chap; o3
kris/luhan
pg-13; au, general, high school
notes: written in bahasa; 2283 words.
oo.
summary | o1.
one | o2.
two “Diamlah, Tao! Sudah hampir setengah jam kau menggerutu seperti itu, berisik tau!”
Tao yang merasa tersinggung oleh kata-kata Lu Han barusan serta merta menggigit roti yang sedang dimakannya dengan kasar. Mereka berdua kini sedang duduk berhadapan dibangku kantin SMA MiYun. Memojokkan diri dan dengan sengaja menghindari perhatian dari murid-murid lain yang tadi menyaksikan adegan tak senonoh -menurut seorang tempramen bernama Zi Tao- itu.
“Aku baik-baik saja, Tao.” Ujar Lu Han, ada nada membujuk dalam kalimatnya agar Tao yang sedaritadi tak berhenti mengoceh pun setidaknya mau untuk melupakan maasalah tadi. Ia mendengar Tao menghela napas, “baiklah.” Gumamnya disela-sela kunyahan roti tebal berasa cokelat tersebut.
Lu Han tersenyum tipis. Ia bukanlah seseorang yang munafik, percayalah, hanya saja ia tidak ingin merepotkan sahabatnya itu untuk memikirkan hal tidak penting menyangkut dirinya. Itu membuatnya terbebani, bukannya ia tidak menyukainya, siapa yang tidak akan senang untuk mendapatkan sahabat sebaik Zi Tao? Ia hanya merasa tidak enak, bahkan merasa tidak berguna karena tidak bisa melindungi dirinya sendiri, dan ia membenci perasaan seperti ini.
Perasaan enggannya pada Zi Tao mendadak berubah menjadi amarah ketika tubuhnya tanpa ia sadari mengingat nyaman tubuh seseorang yang membuatnya malu setengah mati hari ini. Ia menghela nafas, mencoba untuk megembalikan kestabilan emosinya yang kini terombang-ambing. Lu Han membenci lelaki itu untuk memeluknya, mempermalukannya dihadapan dirinya sendiri.
Rasa hangat dihatinya membuat pikirannya kalut, Lu Han sungguh membenci lelaki tinggi tersebut, walaupun ia lupa siapa nama lelaki berambut selembut musim gugur itu tapi anehnya, harum aroma tubuhnya yang gagah masih tersirat jelas dibenaknya. Dan entah mengapa Lu Han tak bisa membenci aroma itu. Rasa perih di hidungnya membuyarkan segala emosi yang ada dalam dirinya, matanya melotot marah menatap Tao yang sedang mencibir didepannya, “Sakit!” Lu Han merengek sambil menggosok hidungnya yang baru saja dicubit oleh Zi Tao.
“Kau melamun, bodoh! Sudah waktunya masuk.” Ujar Tao sambil mengelapkan tangannya ke celana sekolah untuk menghilangkan bekas lapisan minyak dari hidung Lu Han yang menempel dijemarinya.
Sampai bel sekolah bordering untuk yang terakhir kalinya pada hari itu, tak satu pun pelajaran yang sedang dibahas di kelas tadi terlintas dalam otaknya. Benaknya tertutupi oleh kabut-kabut nostalgia. Ia tak tau mengapa, orang itu, lelaki tampan itu seperti mengingatkannya akan sesuatu. Dan itu mengganggu perasaannya.
Matahari sore ini terasa sangat bersahabat. Kemilau jingga kekuningannya dengan lembut mengusap wajah Lu Han yang lusuh dan berkeringat. Dia mengeratkan genggamannya pada tali tas punggung berwarna coklat tua yang telah setahun lamanya menemani hari-harinya di sekolah. Berjalan santai sepulang sekolah menuju tempatnya bekerja sambilan adalah hal yang paling membosankan karena tidak ada si cerewet Zi Tao yang menemani.
Ekspresi wajahnya yang letih berubah ketika dia melihat seorang nenek tua yang sedang berjalan-jalan sore dengan cucunya di sebrang jalanan kecil yang sedang ditelusurinya. Nenek itu menoleh kearahnya, dan Lu Han tersenyum sopan lalu melambaikan tangannya pada lelaki kecil yang kemudian tersenyum lebar ke arahnya. Ia membungkuk lalu meneruskan perjalanan sepinya.
Langkahnya terhenti didepan pintu kecil yang sekarang diketuknya pelan sebelum ia masuk ke ruangan yang penuh dengan orang-orang berpakaian juru masak. Harum aroma makanan menyambutnya dengan senang hati ketika ia menyapa teman-teman di dapur restoran tempatnya bekerja dengan riang tanpa memerdulikan hatinya yang sedang kacau.
“Baiklah, waktunya bekerja!” gumamnya menyemangati diri.
***
Udara pengap diruangan berbau alkohol ini tidak membuat orang-orang didalamnya merasa terganggu. Demikian pula dengan lelaki tampan berjenggot tipis dengan rambut hitam yang diikatnya asal-asalan, kini berseringai ketika ia menggeser kartu yang terselip dijemarinya. Rokok yang bertengger ditepi mulutnya sedikit demi sedikit berubah warna menjadi ke-abu-an sebelum akhirnya dihempaskan begitu saja ke tanah dan diinjak sampai padam nyala apinya.
“Aku menang!” ujar pria tampan berumur 34 tahun tersebut seraya menjatuhkan kartu-kartu yang ada ditangannya ke meja bundar yang dikelilingi empat orang -termasuk dirinya- dengan bunyi keras. Tawa nyaringlah yang terdengar dari mulutnya ketika melihat wajah frustasi dari ketiga penjudi saingannya itu. Ia mengumpulkan lembaran uang yang ada dimeja dan memasukkannya ke dalam saku jaket kulit hitam yang ia kenakan saat suatu benda tumpul menempel dibagian belakang kepalanya dengan bunyi klik yang ia tau betul apa maksdunya.
Hanya butuh sepersekian detik baginya untuk berguling ditanah dan menghindari peluru yang hampir saja menembus kepalanya. Nyaris saja, batinnya mengatakan. Ia terlonjak ketika peluru kedua hampir mengenai betisnya, tanpa pikir panjang ia mengayunkan kakinya secepat mungkin untuk melarikan diri dari ruang perjudian bawah tanah tersebut. Peluru ketiga nyaris mengenai pelipisnya ketika dia menyikut seseorang yang mencoba untuk menghempaskan tinju tepat kearah wajahnya. Nafasnya berderu keras ketika ia menaiki tangga yang merupakan satu-satunya jalan keluar dari sana. Hanya beberapa anak tangga lagi dan ia pun akan selamat dan berada di permukaan tanah yang penuh sesak oleh para manusia malam yang senang berhura-hura dengan musik mengalun kencang dan lampu yang berubah warna disetiap detik.
‘Sedikit lagi.’ Pikirnya ketika kakinya menginjak anak tangga yang paling atas. Bunyi peluru yang dihunuskan tepat kearahnya tidak sebanding dengan bunyi musik yang mengalun luar biasa kencang di klub malam di wilayah Hongkong ini. Rasa amannya yang hampir saja ia rasakan ternyata tidak pernah terwujud karena kecepatan peluru telah mengalahkannya. Bahu kanannya terasa panas layaknya terbakar api, erangan yang keluar dari mulutnya sama sekali tak bisa terdengar oleh siapa pun bahkan oleh dirinya sendiri.
Ia hanya bisa merasakan rasa sakit dan lelah yang luar biasa. Nafasnya memburu ketika ia memaksakan diri untuk tetap menyelaraskan langkah kakinya yang kini terasa semakin berat. Matanya mulai berkunang, ia menggelengkan kepalanya secara kasar untuk mendapatkan kembali penglihatannya yang kabur ketika hanya sesosok wajah cantik dengan raut paniklah yang terakhir kali dilihatnya disana sebelum akhirnya ia ambruk ke tanah dan kehilangan kesadaran total.
“Oh, tuhan!” Hanya pekikan kaget itulah yang terlontar dari bibir tipis wanita cantik bergaun merah ketika ia melihat sosok lelaki yang jatuh pingsan tepat dihadapannya.
***
Burung bernyanyi riang, menghapuskan perasaan gugur para manusia yang berduka karena gelapnya malam. Wangi aroma kayu manis menghembuskan rasa perih yang ada didalam hati ketika alam mengembalikan bola mata indah kekuningan yang menghangatkan umat. Wu Yi Fan kini berdiri dihadapannya sendiri, dengan seksama memandangi wajahnya yang tak tersirat keindahan sama sekali. Mata kosong yang menyuratkan kehampaan, bibir tipis yang menyunggingkan kekosongan, hidung bertulang kokoh yang mendenguskan luka. Tak ada keindahan sama sekali disana, orang-orang telah kehilangan indra penglihatannya ketika mereka menyebutnya tampan, hal itulah yang ia percaya sampai sekarang.
Ia membencinya. wajah itu, badan itu, sikap itu, segalanya. Ialah pengahancur hidupnya. Ialah satu-satunya orang yang bersalah akan masa lalunya. Ialah sesuatu yang paling dibencinya, dirinya sendiri. 4 tahun dirasanya tidak akan cukup unutk melenyapkan rasa benci itu. Wu Fan menggertakan giginya, menatap marah pada mata yang membalasnya dengan tatapan serupa. Dan sedetik kemudian wajah dihadapannya pun hancur berkeping-keping, dengan darah menghiasi telapak tangannya yang mengepal keras. Tetapi batinnya masih juga belum merasa puas.
“Ya tuhan! Tuan Muda!” Suara Bibi pengasuh yang menorobos masuk tanpa diundang ke kamarnya pun tak dapat membuatnya bergeming. matanya tetap lekat menatap cermin yang telah porak poranda. Rasa sakit dilengannya sama sekali tak terasa rasanya bagai ada pelindung tak kasat mata yang menghalaunya untuk merasakan apapun selain perasaan murka yang menggebu.
Seseorang tiba-tiba membawa tubuhnya untuk menjauh dari tempatnya berdiri tadi secara paksa namun lembut, membiarkan tubuh tingginya untuk duduk diranjang sebelum mengangkat tangan kirinya yang merah penuh luka dan kemudian duduk disebelahnya.
“Tolong ambilkan aku alat P3K!” titahnya lembut pada Bibi pengasuh yang masih khawatir melihat Wu Fan sebelum akhirnya pergi untuk mengambil peralatan medis.
“Ayah…” ujar Wu Fan pelan.
“Diamlah.” Yoshiki memeriksa luka ditangan anaknya, “nampaknya tidak terlalu serius.” Lanjutnya pelan.
Wu Fan tau jelas bahwa Ayahnya tidak akan marah karena hal sepele macam ini, ia tidak pernah memarahi Wu Fan sekalipun ketika ia menyakiti dirinya sendiri selama 4 tahun terakhir. Ia mengerti mengapa Ayahnya seperti itu. Terlihat seperti acuh tak acuh padanya, tetapi tidak, Yoshiki adalah orang terakhir yang paling peduli terhadapnya ketika ia malah memilih untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Yoshiki tak pernah sekalipun bertanya akan alasan Wu Fan atas perilakunya yang dapat dikatakan bodoh tersebut. Sebagai Ayah dan seorang pria, Yoshiki tau benar bahwa hal itu adalah hal terakhir yang dapat dilakukan oleh Wu Fan untuk menyelamatkan harga dirinya. Dan Yoshiki menghargai itu walaupun jauh dilubuk hatinya ia merasakan pukulan rasa takut akan kehilangan anak satu-satunya suatu hari nanti.
“It’s done. Jangan lakukan hal itu lagi.” Yoshiki berdiri dan mengacak-acak rambut anaknya yang sekarang telah dicukur pendek, dengan warna lebih gelap dari sebelumnya. Wu Fan menundukan wajahnya, menatap lantai yang terlihat suram pagi ini.
“Kau terlihat tampan dengan rambut barumu. Pasti akan banyak wanita yang mengincarmu, sama seperti aku waktu muda dulu. Hehe. Berhati-hatilah di sekolah, jangan sampai menghamili anak orang! Kubunuh kau nanti!” Yoshiki menggodanya dengan ancaman canda, berharap untuk membuat perasaan Wu Fan menjadi lebih baik. Dan itu berhasil ketika Wu Fan akhirnya menatapnya dan tertawa pendek.
“I won’t sleep with anyone, stupid Dad!” Yoshiki pun tertawa.
Tak ada hal yang lebih indah baginya selain mendengar anaknya memangatai dirinya bodoh.
***
KRIIINGGG KRINGGGG KRIIIINGGGG
KRIIINGGG KRINGGGG KRIIIINGGGG
Sudut bibir kecil Lu Han mengerucut ketika ia menyimpan piring terakhir yang baru saja dicucinya di rak, ia pun terus menggerutu ketika membuka celemek berwarna birunya yang telah lusuh. “Norak sekali! Membunyikan bel sepeda seperti itu di pagi hari.” omelnya pada angin.
Setelah menyimpan celemek di tempatnya dengan rapi, ia lalu mengambil tasnya di meja tengah dan sedikit merapikan rambutnya sebelum akhirnya memakai sepatu untuk berangkat sekolah bersama dengan Tao, sampai sesuatu membuat jantungnya hampir melorot dari tempatnya tepat ketika ia membuka pintu rumah.
Bunyi confetti itu terdengar amat memekakkan telinga. Mata Lu Han tertutup rapat, sementara kedua telapak tangannya menutupi telinga. Sayup-sayup ia mendengar teriakan Selamat ulang tahun, Lu Han! menyapu pendengarannya yang tertutup rapat. Perlahan-lahan ia membuka mata dan kemudian mulutnya menganga lebar.
“Apa-apaan ini?” Teriaknya kesal. Orang-orang yang berdiri dihadapannya hanya tertawa malu.
“Ulang tahunku kan kemaren, mengapa baru sekarang kalian berheboh ria seperti ini?” Tanya Lu Han sambil mengorek kupingnya yang terserang suara confetti tadi.
“Ini hadiah ulang tahunmu, Xi Lu Haaaan!” Ujar Tao terlewat antusias, sambil membentangkan tangannya disamping sebuah sepeda roda dua berwarna silver yang diidam-idamkan Lu Han selama dua bulan terakhir. Mulutnya kembali menganga, tatapannya jatuh pada Bibi Shi Shun yang tersenyum hangat.
“A- apa? Tapi bagaimana- mengapa- kok bisa- aku-“
“Itu hadiah ulang tahunmu dari kami, rusa tampan.” Ucap seseorang yang berada disamping Bibi Shi Shun, Paman Long. Ia adalah seorang petani yang tinggal tepat disebelah rumahnya, yang juga telah menganggap Lu Han sebagai anaknya sendiri.
“Apa?” Lu Han masih tak percaya. Tao menghentakkan kakinya ke tanah dengan jengkel menggumamkan kata bodoh pada Lu Han yang masih termangu.
“Sepeda ini sekarang milikmu, rusa tampan.” Kata Tao menekankan kata rusa tampan yang tadi dialamatkan Paman Long padanya, “kau kan pernah bilang ingin membeli sepeda ini.” lanjutnya tersenyum bangga.
Lu Han masih termangu, menatap Tao dengan tatapan polosnya lalu sedetik kemudian ia tertawa kencang dengan mata yang kemudian mengeluarkan titik-titik air bening suci. Melihat itu, Tao pun menggigit bibir bawahnya secara tidak langsung menahan diri untuk tidak menangis. Zi Tao dengan cepat menghampiri Lu Han dan memeluknya.
“Kenapa kau menangis? Harusnya kan kau senang mendapat sepeda baru. Aku pun senang karena mulai hari ini, aku tidak perlu memboncengmu lagi.” Lu Han tersedak tawanya sendiri gara-gara perkataan Tao barusan, ia menghapus air mata dengan lengannya yang terselimuti seragam sekolah. Kemudian menatap Bibi Shi Shun dan Paman Long yang juga menatapnya haru.
“Terima kasih.” ujarnya pelan sambil menghirup idungnya yang terasa penuh, “ini hadiah terbaik yang pernah kuterima.” lanjutnya sebelum melepaskan diri dari pelukan Tao dan memeluk Bibi Shi Shun dan Paman Long.
“Aku mencintai kalian.” Bibi Shi Shun mengangguk dan mengusap punggungnya sayang. Lu Han kini menghampiri sepeda idamannnya tersebut. Senyuman lebar terpampang di wajahnya yang teduh. Sepedaku, bisiknya.
Setelah cukup puas menatap dan mengusap lembut sepeda barunya, Lu Han dan Tao pun akhirnya berangkat sekolah dengan perasaan luar biasa senang. Sepanjang jalan mereka mengendarai sepeda berdampingan ditemani dengan suara berisik Tao yang menceritakan kehebohan yang terjadi kemarin sore di salon milik ibunya, dan Lu Han yang tak berhenti tersenyum sampai detik dimana mereka memarkirkan sepeda di lapangan parkir sekolah. Lu Han mengecek rantai yang membalut roda sepeda silver terangnya itu, lalu mengelus lembut jok sepeda yang baru saja ia tumpangi tadi. Tao mengejeknya akan hal itu, dan Lu Han pun balas mengejeknya.
Hari ini adalah hari terbaik yang pernah ada, pikirnya naïf ketika dia meninju pelan bahu Zi Tao.
Kata-kata polos itu tetap membius pikirannya sampai perasaan aneh itu datang. Ia tiba-tiba merasakan bahwa ada sesuatu yang memperhatikannya. Lebih tepatnya seseorang. Alis matanya bertaut sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk membalikkan tubuh rampingnya, tak lagi menghiraukan candaan Zi Tao yang kuno. Matanya secara tepat bertautan dengan sepasang mata milik sesorang yang sedang berdiri jauh beberapa meter dihadapannya. Tatapan itu menikam jauh ke lubuk hatinya. Rasa dingin kini menyelimuti tubuhnya, melenyapkan segala kehangatan yang tadi direngkuhnya.
Mata yang gelap bagaikan lubang hitam kehampaan itu menatapnya dengan kuat. Ia dapat merasakan napasnya sedikit tercekat dan Lu Han merasa takut, ya, tatapan itu adalah tatapan paling menakutkan yang pernah ia lihat. Tanpa ia sadari, dirinya telah beringsuk masuk jauh dan jauh kedalam lubang yang menganga lebar lewat tatapan mata yang hampa tersebut. Tenggorokannya dengan refleks menelan ludah kering ketika segelintir rasa iba datang menghinggapinya sesaat sebelum ia mulai membawa tubuhnya kembali ke permukaan untuk pada akhirnya mengacuhkan mata yang menyedihkan itu dan memutuskan untuk menatap wajah tampan yang tertoreh disana.
“Si brengsek itu!” Samar-samar ia mendengar Tao menghujat seseorang tersebut dengan geram.
Ia pun pergi, lelaki itu kini pergi menjauh darinya. Ia membalikkan tubuhnya dengan angkuh dan secara pengecut membiarkan punggungnya yang sekokoh benteng di kerajaan masa lampau itu, agar menjadi perlindungan terakhir untuk menyelamatkan dirinya yang kelam dan sedingin bongkahan es dari pendar cahaya terang dan hangat melembutkan yang dipancarkan oleh Lu Han.
Lu Han pun merunduk, menghela napas dengan berat hati. Hari ini mungkin tak seindah yang ia bayangkan.
to be continued..
author's notes:
update-an kali ini lebih cepat yay! thanks to my muse yang tumben2an gak mentok :D anyway, congrats for exo's comeback! horayyyy! aku suka banget mvnya mas kris cakep soalnya walopun masih agak aneh lihat koreo ala kepiting terbangnya lmao