on me.” Yoshiki pun kembali tersenyum riang.
Pemandangan Beijing di siang hari cukup indah untuk dinikmati dan mungkin itulah alasan yang membuat Wu Fan tetap menolehkan kepalanya keluar jendela mobil, tapi ternyata tidak. Matanya kosong menatap toko-toko yang ramai, dan orang-orang yang berlalu-lalang kesana kemari di sisi jalan. Dan pikirannya terus terpaku pada seorang lelaki mungil nan manis yang memiliki mata indah, mata menyejukan bagai musim semi. Ia tersenyum pahit, memejamkan mata dan memutuskan untuk menikmati baying-bayang wajah si rusa kecil tersebut.
‘I’m sorry.’ hatinya berbisik lembut.
o3.
three author's note:
it took soooo long for me to update this story, really. maaf, seribu maaf :( cerita ini sebenernya gak stuck dan adegan per adegan masih lumayan fresh ada diotak walopun mandet dikit hihi tapi ya itu, aku udah agak jarang berheboh ria di fandom dan agak malas buat ngetik *ketawa malu* untuk chapter ini mungkin kerasa agak boring soalnya chapter ini mainly nyeritain kejadian di chapter 1 tapi dengan sudut pandang yang beda haha chapter 2 ini memang sengaja aku bikin lewat sudut pandangnya kris :) walaupun mahluk ganteng itu masih punya segudang teka-teki soal hidupnya tapi seiring berkembangnya cerita, bakal sedikit-dikit keungkap kok kenapa dia begini dan begitu ^^ well, semoga chapter selanjutnya gak terlalu banyak makan waktu untuk di apdet :D
ps: aku gak terlalu suka sama teaser mv yang wolf itu sebenernya. aneh gitu teasernya pada cakar-cakaran, tapi berhubung bocah berduabelas itu unyu-unyu dan udah setahun gak comeback then i cant help but ikutan fangirlingan lol mas kris super tampan disana akuh tak sanggup ohhhh!